Setelah memikirkan matang-matang, Maira menyetujui pernikahannya dengan Reza. Entah bagaimana rumah tangganya nanti, ia tak peduli. Toh juga hanya siri, dan hanya sementara sampai Reza menemukan baby sitter yang mau menginap dan bisa bekerja dengan baik, untuk Alisha. Yang penting, Alisha aman di tangannya.
Tak pakai lama, akad pun digelar tepat 2 bulan setelah kematian Nindy. Acara itu juga hanya dihadiri oleh perwakilan tetangga dan kerabat dekat serta keluarga Reza. Meski pernikahan ini tentu menjadi perbincangan karena dirasa terlalu cepat. Namun, setelah Bu Intan memberi pemahaman pada warga sekitar, mereka seakan setuju, karena naik ataupun turun ranjang adalah hal yang wajar terjadi. Apalagi jika anak adalah alasannya, dan untuk menghindari fitnah.
Setelah penghulu dan saksi telah hadir, akad pun siap dilaksanakan.
“Saudara Reza Bara Satrio, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan saudari Maira Naraya, dengan seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar 50 juta rupiah, dibayar tunai!”
Sekian detik Reza terdiam. Seketika ia mengingat momen akadnya awal tahun lalu dengan Nindy Naraya. Dan sekarang, ia kembali berakad dengan wanita lain. Sungguh, hal yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi dalam hidupnya.
Melihat para tamu yang hadir, juga mamanya yang seakan menunggunya, Reza bergegas menyelesaikan akadnya. “Saya terima nikah dan kawinnya Maira Naraya dengan mas kawin tersebut tunai.”
“SAH!!!”
Tak ada raut wajah yang gembira antara Reza dan Maira, meski ekspresi sumringah terpancar dari para tamu, juga Bu Intan.
###
Selepas akad, Maira resmi tinggal di rumah Reza. Ia kembali menjalankan aktivitasnya untuk bekerja seperti biasa, dan mengurus Alisha sepulang kerja tentunya. Mama Reza juga langsung pulang ke rumahnya sendiri keesokan harinya setelah akad, karena beliau juga memiliki kesibukan mengurus butiknya, peninggalan sang suami, papanya Reza.
Berbeda saat menjadi iparnya dulu hingga sebelum mereka menikah, Reza begitu ramah dan baik, kini Reza begitu dingin dan kaku kepadanya semenjak rencana pernikahan itu ada, hingga saat ini. Entah karena ia belum bisa menerima pernikahan ini, atau memang dari awal tak menginginkan menikahi Maira. Yang jelas, Maira merasa bahwa mantan ipar yang sekarang menjadi suaminya itu, tak seharusnya bersikap demikian, karena ia sendiri juga tak menginginkan pernikahan ini dari awal.
“Memang dari awal aku mau menikah dengannya? Apa dikira aku suka padanya dan bahagia akan pernikahan ini? Sok sekali gayanya,” gumamnya dalam hati.
Meskipun begitu, Maira tetap berusaha menjadi istri yang baik karena ia tak mau mempermainkan janji suci yang telah diikrarkan.
Hari ini, ia mulai menyiapkan sarapan sebelum ia dan suaminya berangkat bekerja. Namun sayangnya, Reza dengan mudahnya menolak sarapan yang sudah disiapkannya dengan alasan sedang terburu-buru. Padahal, Maira sudah rela bangun pagi untuk menyiapkannya setelah semalam begadang mengurus Alisha.
“Aku bekalkan saja ya, Mas, biar bisa dimakan di jalan,” tawar Maira dengan sabar.
Tak menjawab, Reza justru pergi begitu saja tanpa berpamitan pada istrinya.
Maira hanya bisa mengelus dada lalu bersiap berangkat kerja, tak lupa berpamitan pada Alisha dan menitipkannya pada pengasuhnya yang lama, yang sudah kembali bekerja menjaga Alisha.
Hingga sampai malam hari saat Reza pulang kantor, Maira belum juga pulang ke rumah. Padahal, pengasuhnya sudah mau pulang dan Alisha masih menangis. Reza dengan sabar menggendong dan menenangkan bayinya.
Tak lama, Maira pulang dan segera mencuci tangannya.
Mendengar tangisan Alisha, ia bergegas ke kamar untuk menggendongnya. “Sini, Mas, biar aku saja.”
“Kerja jam segini baru pulang. Seperti itu yang kamu bilang mau urus Alisha? Buktinya aku juga yang harus turun tangan!” ketus Reza memberikan Alisha untuk digendong Maira.
Maira meminta maaf karena jarak rumah Reza dengan kantornya yang sedikit jauh, membuatnya pulang terlambat.
“Ya tidak apa-apa juga ‘kan kalau ia disentuh papanya dulu. Kenapa harus sewot,” balas Maira.
Hingga beberapa hari kejadian serupa terus terjadi dan membuat Reza semakin kesal. Seakan ia merasa bahwa tak ada gunanya ia menikahi Maira jika ia sendiri yang tetap harus terburu-buru pulang demi bisa mengurus anaknya. Pengasuh Alisha hanya bertugas sampai jam 6 sore saja, setelahnya, ia akan menitipkannya pada asisten rumah tangga sampai orang tuanya pulang kantor.
Sama-sama lelah, berdebat setelah pulang kantor pun tak dapat terelakkan.
“Kalau dari kosku ke kantor, jaraknya dekat, Mas, jalan kaki saja hanya 15 menit, naik ojek juga hanya 5 sampai 10 menit, pengasuhnya pasti masih mau menunggu sebentar. Makanya dulu aku berani menawarkan untuk merawat Alisha di kosku. Kalau dari rumahmu, perjalanan ke kantorku saja dengan KRL 1 jam, belum ke stasiunnya. Aku sendiri pulang kantor jam 6 sore, jelas saja aku sampai rumah sudah malam.” Maira membela diri karena memang begitu adanya.
“Aku tidak mau tahu, aku menikahimu hanya untuk Alisha. Kalau begini caranya, apa bedanya dengan aku yang mengurusnya sendiri? Tak ada gunanya menikah denganmu!” bentak Reza yang seolah tak mau peduli dengan keluhan istrinya.
Deg. Jantung Maira seakan berhenti berdegup mendengar bentakan suaminya. Baru beberapa hari menjadi istrinya, hatinya sudah dibuat teriris. Sedih dan kesal menjadi satu.
Harus begini kah mantan iparnya itu memperlakukannya?
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments