Amelia sedang duduk dengan tenang sambil menunggu ibunya mempersiapkan makanan.
Setelah sudah siap semuanya, ibunya datang sambil membawa makanan yang sudah diletakkan di atas piring.
Amelia membantu mengambil dua gelas air minum.
Mereka pun duduk bersama.
Bu Ningrum menatap paras cantik anaknya.
Amelia yang memiliki tinggi badan sekitar 160 cm, dengan rambut panjang bergelombang, wajahnya sangat mirip dengan ayahnya, bibir tipisnya juga hidung yang lancip ditambah kulit putih bersihnya, semuanya mengikuti gen murni dari ayahnya.
Amelia sungguh diciptakan oleh Tuhan dengan paras dan tubuh yang sempurna. Tapi sang ibu sangat prihatin melihat kemiripan di antara mereka berdua.
"Ayo, makan!" ajak sang ibu sambil memberikan sendok yang dipegangnya kepada putrinya.
Amelia meraih sendoknya lalu membuka bungkus nasinya.
Dia melihat ibunya yang tak bergerak untuk makan, Amelia pun bertanya, "Apa ibu tak mau makan?"
Bu Ningrum menjawab, "Iya , Ayo kita makan bersama! Ibu hanya tak pernah bosan memandang wajah cantik putri Ibu."
Amelia tersipu malu mendengar pujian juga candaan sang Ibu. "Kalau begitu, ayo kita makan bersama! Biar anak ibu ini semakin cantik."
Bu Ningrum mengangguk, "Hu uum."
Ibu dan anak tersebut makan bersama sambil sedikit bercanda. Bagaimanapun mereka saling menyayangi.
Setelah mereka selesai makan sore, Amelia membantu ibunya mencuci piring, lalu mereka duduk sambil bercerita tentang kegiatan di kampus.
Amelia juga menceritakan tentang acara liburannya nanti.
"Apakah tempatnya jauh?" tanya sang ibu penasaran.
"Emm...Kata Sarah, bisa sampai setengah hari perjalanan," jawabnya sambil mengingat apa yang diceritakan Sarah padanya.
"Iya, Ibu juga dengar jika mereka membeli sebuah pulau untuk investasi, lalu bagaimana dengan Non Sarah?"
Sang ibu menggenggam tangan Amelia. "Jagalah dia selalu, kasihan dia karena kurangnya kasih sayang oleh kedua orang tuanya, Nyonya dan Tuan sangat sibuk."
Sontak saja penuturan ibunya membuat Amelia mengerutkan kening, lalu menarik kembali tangan yang dipegang oleh ibunya tadi. Hal seperti ini juga yang membuatnya kesal dengan sang ibu.
Dengan raut wajah kesal Amelia berkata, "Kenapa Ibu selalu pengertian padanya?"
"Bukan begitu, hanya saja saat meninggalnya Non Kiara, Nyonya dan Tuan lebih memilih menyibukkan diri dengan bekerja, agar bisa melupakan kejadian pahit di masa lalu."
Mendengar penjelasan ibunya, emosi Amelia semakin tak terkendali, "Apa hanya dia yang patut dikasihani? Apakah aku tak pantas dikasihani? Dia punya segalanya, Bu. Tapi aku? Jangankan harta bahkan ayah saja tak punya!"
Bu Ningrum yang mendengar pengakuan anaknya sontak terkejut lalu berteriak, "Amelia!"
Mata sang ibu sudah berkaca-kaca, sambil menahan air mata yang hampir tumpah dia berkata sambil terbata-bata, "Jangan...Jangan berucap demikian, Anakku! Ibu tak sanggup mendengarnya."
Amelia yang tak tega juga bercampur rasa bersalahnya, langsung berhambur kepelukan sang Ibu dan menangis dengan sesegukan, "Maafkan Amelia, Bu!"
Ibunya hanya mengangguk dan menangis dengan berlinang air mata.
Mereka menangis bersama, meratapi nasib yang harus mereka lalui berdua.
Takdir yang seakan tak bisa diubah.
Takdir yang selalu mempermainkan hidup Anaknya.
......................
Di tengah malam yang sunyi, Amelia duduk sambil memandang sebuah foto di meja belajarnya.
Saat melihat sosok lelaki tegap bertubuh tinggi tersebut, yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri, yang membuatnya lahir ke dunia tanpa mempunyai keluarga yang utuh.
Dialah orang yang tak pernah bisa memberikan status ataupun derajat yang pantas padanya dan ibunya.
Jangankan status, sebuah Marga di belakang nama pun tak bisa diberikan padanya.
Amelia Jelita Ningrum, tidak!
Nama seharusnya adalah Amelia Jelita Samantha.
Foto di depannya adalah Beni Samantha yang merupakan ayah dari sahabatnya sendiri, yaitu Sarah.
Dialah yang menjadi tujuan hidupnya, dia bertahan sebab alasan yang sangat jelas, yaitu Amelia juga anak kandung keluarga Samantha.
Dengan penuh dendam, dia mencengkeram foto lelaki itu sambil berucap, "Tunggu saja, Ayah! Tunggu disaat aku mulai bertindak."
"Apa yang menjadi milik Sarah seharusnya juga menjadi milikku. Harta keluarga kalian seharusnya menjadi hak ibuku separuhnya. Kamu akan lihat Sarah, bahwa sebenarnya kita adalah saudara."
Amelia bosan dengan barang bekas pemberian Sarah, walaupun terkadang Sarah membelikan barang baru untuknya, tapi tetap saja dia tak terima.
Seharusnya dia yang membagi apapun pada Sarah atau lebih tepatnya saling membagi.
Andai status mereka diperjelas, Amelia juga sanggup membelikan orang lain barang bermerek.
Tapi nyatanya nasib baik malah berpihak pada Sarah, ayahnya bahkan tak pernah mendukungnya.
Bahkan ekonomi sekarang pun tak mampu membuatnya membeli barang yang mahal.
Amelia harus belajar berhemat untuk bisa bertahan hidup. Itulah yang diajarkan sang ibu padanya.
Iya, benar. Anak yang tidak sah dari hasil hubungan memang pantas disembunyikan.
Dan itu membuat hati Amelia semakin memanas, semakin ditahan semakin dirinya tersiksa.
"Lanjutkan saja hidup indah kalian. Nikmati selagi bisa, karena aku yang akan mengubah hidup kalian bagaikan neraka," gumamnya seakan berjanji pada diri sendiri.
Saat memikirkan penderitaan hidupnya, Amelia tiba-tiba menangis merintih sambil memegangi dadanya yang terasa sesak.
"Hiks, hiks..." dia berusaha tegar, kuat dan menyemangati dirinya sendiri.
Amelia mulai menyeka air matanya dan berucap dengan keyakinan kuat, "Sabarlah, Ibu! Sebentar lagi semuanya akan usai. Aku akan membuat ibu menjadi nyonya satu-satunya keluarga Samantha. Mereka harus bertekuk lutut dan menghormati ibu sebagai satu-satunya Nyonya Samantha."
Mata Amelia sudah merah dan sembab. Dia sudah lelah.
Dia mulai berpindah menuju ranjangnya dan berbaring, mencoba untuk memejamkan matanya seakan memaksakan untuk tidur.
...****************...
Di tempat lain, lebih tepatnya di kamar yang saling berhadapan dengan kamar Amelia.
Ibu Ningrum menangis sambil menyesali perbuatannya di masa lampau.
Dia mengingat saat tuan rumah mabuk dan mulai menjamahnya secara paksa. Tapi hal itu tak berlangsung lama, Pak Beni menginginkan pernikahan resmi secara Agama, tapi hanya mereka berdua saja yang tahu.
Pada akhirnya Pak Beni mempunyai ketertarikan pada Bu Ningrum.
Rumah kecil yang dihuni sekarang adalah hadiah pernikahan kecil mereka.
Bu Ningrum bekerja sebagai salah satu ART disana, dia pulang pergi karena punya rumah sendiri.
Saat dia tengah hamil, dia harus berbohong pada majikan perempuan, bahwasanya sang suami telah pergi meninggalkannya.
Itulah alasan mengapa dia bisa bertahan kerja walau posisinya tengah mengandung. Dan segala keperluan untuk lahiran, keluarga dari Samantha lah yang membiayai.
Pada akhirnya, nama belakang sang putri tak bisa mengikuti marga dari sang ayah.
Itulah kenapa Ibu Ningrum memberi nama Amelia Jelita Ningrum.
Yang berarti dia adalah anak satu-satunya dan hanya akan menjadi anaknya, bukan anak ayahnya.
Tapi perubahan terjadi saat anak pertama keluarga Samantha ditemukan tewas dengan kondisi tubuh penuh luka.
Bukan hanya Pak Beni yang mulai berubah pendiam, tapi juga sang istri yang lebih memilih menyibukkan diri di luar agar tak terlalu lama di rumah.
Rumah besar 3 Lantai itu hanya dijadikan tempat istirahat penghilang penat.
Ibu Ningrum menangis sambil memeluk erat bantal yang dipegangnya. Menutup mulutnya dengan bantal agar tangisannya tak terdengar oleh Amelia.
Sang ibu juga merasa belum bisa menjadi orang tua yang sempurna untuk putrinya.
Karena kebaikan keluarga Samantha yang membuat Bu Ningrum berhutang budi dan setia mengabdi pada keluarga besar tersebut.
Entah sampai kapan?
Bu Ningrum melihat meja samping ranjang.
Dia membuka laci dan mengambil buku tabungan miliknya.
Serta secarik surat wasiat yang sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya.
Walaupun Pak Beni tak pernah mengutarakan secara terang-terangan tentang sayangnya dia pada Amelia, tapi kepedulian lelaki itu hanya bisa dilakukan di belakang mereka.
Mengirim uang bulanan untuk Amelia agar berkecukupan, tapi Bu Ningrum tipe orang yang hemat, dia takut andai meninggal nanti malah akan membuat anaknya semakin menderita.
Jadi dia gemar menabung untuk masa depan putrinya nanti andai dia sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Dibukanya buku tabungan tersebut lalu dilihatnya isi nominal yang tertera.
Hampir 1 M isinya, terhitung saat Amelia masih dalam kandungan.
Bulan berganti tahun, sampai Amelia menginjak masa dewasa.
Andai dia tahu bahwa jatah uang bulanannya sebanyak ini. Tapi ini demi kebaikannya.
Amelia harus belajar hidup susah mulai dini, agar suatu saat dia bisa menghargai sejumlah uang yang diperolehnya.
"Maafkan ibu, Nak! Hanya ini yang bisa ibu berikan padamu," gumamnya lirih.
Malam semakin larut. Di tengah kesedihan yang melanda, akhirnya sang ibu mulai mengantuk lalu membaringkan tubuhnya.
Mereka tertidur di kamar yang berbeda setelah puas dengan tangisannya.
Seakan menangis bisa melegakan sedikit rasa sakitnya. Meluapkan emosi lewat tangisan.
Seketika rumah menjadi hening.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Umar Muhdhar
dj
2024-04-11
1
Iolanthe
Alurnya tak terduga, sangat menarik. 😮
2024-01-05
0