Pulau Terkutuk
Di sebuah Sekolah Dasar Negeri 1 Harapan.
Seorang anak lelaki bernama Diki tengah berpura-pura sakit perut dan berusaha menahan perutnya seolah benar-benar kesakitan.
"Ah, sakit, Bu," ujar Diki merintih.
Di tengah kesibukan di dalam kelas saat pelajaran sudah dimulai. Diki mulai melancarkan kebohongannya.
Bu Dini selaku sebagai guru bergegas menghampiri dan bertanya dengan nada khawatir. "Mana yang sakit? Ayo, kita ke UKS dulu, biar diperiksa dokter disana!"
Diki mengangguk patuh dan berdiri. Sang guru membantunya berjalan sampai ke ruang kesehatan sekolah.
Sesampainya di depan pintu yang sudah terbuka.
"Permisi, Bu!" sapa Bu Dini pada perawat sekolah.
Dengan tersenyum ramah, perawat tersebut menjawab, "Ya, mari masuk!"
Bu Dini lantas membantu Diki untuk duduk, lalu ia pun mulai menjelaskan, "Ini, Bu. Diki sakit perut katanya, jadi saya membawanya kesini, mohon diperiksa sebentar, Bu!"
Perawat itu pun mengangguk. "Baiklah!"
"Kalau begitu saya tinggal dulu, masih ada pelajaran kelas, Bu. Saya titip Diki. Terimakasih!"
"Ya, silahkan. Jangan sungkan!"
Bu Dini lantas pergi meninggalkan mereka berdua.
Sang perawat memandang murid di depannya secara serius lalu bertanya, "Apa yang sakit? Ayo, kita periksa dulu!"
Perawat itu mengajak Diki tidur di sebuah ranjang untuk diperiksa. Dia mengeluarkan alat medisnya untuk mengecek kondisi kesehatan anak lelaki tersebut.
"Coba buka mulut!" ucap perawat tersebut, lalu Diki pun patuh dan membuka mulutnya.
Sang perawat lantas memeriksa detak jantung dan pernapasan Diki menggunakan stetoskopnya.
Wanita tersebut seketika mengerutkan kening, agak heran.
Setelah beberapa detik terdiam, perawat itu mulai bertanya lagi walau agak ragu. "Em... Diki sakit apa?"
Diki menjawab tanpa dosa, "Perut saya sakit, Bu."
Karena seperti tak menemukan titik sakit lelaki kecil tersebut, akhirnya sang perawat hanya mampu memberikan beberapa vitamin padanya.
"Baiklah kalau begitu, Ibu akan memberi Diki vitamin dan harus cepat diminum, setelah itu Diki bisa beristirahat," ucap si perawat sambil memberikan beberapa vitamin dan air putih untuk muridnya.
Setelah meminumnya, Diki kecil mencoba membaringkan tubuhnya di atas kasur yang memang sudah tersedia disana.
"Ibu mau keluar sebentar, kalian bisa istirahat dulu disini," ucap sang perawat, lalu melangkah pergi meninggalkan ruang kesehatan.
Diki memandang sang perawat yang mulai menghilang. Dia pun menghela napas lega, "Huft, syukurlah."
"Hay!" tiba-tiba sebuah sapaan yang entah muncul darimana telah berhasil mengagetkannya.
Diki yang terkejut langsung mencari sumber suara dan membuka gorden samping yang dijadikan sekat untuk ranjang lainnya.
"Kamu?"
Ternyata itu Rachel teman sekelasnya.
Diki yang awalnya sedang tiduran langsung bangun dan duduk.
Rachel yang masih berbaring lemah mulai berkata tanpa ragu, "Sepertinya kamu tidak sedang sakit."
Diki yang takut ada orang lain mendengar langsung mendekat dan menutup mulut rachel. "Hust, kecilkan suaramu!"
Rachel pun mengangguk tanpa suara.
Rachel memandang Diki yang seolah ingin tahu kebenarannya. Dia lalu mulai duduk manis diranjangnya.
Diki yang paham mulai bercerita dengan sedih.
"Hari ini adalah hari ulang tahunku, tapi aku bosan dan sedih, orang tuaku tak pernah ingat hari lahirku."
Diki pernah merasakan meriahnya pesta saat berusia 2 dan 5 tahun. Tapi saat dia mulai memasuki fase sekolah, dan keluarganya juga disibukkan oleh pekerjaan. Hari dimana dia ingin bahagia malah selalu terlupakan.
Diki menjadi sedih. Dia ingin berkumpul bersama keluarganya seperti dulu, tapi itu hanya khayalan yang tak pernah terwujud.
Terkadang dia membeli cake kecil untuk dirinya sendiri dengan satu lilin di atasnya, dan berdoa untuk diri sendiri dan kedua orang tuanya.
Dia selalu mengharapkan hal indah yang bisa diwujudkan bersama orang tuanya.
Rachel yang pengertian langsung mengulurkan tangannya dan berkata dengan wajah manisnya. "Selamat ulang tahun, Diki."
Lelaki kecil itu tertegun sejenak, dan tanpa sadar membalas mengulurkan tangannya. "Terimakasih, Rachel."
Dia tersentuh sekaligus terharu. Hari ini gadis kecil di hadapannya adalah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya.
Diki yang mulai sadar sesuatu, akhirnya bertanya tentang Rachel.
"Oh iya, kamu sakit apa? Kenapa kamu disini?"
Dengan perasaan sedih, Rachel menundukkan kepalanya dan menjawab, "Mereka memukulku, mereka jahat padaku."
Diki bingung, dia mengerutkan kening dan bertanya, "Siapa?"
Rachel mendongakkan kepalanya menghadap teman di depannya lalu menjawab. "Kamu tidak bisa melihatnya, Diki."
Diki yang masih kecil, dan juga belum paham apapun lalu menyahut dengan nada tegas. "Apa yang tak bisa aku lihat? Dan kenapa aku tak bisa melihatnya?"
Rachel memandangnya tanpa berkedip. Setelah beberapa saat, dengan ragu dia mulai bertanya, "Apa kamu percaya hantu?"
Mata Diki membulat, dia terkejut. Pernyataan ini agak lain menurutnya.
'Apa dia ingin menipuku? Memangnya apa yang tak bisa dilihat jika masih punya mata?' batinnya.
Rachel memahami sesuatu saat menatap raut ketidak-percayaan lelaki kecil di hadapannya, dia lalu menambahkan, "Jika kamu tak percaya, aku bisa menunjukkan sesuatu padamu."
Diki segera turun dari ranjangnya, dan dengan cepat berdiri di depan Rachel yang masih terlihat lemah, "Apa itu? Bagaimana caranya?"
Rachel menundukkan wajahnya dan melihat kalung yang dipakainya.
Kalung itu berbentuk seperti kotak hitam yang terbuat dari kulit, entah apa isi dalamnya?
Hanya saja itu adalah sebuah jimat untuk melindungi dirinya dari bahaya yang bisa mengancam nyawanya.
Rachel dengan sedih bertanya, "Diki, apakah kamu mau jadi temanku?"
Diki terdiam. Entah harus menjawab apa?
Rachel adalah salah satu murid pendiam di kelasnya, kadang dia berteriak sendiri seolah ketakutan.
Dia juga termasuk murid paling aneh di sekolahnya, gadis itu juga tak punya teman bergaul. Semua orang takut padanya, dia merasa sendiri.
Diki masih belum menjawab pertanyaan Rachel.
Rachel berpindah menatap luar jendela, di luar sana banyak anak-anak yang sedang melakukan kegiatan olahraga.
Ada yang berlari, ada juga yang main badminton, beberapa anak lelaki dengan bahagia bermain sepak bola.
Di mata Rachel mereka termasuk anak yang beruntung sedari kecil.
Tapi tidak baginya, dia lelah dengan hidupnya.
Mata Rachel menatap lurus pada anak-anak yang sedang bermain. Dengan mata berkaca-kaca dia pun mengeluh, "Aku juga ingin bermain."
Dia terlihat sangat sedih.
Jika dipandang sekilas dan merasakan mengobrol bersama. Rachel tidak gila, dia sama seperti kawan lain, bahkan dia bisa diajak ngobrol bersama.
Andai dia tidak aneh, mungkin banyak yang mau berteman dengannya.
Dengan rasa kasihan Diki berkata, "Rachel, aku mau jadi teman kamu."
Rachel beralih muka menatap Diki dengan cepat, dengan mata berbinar bahagia dia bertanya lagi seolah memastikan, "Benarkah?"
Diki mengangguk, "Ya."
Namun wajah gadis kecil itu mulai murung kembali, "Tapi aku lelah, Diki."
"Kenapa lagi?"
Rachel memandang Diki lagi dengan air mata yang hampir tumpah. Dia bingung harus bercerita darimana? Ia lelah.
Rachel lalu menjawab dengan suara yang lirih, "Mereka ingin membunuhku."
Dia lalu memegang kalung yang dipakainya dan berkata, "Aku punya kalung ini, jika aku memberikannya padamu, apakah nanti kamu akan meninggalkanku jika kamu melihat sesuatu yang tak seharusnya kamu lihat?"
Diki masih terdiam, dia mencoba mencerna kata-katanya. Dia masih bingung.
Lalu Diki mulai bertanya dengan ragu-ragu. "Apakah jika kamu memberikan kalung ini padaku, aku bisa melihat hantu?"
Rachel diam sejenak, setelah itu menjawab, "Aku tak tahu, hanya saja kamu mungkin akan ketakutan dan meninggalkanku."
"Jika aku tak bisa melihat hantu, lalu untuk apa kamu memberikan kalung ini padaku?" keluh Diki yang mulai kesal, sebab tak bisa menemukan jawaban yang pasti.
Dengan tenang Rachel pun menjawab, "Agar kamu percaya bahwa mereka ada."
Diki terdiam kembali, entah kenapa dia mulai ragu, seolah hatinya berkata untuk menghentikan niatnya.
Rasa ketakutan mulai menjalar keseluruh tubuhnya.
Namun, rasa penasaran juga begitu kuat, sehingga dia ingin sekali membuktikan kebenaran ucapan Rachel.
Diki mengangguk dengan pasti, "Baiklah."
Si kecil manis mulai menatap lagi kalungnya, dia juga ragu dengan keputusannya. Akan tetapi hanya ini cara agar dia bisa mendapatkan seorang teman.
Dengan sedih dia meminta, "Diki, bisakah kamu tidak meninggalkanku?"
Tiba-tiba Rachel mulai berlinang air mata, lalu bertanya lagi untuk menyakinkan dirinya. "Kita teman, kan? Nanti jika kamu melihat aku kesakitan, kamu bisa mengembalikan kembali kalungku."
"Tentu kita teman," jawab Diki tanpa mau berpikir lama.
Dia sudah tak bisa bersabar, apalagi melihat Rachel yang tiba-tiba menangis, jadi membuatnya malah ingin sekali menghindarinya.
Rachel diam kembali, dia juga lelah dengan hidupnya yang sekarang.
Dia tak sanggup melihat ibunya yang hari-hari menangis hanya untuknya.
Entah kelahirannya adalah sebuah anugrah atau sebuah kutukan.
Dia merasa menyesal hidup di dunia yang hanya bisa membuat Ibu yang dia sayangi menangis.
Beberapa menit kemudian, ia mulai bersemangat untuk menyerahkan kalung itu pada sahabatnya.
Rachel menghela napas perlahan seolah sedang berusaha untuk menguatkan hatinya, dan memejamkan matanya yang berarti, bahwa ia telah siap dengan segala konsekuensinya. Lalu dia mulai melepaskan kalungnya dan memberikannya pada Diki.
"ini," ucapnya sambil tersenyum saat memberikan kalung jimatnya. Wajahnya terlihat sangat tegar.
Lalu setelah kalung itu sudah berpindah tangan, tanpa menunggu lama lagi, tubuh Rachel yang tadinya masih dalam posisi duduk langsung tertarik cepat ke belakang dan menabrak tembok di belakangnya hingga terjatuh.
Darah keluar dari sudut bibirnya. Rachel berusaha ingin berdiri namun tak sanggup.
Lalu tiba-tiba badannya seperti kaku, dan tertampar berulang-ulang sampai kedua pipinya mulai memerah.
Darah juga keluar dari hidungnya, semuanya penuh dengan darah termasuk bekas cakaran di tangan dan kaki Rachel yang tiba-tiba muncul dan membekas di kulitnya.
Diki kaget, diam, tubuhnya membeku tanpa bisa bergerak.
Entah apa yang membuatnya seperti itu, tak ada wujud yang bisa dilihatnya.
Tak nampak apa-apa, yang dia tahu sekarang adalah, Rachel sedang terluka.
Dia ingin membantu Rachel namun takut, akhirnya Diki hanya bisa mundur beberapa langkah.
Rachel yang sudah terlihat tak berdaya ambruk seketika itu juga. Napasnya tersengal, matanya sayu, dia juga tak bisa mengucapkan satu patah kata, seperti (tolong).
Sesosok tubuh yang masih mungil dan rapuh, harus menerima hantaman berkali-kali yang akan berakibat melumpuhnya otot dan syarafnya.
Tenggorokan Diki seakan tercekat dan bergumam dengan terbata-bata, "Ra... Rachel."
Rachel kecil yang baru saja ambruk tak sampai semenit tubuhnya tiba-tiba melayang.
Diki melihat penampakan mengejutkan di depan mata, namun dia hanya bisa diam dan mematung di tempat.
Anak umur 7 tahun, apa yang mereka bisa lakukan?
Tubuh Rachel yang tadinya melayang di udara tiba-tiba di hempaskan secara kasar ke bawah hingga berbunyi 'BRUK'.
Seakan bisa mendengar patahan tulang, Diki mulai menangis tanpa sadar. Bibirnya bergetar. Dia hanya bisa berdiri dan melihat.
Ibu perawat yang baru datang sangat terkejut melihat apa yang terjadi di ruangannya.
Sang perawat ingin menolong dan segera berlari menghampiri, tapi sayangnya tubuh rachel yang hampir tak bernyawa diterbangkan lagi ke atas.
Perawat tersebut langsung menatap Diki dan menyuruhnya keluar.
"Keluar, Diki. Cari bantuan!" teriaknya.
Diki yang masih terkejut dan menangis, berusaha membalikkan badannya lalu berlari keluar sambil berteriak minta tolong.
"Tolong! Tolong!"
Seisi sekolahan yang mendengar langsung keluar dari ruangannya dan bergegas menghampiri.
"Ada apa?" tanya Kepala Sekolah.
Dengan suara serak dan terbata-bata, Diki menjawab, "Ruang...Ruang UKS!"
Semuanya saling pandang.
Mereka langsung berlari menghampiri ruang yang dimaksud untuk mengetahui apa yang terjadi.
Sesampainya disana, sang perawat memeluk tubuh Rachel yang sudah pingsan dengan noda berwarna merah yang merata di mana-mana tempat.
Mereka yang melihat pemandangan mengerikan, seketika langsung berteriak histeris.
"Apa yang sudah terjadi?" tanya Bu Dini.
Tapi belum ada yang bisa menjawabnya.
Diki masih menangis, dia tiba-tiba tersadar saat memegang sesuatu.
Dipandanginya kalung Rachel sambil menangis sesegukan.
Ini semua salahnya.
Diki lupa tentang ucapan Rachel, dia merasa sangat bersalah.
Diki hanya bisa memejamkan mata dan memeluk erat kalung milik teman barunya. Dia bergumam dengan nada selirih mungkin, "Maaf."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
👾_ zura_👾
hai Tante tari
2024-09-13
1
Taricupmuach
Sekiranya terhibur, boleh minta bintang 5?
terimakasih 🥰
2024-09-13
0
❀⃝✿𝐋il 𝐌σσηℓꪱׁᧁׁhׁׁׅׅ֮֮t✿⃝❀
mampir thor
lanjutkan /Smile/
2024-06-01
0