TAKDIR CINTA KITA

TAKDIR CINTA KITA

part 1

"Ini adalah takdir cinta kita, Ustadz. Apapun yang terjadi saat ini, itu sudah menjadi bagian dari rencana Allah. Jangan memaksakan dirimu. Berbahagialah dan jangan pikirkan aku!"

"Bagaimana bisa saya baik-baik saja di saat saya sudah melanggar janji padamu?"

Azzahra Nafeeza Fatharani, gadis yang akrab disapa Zahra itu tersenyum mendengar ucapan laki-laki yang ada di hadapannya.

"Terkadang rasa cinta itu hadir hanya karena Allah ingin menguji kita, Ustadz. Apakah kita bisa mengendalikan perasaan dan lebih memprioritaskan cinta kepada Allah atau perasaan itu akan membuat kita lupa pada Allah. Percayalah, Ustadz, Allah akan menghapus rasa cinta kita ini jika memang kita tidak ditakdirkan satu sama lain." Gadis itu menatap lekat manik hitam milik laki-laki yang sudah berhasil membuatnya jatuh cinta.

Untuk sekejap dunia terasa berhenti bagi keduanya. Sesak di dada tentu saja ada. Namun, semua sudah menjadi kehendak Sang Maha Cinta.

"Terima kasih atas rasa ini. Maaf, sudah mencintaimu secara lancang. Seharusnya dari awal aku sadar, wanita sederhana sepertiku tidak pantas untukmu."

"Kamu memang wanita yang sederhana, tapi kesederhanaanmu-lah yang membuat saya jatuh cinta,Azzahra Nafeeza Fatharani . Fii amanillah! Semoga kamu diberikan laki-laki yang terbaik."

***

"Ayah sama Bunda kenapa ninggalin Zahra sendiri di sini? Sekarang Zahra udah gak punya siapa-siapa lagi." Seorang gadis yang baru menginjak usia sepuluh tahun tengah meringkuk, menangis sembari memegang kedua batu nisan milik orang tuanya. Beberapa hari yang lalu, kedua orangtuanya menjadi korban tabrak lari sehingga membuat nyawa mereka tidak dapat diselamatkan.

"Zahra, Sayang, kamu jangan sedih lagi, ya, Nak? Tante yakin, kamu pasti kuat! Zahra juga gak perlu khawatir, karena kita adalah keluarga, jadi Zahra gak sendirian di sini. Ada Om Firman, Tante Ninda, sama Aretha yang selalu ada buat Zahra."

Azzahra Nafeeza Fatharani, gadis yang akrab disapa Zahra itu hanya menatap dengan tatapan kosong. Melihat hal itu, Aretha segera membawa Zahra ke dalam dekapannya. Gadis itu kembali menangis ketika merasakan hangatan pelukan dari Sang Tante.

Wajah yang semula putih kemerah-merahan, kini berubah menjadi pucat dengan mata yang sudah sembab.

Perlu waktu bagi gadis seperti Zahra untuk menerima semuanya, tanpa harus menyalahkan takdir. Apalagi di saat usianya yang masih membutuhkan kasih sayang dari orang tua.

Aretha, tangan wanita tersebut terulur untuk menghapus air mata yang membasahi kedua pipi keponakannya.

"Aku tau, Zahra, perempuan seperti kamu pasti kuat. Abi dan Ummi aku pernah bilang, di saat kita sedang diuji oleh Allah, itu tandanya Allah sayang sama kita. Allah tau kita mampu, Allah tau kita kuat. Ujian itu juga salah satu bentuk kasih sayang dan cinta Allah kepada hamba-Nya," ucap Aretha Zayba Almira . Gadis yang berusia empat tahun lebih tua dari Zahra itu ikut memeluknya.

"Kamu gak usah khawatir! Kita adalah keluarga, jadi kamu bisa panggil aku 'kakak' dan orang tua aku bisa kamu panggil 'abi dan ummi'. Ngga usah sungkan. Ya, 'kan, Bi, Mi?" Aretha menatap kedua orangtuanya silih berganti. Keduanya serempak mengangguk sambil mengulas senyuman hangat.

"Terima kasih, Kak Aretha." Zahra tersenyum tipis membuat ketiga makhluk Allah itu merasa sedikit lega. Setidaknya, Zahra tidak merasa kesepian, karena mereka bertiga akan selalu ada untuk gadis itu.

***

Beberapa tahun kemudian ....

"Kakak!"

Zahra. Tepat pada hari ini, usia gadis itu bertambah satu tahun.

Dengan wajah kusam karena baru bangun dari tidur, ia berjalan dengan mata celingukan mencari penghuni rumah.

"Ya Allah, orang-orang pada ke mana, ya? Kok pada gak ada," gerutunya dengan raut wajah kesal. Tanpa berpikir panjang, ia langsung masuk ke dalam kamar mandi.

Selang beberapa menit kemudian, kini Zahra sudah rapi dengan baju gamis berwarna coklat, senada dengan warna jilbab pashmina yang ia pakai.

Wajah yang putih, bulu mata yang lentik, bibir yang berwarna pink alami, dan kulit yang kemerah-merahan, membuat gadis itu terlihat cantik tanpa harus menggunakan make-up.

Saat menuruni anak tangga, lampu di ruang tamu seketika mati dan membuat Zahra sedikit kaget. Namun, secara tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara seseorang yang sudah tidak asing lagi di telinganya.

"Selamat ulang tahun!"

Firman, Ninda, dan Aretha berjalan menghampirinya sambil membawa kue ulang tahun dan beberapa kado.

Melihat hal itu, membuat senyum zahra seketika mengembang, terlihat beberapa tetes butiran kecil jatuh dari mata gadis itu.

"Selamat ulang tahun, Sayang. Abi sama Ummi do'ain yang terbaik buat kamu," ucap Ninda seraya memeluk Zahra.

"Terima kasih, Ummi. Zahra benar-benar lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahun Zahra." Mereka saling melemparkan senyum, lalu kemudian duduk di sofa.

Zahra memotong-motong kue ulang tahun tersebut lalu membaginya menjadi beberapa bagian.

"Suapan pertama buat Ummi," ucap Zahra sambil menyuapi kue itu ke mulut Ninda.

"Terima kasih, Sayang."

"Dan suapan kedua buat Abi." Firman tersenyum dan membuka mulutnya, memberikan izin agar keponakannya itu dapat menyuapinya.

"Aish, masa Kakak ngga dikasih, sih, Ra?" ketus Aretha sehingga membuat mereka semua tertawa.

"Kak Aretha pasti kebagian, kok. Tadi Zahra kasih Abi sama Ummi dulu, karena kita harus menghormati yang lebih tua. 'Kan gak enak kalau kita berdua duluan yang makan, sedangkan Abi sama Ummi belum mencoba."

Zahra tersenyum, lalu menyuruh Aretha untuk membuka mulut. "Dan sekarang, suapan ketiga untuk Kakak aku yang paaaaaling aku sayangi."

Keduanya sama-sama terkekeh, Aretha pun membuka mulut untuk menerima suapan kue dari zahra.

"Terima kasih, ya, zahra. Walaupun kita bukan saudara kandung, kamu tetap adik aku dan Abi sama Ummi adalah orang tua kita." Aretha memegang pundak zahra sebelum ia kembali melanjutkan ucapannya.

"Tepat di hari ulang tahun kamu, Kak Aretha bakal do'ain yang terbaik. Semoga kamu dipanjangkan umur, sehat selalu, dimudahkan setiap urusan, lulus sekolah dengan nilai terbaik, dan dipertemukan dengan jodoh yang terbaik menurut Allah. Aamiinn."

"Aamiin." Mereka serempak meng'aamiin'kan do'a yang diucapkan Aretha.

Sejenak Firman dan Ninda saling pandang. Meski Zahra bukanlah anak kandung, tetapi kebahagiaan mereka terasa lengkap setelah gadis itu masuk ke dalam kehidupan mereka.

Beberapa tahun setelah ditinggalkan oleh kedua orangtuanya, kini Zahra tidak terlalu sering menangis lagi. Firman dan Ninda juga selalu menasehati kedua putrinya, terlebih-lebih lagi Zahra agar gadis itu selalu mendo'akan orang tuanya.

"Ohya, bagaimana kalau kita sekarang ziarah ke makam ayah dan bundanya Zahra?" ajak Firman membuat wajah Zahra seketika berbinar.

"Wah, boleh tuh. Ya sudah, sekarang aja, yuk?" Ninda menyahut dengan antusias.

Zahra mengangguk semangat, lalu merapikan jilbabnya. "Ayok!"

***

"Assalamu'alaikum, Ayah, Bunda, Zahra datang." Gadis itu menangis sembari menaburkan bunga di atas kubur orang tuanya.

"Ayah, Bunda pasti tau, 'kan? Hari ini Zahra ulang tahun, sekarang putri kalian juga sudah besar. Zahra yakin, meski kita udah berbeda alam, tapi di sana kalian pasti do'ain Zahra." Zahra menghela nafas sambil menyerka air matanya.

"Dulu waktu masih kecil, Zahra cerewet, ya, Yah, Bund? Zahra sering marah-marah kalau mainan yang Zahra pengenin gak dibeli-in sama kalian. Ayah dan bunda juga sering banget nasehatin Zahra agar menjadi perempuan yang baik, sholehah, dan berbakti kepada orang tua."

"Ayah, Bunda, Zahra rindu," lanjutnya dengan isakan tangis.

Firman lalu berjongkok dan memegang bahu Zahra. Pria itu nampak tersenyum, matanya menatap batu nisan milik saudaranya—ayah Zahra.

"Lihat Zahra, Arhan! Sekarang anak gadis yang dulunya kamu dan istrimu rawat dengan baik, sekarang dia sudah menjadi anak yang sholehah dan anak yang kuat. Sekarang, anak gadis kalian sudah berumur tujuh belas tahun, dia persis seperti kalian. Cantik, baik hati, dan sholehah." Sejenak Firman menatap Zahra dengan mata yang berkaca-kaca. Gadis tersebut menatap Sang Om dengan tatapan sendu.

"Aku berjanji, aku akan pegang amanah ini dengan baik, aku akan menjaga Zahra dan merawatnya seperti aku merawat Aretha. Kalian pasti bahagia di sana, melihat putri kalian yang sudah besar dan yang selalu mendo'akan kalian."

Zahra, ia tersenyum mendengar penuturan Firmah. Meskipun Firman dan Ninda bukanlah orang tua kandung. Namun, mereka sangat menyayangi gadis itu.

Ninda dan Aretha pun ikut berjongkok dan mengelus-elus bahu Zahra.

"Jangan sedih, oke? Ada Kakak dan Abi sama Ummi di sini yang bakal selalu ada di samping kamu," ucap Aretha. Keduanya sama-sama tersenyum dan berpelukan.

"In syaa Allah." Sejenak Zahra menatap ketiga makhluk Allah yang ada di sampingnya. Ia ingin mengatakan sesuatu.

"Abi, Ummi, Kak Aretha. Terima kasih, ya? Selama ini kalian udah mau menerima Zahra, menjaga, dan merawat Zahra. Dulu Zahra pikir, Zahra gak punya siapa-siapa lagi, tapi ternyata Allah Maha Baik. Zahra dikasih sama Allah keluarga yang benar-benar sayang sama Zahra."

"Sama-sama, Sayang. Meskipun kamu bukan anak kandung kami, tapi kami tetap sayang sama kamu, seperti kami menyayangi Aretha. Kalian berdua anak-anak yang berbakti dan sholehah. Ummi sama Abi bangga punya putri seperti kalian," ucap Ninda bangga.

Zahra tersenyum, lalu mengangguk. Ia dan Aretha pun sontak memeluk Ninda dengan erat. Firman lantas tersenyum melihat ketiga perempuan tersebut, ia membelai dengan lembut kepala Sang Istri.

"Ya sudah, sebelum pulang, kita berdo'a dulu, yuk?" ajak Firman yang dibalas anggukan oleh mereka.

***

"Ustadzah Zahra!"

Mendengar namanya dipanggil, membuat pemilik nama itu menoleh ke belakang. Zahra mendapati pria yang ia kenal sedang berdiri di belakangnya sambil membawa bingkisan.

"Ustadz Zeehan?"

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!