Part 4 : Bertanggungjawab Nikahin Kakak

"Kakak pengin ngobrol, becanda sama kamu lagi seperti dulu," ujar Arda.

Kania menarik napas panjang.

"Sebenarnya Dokter menyuruh saya kesini untuk kepentingan pribadi atau ada hubungannya dengan papa saya?!" tanya Kania geram.

Arda menunjuk sesuatu di mejanya dan Kania pun ikut menoleh.

"Sudah Kakak siapkan, tapi, jangan pulang dulu, nanti Kakak kontrol lagi jam 11." ujar Arda.

"Ya sudah, saya bawa ini, terima kasih." ucap Kania mengambil bungkusan obat-obatan dan lembaran kertas yang berisi penyelesaian administrasi.

"Kamu masih cinta 'kan sama Kakak, Kania?" tanya Arda.

"Apaan sih, nggak jelas!" gerutu Kania.

Langkah Kania langsung terhenti karena Arda kembali menahannya.

"Kenapa sih Kakak datang lagi? aku sudah lupa sama semuanya!"

Bola mata Kania mulai berkaca-kaca.

"Kania, mungkin ini takdir, kita bertemu kembali disaat usia kita sudah sama-sama cukup." jawab Arda.

Kania terdiam dengan sejuta luka masa kecil saat cintanya ditolak.

"Kakak masih ingat kok bagaimana kamu menyambut kedatangan Kakak, kamu lari ke gendongan Kakak lalu menciumi Kakak, sampai abang kamu marah-marah." tutur Arda.

Kali ini Kania bukan hanya merasa kesal, tetapi juga malu yang luar biasa.

"Jangan ngada-ngada!" bantah Kania.

"Kakak masih menyimpan foto-foto kita dulu." ujar Arda.

Kania seperti mati kutu, Arda kembali membuatnya tidak bisa memiliki jawaban lagi untuk mengelak. Sebelum menyatakan cinta, Kania dan Arda sering berfoto-foto seperti kakak beradik yang sangat akrab.

"Permisi, saya mau selesaikan administrasi." ujar Kania mengalihkan pembicaraan.

"Tolong dibukakan pintunya." pinta Kania.

Arda mengambil remote, namun tak langsung ia bukakan pintunya.

"Izinkan Kakak buat meluk kamu, sebagai permintaan maaf atas penolakan Kakak dulu." pinta Arda.

"Hih, modus!" tolak Kania.

"Kasian istri Dokter!"

"What? istri?"

Arda langsung terkekeh dan membuka dompetnya untuk mengambil KTP.

"Kakak belum pernah menikah, Kania." jawab Arda.

Kania menatap Arda sekilas, ia takut semua ini hanyalah sebuah jebakan dan nantinya berita dokter tengah selingkuh menjadi viral di dunia maya. Apalagi kakaknya sendiri yang merupakan teman Arda sudah menikah, Kania pun menganggap semua teman-teman kakaknya sudah menikah juga.

Kania berusaha merebut remote itu, tetapi Arda masih terus menyembunyikannya.

"Sebentar saja, Kania." pinta Arda lagi.

"Demi apapun Kakak belum punya pasangan, jangan khawatir." sambungnya.

"Lihat ini, belum menikah."

Kania melihat KTP milik Arda dan ia langsung tertuju pada status. Meskipun lega, tetapi ia masih terjebak rasa amarah.

Kania membayangkan papanya yang sendirian, apalagi kakaknya sedang memiliki urusan sehingga tidak bisa datang ke rumah sakit lagi setelah kemarin malam.

"Buruan! jangan macam-macam! jangan pake n4fsu!" suruh Kania yang akhirnya mengalah karena ingin cepat-cepat keluar dari ruangan ini.

Arda tersenyum, ia maju selangkah untuk lebih dekat dengan Kania yang menghadap ke samping demi menghindarinya itu. Arda meraih kedua bahu Kania supaya gadis itu menghadapnya. Namun, mata Kania masih enggan membalas tatapan Arda.

"Kania, ternyata kamu benar-benar terluka atas penolakan Kakak waktu itu. Kakak benar-benar minta maaf, Kakak tidak ada maksud apa-apa, karena waktu itu kamu masih kecil. Kakak pengin kamu fokus sama sekolahmu. Jangan terburu-buru memikirkan cinta, karena resiko mencintai itu ya sakit hati, Kakak nggak mau itu terjadi." tutur Arda.

"Kalau kita pacaran waktu itu, yang ada Kakak dianggap pedofil," sambungnya.

Penuturan Arda membuat Kania akhirnya menatap laki-laki itu. Kali ini buliran bening memenuhi kedua mata Kania semakin penuh.

"Nggak mau terjadi? hah!" Kania menggelengkan kepalanya.

"SEMUA ITU SUDAH TERJADI!"

"Iya, iyaa, Kakak ngerti. Maka dari itu maksud Kakak seperti itu, Kakak benar-benar nggak menyangka, Kania. Kakak minta maaf ya." balas Arda langsung memeluk Kania.

Akhirnya buliran bening itu mengalir juga didalam pelukan Arda. Arda mengusap rambut Kania dengan lembut sembari terus mengucapkan kata maaf. Ia juga membantu Kania untuk mengusap air matanya.

Tangis Kania masih seperti dulu, seperti anak bayi sehingga membuat Arda benar-benar gemas dan justru ingin tertawa. Arda menahan tawanya itu saat melihat Kania menyebikkan bibirnya sembari mengusap air mata.

Arda teringat kebiasaan Kania saat menangis, yaitu minta digendong. Arda pun melakukan hal itu dan Kania sepertinya lupa siapa orang yang sedang bersamanya sehingga ia langsung mengalungkan satu tangannya tanpa pemberontakan.

Arda duduk di kursi dan Kania berada di pangkuannya dengan posisi menyamping. Ia langsung mengusapkan tisu di mata Kania agar tangisnya segera berhenti.

Tiba-tiba tangis Kania benar-benar terhenti, ia langsung tersadar posisinya dimana. Ia menatap wajah orang yang bersamanya itu lalu kedua matanya langsung melotot.

"Dokter abis apain saya?!" bentak Kania.

"Nggak apa-apain, cuma berusaha mendiamkan bayi lucu yang sedang menangis ini," jawab Arda sembari menoel hidung Kania.

Kania langsung mengusap hidungnya kasar.

"Hemm, beberapa tahun yang lalu, kamu selalu minta digendong atau dipangku seperti ini sama Kakak. Kamu mengusap-usap wajah Kakak dan nggak lupa cium-cium Kakak sambil cerita kalau abangmu galak karena suka marah-marah, sampai kamu mau tukeran abang." ujar Arda kembali membuat Kania malu dan kesal yang bersamaan.

"Kalau dipikir-pikir, Kakak ini yang sudah dimacam-macami sama kamu, ya. Kakak bisa nuntut lho, kamu harusnya bertanggungjawab nikahin Kakak." goda Arda.

"APA-APAAN ITU! NGGAK JELAS! LEPASIN! AWAS!"

Kania langsung membuka mulutnya dan siap-siap akan menggigit tangan Arda yang terus berusaha menahannya.

"Aaaa! ADUH!!" pekik Kania yang tersandung kakinya sendiri.

"Kamu nggak papa, 'kan?" tanya Arda memastikan.

"Hah?"

Kania membuka matanya sembari nyengir, kemudian mengernyitkan dahinya.

"Nggak papa!" jawab Kania lalu berdiri sembari merapikan baju dan rambutnya. Sedangkan Arda juga ikut berdiri setelah menolong Kania yang hampir jatuh, untung saja tangannya cukup cepat.

"Terima kasih!" ucap Kania sembari mengambil obat papanya yang sudah disiapkan oleh Arda itu.

"Sudah Kakak selesaikan administrasinya, kamu langsung ke ruangan papa saja."

Kania langsung membaca kertas itu dan sudah bertandakan lunas. Ia ingin menolak, tetapi cukup waktunya habis di ruangan ini.

"Itu papaku, bukan papa dokter! sekali lagi terima kasih!" ucap Kania.

Arda membukakan pintu untuk Kania.

Tanpa menoleh-noleh lagi, Kania melangkahkan kakinya dengan cepat, bathinnya mengomel tidak jelas.

"Papa, maaf lama, tadi ngantri." ucap Kania lagi-lagi terpaksa berbohong.

"Iya, nggak papa, Papa barusan telpon sama abang kamu." jawab papa tersenyum.

Papa meletakkan ponselnya di meja nakas.

"Apa kata dokter Arda?" tanya papa.

"Pulangnya nunggu dia kontrol kesini jam 11 nanti, Pa."

"Soal administrasi sudah selesai." jawab Kania.

Kania terdiam, seperti ada yang mengganjal dalam kebohongan yang ia lakukan hari ini.

"Pa, tadi dibayarin sama dokter itu." ujar Kania pelan.

Papa langsung terkejut.

"Kok bisa? nggak murah 'kan biaya pelunasan Papa ini?''

"Ya, itu Pa, Nia kesana sudah dibayar semuanya, tinggal ambil obat ini." jawab Kania memperlihatkan obat-obatan yang ia bawa.

Tiba-tiba papa tersenyum, ntah apa yang ada dipikirannya.

"Papa kenapa kok senyum-senyum sendiri?" tanya Kania curiga.

"Nggaak, itulah yang namanya rezeki, kita nggak pernah tau." jawab papa.

"Pasti anak istrinya juga jauh lebih dibahagiakan sama dokter Arda." sambungnya.

"Dia belum menikah, Pa." sahut Kania.

"Oh, iya kah? Papa kirain sudah, karena seusia sama abangmu." balas papa.

Kania tidak menjawab, bukti DNA bapak dan anak yang tidak perlu diragukan lagi karena memiliki perkiraan yang sama.

"Jangan-jangan dokter Arda naksir sama anak gadis Papa, cieee." goda papa pada putrinya itu.

"Ihh, apa-apaan sih, Pa. Nggak ya, nggak ada kayak gitu ih." tolak Kania dengan bibirnya yang cemberut.

.........

Jam 11 siang, Arda kembali mendatangi ruangan papa Kania. Kali ini tanpa didampingi oleh asistennya.

"Semuanya sudah cukup baik ya, Pak. Dijaga lagi kesehatannya." ujar Arda.

"Sekarang boleh pulang." sambungnya setelah selesai memeriksa.

"Terima kasih, Dokter." ucap papa.

Arda menoleh-noleh untuk mencari sesuatu yang bisa ia bantu, tetapi ia melihat ruangan itu sudah bersih.

"Apakah bawa kendaraan sendiri atau ada yang menjemput?" tanya Arda.

"Bawa mobil sendiri." jawab Kania cepat.

"Iya Dok, kebetulan bawa mobil sendiri jadi tadi anak gadis saya ini nyicil naruh barang-barangnya ke mobil." timpal papa.

Papa turun dari ranjang rawatnya itu dengan dibantu oleh Arda dan Kania. Badannya semakin menggemuk karena pengaruh konsumsi obat-obatan beberapa waktu terakhir.

"Kalau Dokter masih ingat dengan kediaman kami, silahkan berkunjung ke rumah kalau tidak sibuk." suruh papa yang membuat Kania melotot.

"Oh ya, kata anak saya, Dokter sudah melunasi biaya rumah sakit. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih." sambung papa.

Arda mengangguk.

"Sama-sama, Pak. Nanti kalau sudah ada jadwal libur praktek, pasti saya akan berkunjung." jawab Arda.

Papa sudah duduk di kursi roda, karena jarak ruang tempatnya dirawat dengan lantai dasar cukup jauh. Sedangkan Kania siap mendorong kursi roda tersebut dan Arda berdiri dibelakangnya.

"Hati-hati ya." ucap Arda mencium rambut Kania dari belakang lalu mengusapnya lembut.

Kania terkejut, ia langsung menatap papanya karena takut ketahuan. Tetapi papanya kesusahan untuk mendongak sehingga memberikan jawaban tanpa menatap Arda.

Arda tersenyum tipis sembari melambaikan tangan, sedangkan Kania mengomel dalam hati sembari memberikan tatapan tajam.

Episodes
Episodes

Updated 42 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!