3

Sesampainya di tokoh buku.

"Kak Rizki sukanya genre apa?" tanya Nisa.

"Hampir semua sih. Tapi paling suka genre horor," jawab Rizki.

"Horor?! Emangnya Kak Rizki nggak takut?" tanya Nisa lagi.

"Takut? Sama novel horor? Muka Akmal lebih serem dari setan!" ucap Rizki.

Akmal mengambil sebuah buku novel romansa komedi. "Ini bagus nih! 'Nikahi Aku Mas' bagus!" Akmal menyebutkan judul buku itu.

"Apaan? Nikahi Aku Mas? Udah kayak sinetron!" bantah Rizki.

"Atau ini aja nih!" Akmal menunjukkan buku yang lain. "Denganmu Aku Cinta, Tanpamu Aku Hampa! Anjaaasss! Udah kayak anak senja bae! Ha ha!" lanjutnya sambil tertawa.

"Kalo lo sukanya yang kayak gimana, Nis?" tanya Rizki.

"Sebenarnya aku lebih suka cerpen antologi. Soalnya dari satu buku bisa baca banyak cerita. Kalo novel, aku suka juga, tapi nggak semuanya," jawab Nisa.

Dari rak buku yang lain, Rendi dan Amo tengah menutupi wajah mereka dengan buku. "Ngapain kita ngikut ke sini?" bisik Amo dengan kesal.

"Ngapain? Kamu nanyeaaak? Kamu bertanyek-tanyek?" bisik Rendi dengan nada sedih.

"Gue tampol muka lo pake buku, mau?!" balas Amo.

"Kita ke sini buat ngeliat apa yang Rizki rencanain? Atau dia mau ngapa-ngapain Nisa?" tuduh Rendi.

"Nggak mungkin! Lagian mereka gimana mau ngapa-ngapain di toko buku kayak gini?! Emangnya mereka nggak malu ngapa-ngapain di depan jendela?" Amo mencoba melucu dengan mengangkat buku.

"Jendela? Itu buku! Jendela ilmu! Bukan jendela rumah bapak lo yang segede gaban!" omel Rendi memukul pelan kepala Amo dengan buku dongeng yang ia pegang.

Amo cekikikan melihat Rendi merasa jengkel dengan leluconnya.

"Gue kutuk juga lo lama-lama!" omel Rendi lagi sambil membuka buku dongeng Sangkuriang.

"Eh! Liat tuh!" Amo menunjuk ke arah Nisa. Rendi dengan sigap memerhatikan.

Nisa dan Rizki sedang memegang buku yang sama. Lalu mereka terkekeh. "Kok bisa samaan?" ucap Nisa.

"Covernya bagus, jadi gue pilih yang ini," balas Rizki.

"Ya udah, kita beli yang ini aja. Dulu aku pernah baca di perpus SMP. Bagus kok ceritanya, Kak. Aku mau baca lagi!" ucap Nisa. Mereka berlalu menuju kasir.

"Buku apaan tuh?" tanya Rendi.

"Lo harus beli buku itu juga, Ren!" ucap Amo.

"Lah, kenapa?" tanyanya.

"Biar kapo Nisa bahas novel itu sama Rizki, lo bisa ikutan bahas! Lo tau! Lo bisa ambil kesempatan buat ikut ngobrol!" jelas Amo.

Rendi dan Amo langsung mendatangi tempat mereka dan mengambil buku yang sama. Akmal tak sengaja memergoki mereka berdua.

"Lo!" tunjuk Akmal begitu melihat Amo dan Rendi.

Dengan cepat Amo membekap mulut Akmal dan menyeretnya ke bilik rak yang lain.

"Diem! Atau gue gorok leher lo!" ancam Amo.

Akmal menutup mulut dengan tangan sambil mengangguk.

"Jangan bilang siapa-siapa kalo kita ada di sini!" tegas Amo.

Akmal mengangguk dengan cepat.

"Ya udah, sono! Bersikap normal-normal aja! Anggap aja gue sama Rendi nggak ada di sini!" ucap Amo mendorong Akmal menjauh.

Akmal bergegas menghampiri Rizki dan Nisa.

"Kenapa sih gue mesti ketemu sama psikopat itu?! Aduuhh! Gue mesti cepet-cepet keluar dari sini! Jangan-jangan Amo ngikutin gue, dia mau nyulik gue, terus gue dimutilasi! Aagh!" gerutu Akmal sambil memukul-mukul pelan kepalanya. "Gue harus normal!" jeritnya dengan pelan.

"Kenapa lo?" tanya Rizki.

"Nggak! Tadi gue baca novel serem parah! Tentang psikopat!" jawab Akmal.

***

Amo berbaring di kasurnya. Seragam putih abu-abu masih melekat di tubuh gadis itu. Ia mengambil buku novel yang tadi dibeli.

Dengan sampul buku bergambar seseorang di tengah guyuran hujan. Perpaduan yang sempurna antara warna hitam dan putih. Tertulis judul di depannya, "Friendzone".

"Friendzone?" gumam Amo.

Amo memutar buku itu dan membaca blurb di bagian belakang.

"Mungkin aku terlalu banyak berdiam. Sehingga ia tak mengetahui apa yang sedang kupendam. Seharusnya aku berani untuk tidak membungkam. Tapi, aku memilih untuk tetap menjadi api yang padam." Paragraf pertama pada blurb itu membuat Amo tersentak. "Maksudnya?" tanya gadis itu.

"Biarlah. Biar aku tak terlihat. Biar aku menjadi sosok yang tak kasat. Akan kupelihara rasa ini sampai tenggelam, hingga tak ada satupun yang mampu mengangkat."

"Aku bodoh. Berharap dia mengetahui apa yang ada di hati ini. Tapi untuk mengungkapannya saja, aku tak berani. Bagaimana caranya agar ia mengerti? Bahwa namanya adalah hafalan yang sulit dilupakan. Bahkan wajahnya selalu tergambar jelas di ingatan."

"Bukan sengaja untuk membiarkan sosoknya menjadi candu di mataku. Kukira perasaan itu akan hilang seiring waktu. Kini, waktu berlalu. Yang tersisa malah semua tentang dirinya."

"Apa yang harus aku lakukan? Jika aku tak mengatakannya, itu hanya akan menyakiti diriku sendiri. Namun, jika aku menyampaikannya, itu akan merusak pertemanan kami."

Amo terdiam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!