Diki masih menatap kalung yang dipegangnya dengan tangan gemetar. Sekujur tubuhnya seakan ikut bergoyang menatap kalung Rachel yang sengaja diberikan padanya.
Sekarang ia mulai sadar dan memahami sesuatu. Kalung ini adalah penyelamat hidup Rachel.
Semua orang sedang sibuk membereskan barang-barang yang sempat ikut berhamburan, termasuk membersihkan sisa darah gadis kecil tersebut di lantai.
Kepala sekolah menanyai tentang kejadian sebenarnya pada si perawat.
Dia pun mulai bercerita jujur tentang kepergiannya sebentar, lalu keterkejutannya saat kembali, dan menemukan Rachel terbang ke udara dan hanya Diki yang masih berdiri disana.
Semua orang memandang Diki seolah ingin bertanya tapi diurungkan, sebab dia pun masih terlalu dini. Mungkin dia juga masih belum mengerti.
Diki bahkan terlihat kacau. Semua orang bisa melihatnya.
Kepala sekolah langsung menghubungi orang tua Rachel dan menceritakan sekilas saja tentang kondisi putrinya saat ini.
Rachel masih tertidur, dia pingsan karena kesakitan yang hanya dia sendiri yang rasa.
Sedari kecil, mahkluk yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang selalu ingin menguasai tubuh Rachel, terkadang dengan tipu daya mereka, bisikan kematian selalu berdengung di telinganya .
Menurutnya wajah mereka benar-benar menyeramkan, tak ada satu wajah pun yang terlihat mulus dan rata.
Mereka menginginkan tubuh Rachel, jika tak bisa mengendalikan tubuhnya maka jalan satu-satunya adalah meminta nyawanya.
Rachel yang masih belum mengerti apa-apa hanya bisa pasrah tak berdaya.
Dia sendiri pun lelah, tubuhnya masih sangat kecil untuk menahan beratnya beban yang harus ditanggungnya, yaitu beban kesakitan.
Para guru yang ada disana sangat paham tentang cerita anak malang tersebut, mereka benar-benar kasihan dan ikut merasa cemas.
Jika dibawa ke rumah sakit pun belum tentu dokter sanggup menolong.
Bagaimana tentang bekas cakaran yang jejak tangannya tak bisa diidentifikasi? Sedangkan kasusnya terjadi di sekolahan.
Siapa yang akan percaya jika itu adalah ulah makhluk jahat?
Bagaimana cara menjelaskan jika seseorang memerlukan jawaban saat ditanya?
Dengan berbagai pertimbangan, para pihak sekolah memutuskan untuk menelpon orang tua Rachel, hanya ini jalan satu-satunya, baik hidup atau mati.
20 menit kemudian.
Bu Ambar datang dengan tergesa-gesa, kakinya melangkah dengan sangat cepat, tak sempat pakai baju bagus, hanya daster yang melekat di tubuhnya juga tas dompet yang dibawanya.
"Selamat siang, Bu Ambar!" sapa Kepala Sekolah.
"Anak saya dimana?" Ibu Rachel langsung menanyakan tentang putrinya tanpa mau menjawab salam dari kepala sekolah.
Kepala sekolah lalu memberi jalan dan mengantarkan wanita tersebut ke ruang UKS tempat putrinya beristirahat.
Bu Ambar masuk kedalam ruangan dan berdiri di samping putrinya. Dia menyentuh pipi kecil Rachel lalu berucap pelan, "Anakku, bangun, Nak! Ayo, kita pulang!"
Semua yang ada disana merasakan kesedihan yang dialami Bu Ambar. Mereka juga ikut iba melihatnya.
Tiba-tiba Bu Ambar ingin memastikan sesuatu, dan dengan cepat membuka satu kancing baju putrinya.
Lalu dia mendapati leher putrinya yang tanpa menggunakan kalung.
Hilang.
"Kemana kalung anak saya?" teriaknya. Dia takut jika kalung tersebut benar-benar hilang.
Semua orang bergumam, "Kalung?"
Diki yang mendengarnya dan paham kalung yang dimaksud, langsung berjalan menghampiri kepala sekolah, dia yang ketakutan atas amarah ibu Rachel tak berani datang menghampiri, bahkan untuk menatap wajahnya juga takut.
Diki memegang jas yang dikenakan kepala sekolah dan menariknya pelan, "Pak"
Diki mengulurkan tangannya untuk memberikan kalung yang dimaksud tanpa bersuara.
Kepsek menoleh dan melihat Diki kecil memberikan kalung tanpa berucap.
Kepsek menjadi iba saat melihat raut wajah Diki yang ketakutan serta sedih. Matanya juga memerah, kepsek paham bahwa dia baru saja menangis.
Kepsek mengangguk paham dan menjawab, "Ya."
Kepala sekolah mendekati Bu Ambar lalu memberikan kalung yang dimaksud.
"Ini Bu, kalungnya. Coba lihat dulu apakah benar?Mungkin tadi terjatuh."
Bu Ambar melirik Diki dengan emosi yang ditahan. Tadi dia sempat melihat lelaki kecil itu membawa kalung hitam milik Rachel. Hanya saja mungkin kalung itu banyak di pasaran, jadi Bu Ambar tak mau memikirkannya.
Diki yang paham bahwa tatapan itu mengarah padanya, segera bersembunyi di belakang punggung guru perawat.
Perawat yang tak tega ikut membantu Diki menyembunyikan dirinya. Perawat itu tahu bahwa Bu Ambar sedang kesal saat ini.
Bu Ambar langsung memakaikan lagi kalung tersebut ke leher putrinya dan berucap lembut, "Pulanglah anakku! Pulanglah ke sisi Ibu!"
Wanita paruh baya itu berusaha menahan kesedihannya, walau sebenarnya dia ingin sekali berteriak untuk menumpahkan semua isi hatinya.
Kenapa harus anaknya?
Apa salah Rachel?
Dari segi mana bahwa hidup adalah sebuah kesalahan?
Dengan perasaan terluka sang ibu menangis sedih sambil memegang erat tangan putri kecilnya.
"Pulanglah pada Ibu, Nak!" bisiknya lagi sambil memandang wajah Rachel yang tengah terluka.
Dilihatnya luka lebam dan cakaran yang hanya menyisakan bekas darah.
Tak berwujud tapi bisa menyentuh.
Ingin melawan tapi tak paham apa dan siapa yang harus dilawan. Bahkan bentuk dan rupa pun tak nampak.
Rachel tetap pada posisi tidurnya.
Setelah dua jam berlalu akhirnya Rachel mulai tersadar dan bangun.
Dia memandang sekitarnya dan menemukan sang ibu yang sudah duduk di sampingnya.
Dengan berat dia berucap, "Ibu."
"Ya, Nak. Ini Ibu," Bu Ambar segera berdiri lalu tersenyum lembut penuh kasih sayang.
Di elusnya rambut Rachel dan memandangnya dengan perasaan iba.
Kasihan hidupnya.
Akhirnya dia dibawa pulang oleh ibunya dan meminta izin absen untuk sang putri.
Kepala sekolah yang paham akan kondisi muridnya pun memberikan izin seminggu agar Rachel bisa beristirahat.
"Semoga Rachel cepat sembuh, Bu," ucap kepsek lembut.
"Saya akan datang berkunjung besok," guru yang lain menambahkan.
Akhirnya Bu Ambar berlalu pergi dengan membawa sang putri pulang.
.............
Seminggu kemudian.
Bel masuk berbunyi.
Tring... Tring
"Diki."
Diki yang sedang berjalan dengan santainya langsung membalikkan badannya untuk mencari sumber suara yang memanggilnya.
Dia adalah Rachael, dia sudah sembuh. Gadis kecil itu menghampiri Diki dengan senyum sumringah.
"Rachel, kamu sudah sembuh?" tanya Diki.
Rachel hanya menjawab dengan anggukan.
Diki bisa melihat ketulusan di mata Rachel, kenapa dia tak marah?
Kenapa dia masih sempat tertawa dan menyapa?
"Rachel, apakah kamu tidak membenciku?" Diki bertanya dengan ragu.
Rachel dengan mata polosnya menggelengkan kepala dan menjawab, "Apakah kita masih berteman?"
"Tentu," Diki mengangguk cepat.
"Teman tidak akan pernah marah, kita akan tetap menjadi teman, kan!" Rachel menyahut sambil mengedipkan mata bulatnya, terlihat lucu karena kepolosannya.
Diki seakan merasakan jantungnya ditusuk saat mendengar jawaban dari teman yang telah ditipunya.
Tanpa sadar dia pun berkata, "Aku tak akan pernah meninggalkanmu lagi Rachel, aku janji!"
Diki mengulurkan jari kelingkingnya di hadapan Rachel.
Dengan mata yang berbinar Rachel juga ikut menyentuh jari kelingking Diki dan menautkan jari mereka.
Seakan itu adalah sebuah janji untuk mereka berdua.
Mereka sama-sama tersenyum bahagia dan masuk kedalam kelas bersama.
................
13 tahun kemudian.
Di sebuah universitas hukum di Kota Harapan.
Mahasiswa dengan gaya yang berbeda, dengan kendaraan yang berbeda, juga dengan pergaulan yang berbeda.
Mereka tengah disibukkan oleh urusannya masing-masing.
"Rachel," teriak Diki yang melihat Rachel masih di depan gerbang kampus. Rachel berjalan masuk bersama temannya yang bernama Nirmala.
Rachel tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Mereka berdua menghampiri Diki yang sedang menunggu.
Di arah sebelahnya ada suara seorang lelaki sedang berteriak memanggil Diki.
"Woi, Diki!" dia adalah Ramdan, teman sebangku Diki.
Tanpa menoleh Diki pun sudah hapal siapa yang memanggilnya.
Diki mengeluh sambil menghela napas, "Ah, dia lagi."
Rachel dan Nirmala yang sudah berdiri di depan Diki hanya bisa tersenyum dengan kekocakan mereka berdua.
"Hey bro, selamat pagi!" tegur Ramdan sambil merangkul pundak sahabatnya.
"Hem, iya," balas Diki cuek.
Rachel menatap mereka dengan perasaan lucu.
"Ya sudah, ayo masuk, keburu telat." dengan suara lembut Rachel mengajak sahabatnya untuk masuk ke dalam kelas.
Mereka berjalan bersama-sama disertai kekonyolan Diki dan Ramdan yang tak hentinya berbuat hal aneh.
Kadang menyapa para gadis cantik dan tersenyum jahil.
Mereka akan melakukan hal yang disukai sampai tiba di depan kelas mereka.
Mereka hanya akan patuh saat di dalam kelas saja.
Ah, di rumah juga jangan dilewatkan.
Menjadi anak yang berbakti pada saat berada di rumah.
Amelia dan Sarah yang duduk di depan Diki segera menyapa saat melihat mereka masuk ke dalam kelas.
"Hay, Diki," sapa Sarah sambil menampilkan senyum manisnya.
"Iya, hay juga," balas Diki.
Dosen datang dengan membawa buku juga tas hitam di tangannya.
Pelajaran pun dimulai.
Para murid mulai fokus pada pelajaran yang sedang berlangsung.
Jurusan yang mereka pilih memerlukan pemikiran yang kuat, jika ingin menguasai semuanya, mereka harus fokus pada satu titik dan mengesampingkan hal lainnya.
Tak ada yang bisa bercanda di saat pelajaran sudah dimulai, apalagi jika berhadapan dengan dosen yang galak dan super ketat.
Bahkan kentut pun harus bisa ditahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Umar Muhdhar
t
2024-04-11
1
Panqueques24
Bersemangat
2024-01-04
1