part 3

"Ustadz Zeehan?"

Muhammad Zeehan Sakhi Pratama , nama lengkapnya. Dikenal dingin, cuek pada perempuan, tapi tidak bagi Zahra yang sudah menjadi teman dekat pria itu. Namun, sekat di antara mereka masih ada, hanya saja pria tersebut sedikit terbuka dengannya.

Pertemuan mereka berawal saat Zahra pertama kali masuk mengajar di sekolah mengaji milik abinya, Firman. Meskipun ia masih duduk di bangku kelas dua belas. Namun, ia diminta Firman untuk turut membantu mengajar di tempat itu, karena jumlah para anak-anak santri yang ingin belajar Al-Qur'an semakin bertambah, sehingga perlu pengajar tambahan dan Zahra pun menyetujuinya.

"Saya dengar dari ustadz-ustadzah, katanya hari ini kamu ulang tahun?" tanya Zeehan saat sudah berada di hadapan Zahra.

"Iya, Ustadz. Kenapa memangnya?"

Zeehan tersenyum tipis dan menggeleng. "Tidak apa. Maaf, saya tidak tahu. Oh, ya, ini ada hadiah kecil dari saya, tolong diterima, ya?"

Zahra menatap bingkisan yang dipegang Zeehan dan kembali menatap pria tersebut.

"Ya Allah, Ustadz, Ustadz Zehaan gak perlu repot-repot kasih Zahra hadiah," tolak Zahra secara halus.

"Tidak apa-apa, saya ikhlas. Lagipula ini hanya hadiah kecil dan sederhana, tapi saya berharap semoga bisa membawa kepada kebaikan."

Zahra mengambil bingkisan tersebut dengan malu-malu.

"Terima kasih, Ustadz, maaf kalau sudah merepotkan," ucapnya.

"Sama-sama. Semoga hadiahnya bermanfaat."

Zahra mengangguk. "Saya masuk ke dalam duluan, ya, Ustadz? Takut anak-anak sudah menunggu."

"Tafaddholy! Saya juga mau ke tempat wudhu sebentar."

Gadis itu pun masuk ke dalam kelas terlebih dahulu. Terlihat para anak-anak santri sudah menunggunya.

"Assalamu'alaikum, Anak-anak!" sapa Zahra tersenyum ramah.

"Wa'alaikumussalam, Ustadzah." Semua anak-anak menjawab dengan serempak membuat Zahra gemas melihat mereka.

"Udah pada baca do'a, belum?" tanya Zahra sebelum memulai kelas.

"Belum."

"Ya sudah, baca do'a dulu, yuk!" Zahra memperhatikan semua anak-anak santri yang terlihat bersemangat.

"Tangannya ditadahkan." Gadis itu memulai aba-aba agar semuanya menadahkan tangan untuk berdo'a.

"Kepala ditundukkan. Aa baa taa!" sahut mereka kompak.

Awal belajar pun dimulai dengan membaca do'a, anak-anak santri terlebih-lebih lagi Zahra, semuanya terlihat khusyuk.

Diam-diam, sepasang mata sedang mengintip di balik jendela. Ia tersenyum tipis menatap gadis yang saat ini sedang memimpin do'a tersebut.

"Uhibbuka fillah."

***

"Kak Aretha mau ikut ngajar juga?" tanya Zahra di sela-sela makan.

"Iya. Lagipula tugas kuliah Kakak gak terlalu banyak, jadi Kakak juga pengen ikut. Gak apa-apa, 'kan, Bi?" tanya Aretha kepada Firman.

Firma berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Ngga masalah, kamu bisa sekalian bantu Zahra juga di sana."

"Wahh, putri-putri Ummi, semuanya menjadi ustadzah. Maa syaa Allah, Ummi bangga sama kalian." Ninda tersenyum bahagia. Aretha dan Zahra saling tatap dan terkekeh.

"Bakal sulit ngga, sih, hadapin anak-anak?" tanya Aretha.

Zahra mengangguk, setelah itu menggeleng. "Sulitnya ada, mudahnya juga ada. Tergantung nasib kitanya, sih, Kak. Kadang-kadang kita bisa dapat santri yang rewelnya tingkatan dewa, susah diatur," jelasnya sambil mengunyah nasi.

Firman tertawa pelan mendangar penjelasan Zahra. "Yang penting dari dalam hati kita dulu. Kalau kita sanggup dan tekad kita sudah bulat, mau senakal apapun anak-anak santri, in syaa Allah kita akan bisa tetap sabar dan bertahan."

"Abi mah enak bilang kayak gitu, karena Abi orangnya penyabar. Apalah nasib kami perempuan ini yang suka ngomel-ngomel ngga jelas, meskipun kesabaran kami setingkat kabupaten, kalau dihadapin dengan hal yang nyebelin, pasti ngga bisa sabar!" sahut Ninda sewot.

Ketiga makhluk Allah itu dibuat tertawa mendengar cerocosan Ninda.

"Sabar memang sulit, tapi Allah menghadiahkan pahala besar di balik kesabaran kita itu, Sayang. Apalagi kalau ngajarin anak-anak orang mengaji, meskipun anak-anaknya pada bandel, tapi pahala akan terus mengalir," jelas Firman dengan lembut. Sontak membuat Zahra gigit bibir.

Ah, dia benar-benar menginginkan sosok laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti seperti Firman, abi angkatnya.

"Oh, iya, Abi, ngomong-ngomong di tempat anak-anak belajar, ustadz dan ustadzahnya ada berapa orang?" tanya Aretha.

"Kalau tidak salah, ada sembilan orang. Kalau Aretha jadi ikut mengajar di sana, bertambah jadi sepuluh orang," jawab Firman.

"Ustadznya ada berapa orang, Bi?" Mendengar pertanyaan Aretha, membuat Zahra tersedak makanan yang dimakannya.

"Ya Allah, Zahra, kamu kenapa?" tanya Aretha. Zahra menyengir kuda dan menatap Aretha tidak percaya.

"Jangan kaget, Zahra! Kakak cuma nanya aja, kok, ngga lebih." Aretha paham maksud tatapan adiknya itu. Zahra mengulum senyum, ia juga tau maksud dari pertanyaan Aretha. Kenapa tidak? Sudah tujuh tahun satu rumah dengannya, ia pasti tahu tentang gadis itu.

"Ustadznya ada lima orang, dua orang sudah menikah, tiga orang belum. Kenapa? Kamu pengen Abi jodohin sama salah satu dari mereka?" celetuk Firman membuat Aretha membulatkan matanya.

"Ya Allah, Bi, ngga! Aretha mau fokus kuliah dulu. Nih, suruh Zahra aja yang duluan nikah, Bi. Katanya dia suka sama salah satu ustadz di sana!" timpal Aretha sambil tertawa terbahak-bahak.

"Allahu Akbar! F1tnah! Kapan Zahra bilang gitu?" Zahra melototkan matanya.

"Maa syaa Allah, memangnya Zahra suka sama ustadz siapa?" tanya Firman. Zahra tersenyum canggung, keringat sudah mulai bercucuran di dahinya. Sedangkan Aretha, gadis itu saat ini sedang menatapnya sambil menaik-turunkan alis.

"Namanya juga anak-anak muda, Bi. Yang namanya perasaan cinta kepada lawan jenis itu pasti ada, kayak Ummi dulu. Ummi jadi ingat, deh, waktu momen pertama kali ketemu sama Abi. Benar-benar ngga bakalan terlupakan, ya, Bi, kisah cinta kita?" Ninda tiba-tiba menyahut, membuat Zahra bernafas lega. Setidaknya ia tidak perlu menjawab pertanyaan Firman tadi.

"Iya, Ummi. Karena kalau berjodoh, sudah pasti Allah akan mempertemukan, entah itu dengan cara yang tidak terduga. Sebab, bukan karena bertemu lalu berjodoh, tapi karena berjodohlah, maka bertemu."

"Tapi, Aretha dan Zahra harus ingat. Tidak semua cinta itu bisa berakhir dengan pernikahan. Terkadang perasaan cinta itu didatangkan hanya untuk menguji kita, apakah kita akan selalu memprioritaskan cinta kepada Allah atau kita akan melupakan Allah karena mencintai makhluk-Nya. Dalam mencintai, menjaga perasaan itulah yang sulit. Menjaga agar perasaan tersebut tidak menjerumuskan ke dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah." Firman memberikan nasehat yang panjang untuk kedua putrinya. Sebagai orang tua memang harus senantiasa menasehati anak-anaknya, terlebih-lebih lagi perihal agama, karena zaman sekarang, sudah berapa banyak anak-anak yang rusak karena pergaulan dan perasaan. Tidak sedikit anak-anak remaja yang bunuh diri karena putus cinta. Na'udzubillah min dzaalik.

Bersambung ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!