Part 3 : Sempit Sekali Dunia Ini!

Pagi itu, kamar pasien VIP tempat papa Kania di rawat mendapatkan kiriman satu paket sarapan. Lengkap dengan buah-buahan, minuman, dan juga cemilan.

Awalnya Kania sempat berpikir siapa yang mengirimkan semua itu, tetapi ia tak membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan jawabannya.

''Terima kasih,'' ucap Kania sopan.

''Sama-sama, permisi.'' balas wanita itu lalu pergi.

Kania kembali masuk, bahkan kiriman itu lebih cepat dari pengantaran jadwal sarapan untuk pasien.

''Pagi-pagi sekali kamu sudah pesan sarapan?'' tanya papa.

''Ohh, iya Pa, Nia sudah lapar,'' jawab Kania berbohong.

''Ya sudah, langsung di makan saja, mumpung masih pada anget-anget,'' suruh papa.

Kania terpaksa harus mengiyakan. Semua menu sangat menggiurkan cacing-cacing di dalam perutnya.

Tak lama kemudian, sarapan untuk papanya pun datang. Kania langsung menunda sarapannya dan mempersiapkan untuk papanya terlebih dahulu. Satu telur ayam kampung sudah Kania kupaskan, daging ayam juga ia potong menjadi kecil-kecil supaya papanya tinggal menyendok saja. Tak lupa juga kuah sop berwarna bening itu.

Jika kemarin pagi sarapannya dengan bubur, kali ini nasi putih lembut, lengkap dengan sayur, lauk pauk, dan juga buah.

''Ini, Pa.'' ujar Kania.

Papa langsung menegakkan posisi duduknya. Kania menggeser meja makan agar papanya lebih nyaman.

Mereka berdua pun sama-sama sarapan, rencananya hari ini sudah diizinkan untuk kembali ke rumah. Apalagi melihat dari perkembangan papa sudah semakin membaik.

''Permisi,'' ucap seorang yang datang.

Keduanya langsung menoleh, dokter dan asistennya datang untuk mengontrol kondisi papa.

''Selesaikan saja dulu, tidak apa-apa,'' ujar dokter itu.

''Tapi, masih beberapa suap lagi, Dok.'' balas papa yang hendak menghentikan sarapannya.

''Tidak apa-apa, Pak, saya tunggu.'' balasnya yang diiringi dengan senyuman, sekilas ia melirik pada gadis itu.

Kania menutup kembali makanannya. Melihat Arda yang mencuri pandang kepadanya membuat Kania tidak nyaman. Ia pun langsung izin ke kamar mandi untuk mengendalikan perasaannya yang sedang tidak karuan.

Arda hanya bisa tersenyum tipis di dalam masker.

''Maaf, Pak, apakah Bapak papanya Dion?'' tanya Arda pura-pura masih ragu.

Papa yang baru selesai sarapan, langsung mengangguk.

''Dokter kenal dengan anak saya?'' balasnya senang.

''Saya Arda, Pak, teman sekolah Dion waktu SMA. Saya dulu sering main ke rumah untuk bermain PlayStation.'' jawab Arda menerangkan.

Arda mengulurkan tangannya dan langsung disambut ramah oleh pak Rianto.

Papa mencoba untuk mengingat-ingat, tetapi tetap saja tidak ingat karena memang jarang berbaur dengan teman anak-anaknya.

Di waktu yang sama, Kania keluar dari kamar mandi.

''Waduh, sepertinya saya memang nggak ingat wajah teman-teman dari anak-anak saya, Dok, hehe''

"Apalagi sekarang sudah tambah tua, maaf ya, Dok." sambung pak Rianto merasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Pak," jawab Arda mengerti.

''Kania, Pak dokter ternyata teman dari abang kamu, lho.'' ujar papa senang.

''Ohh, iya.'' jawab Kania sembari membereskan wadah sarapan papa.

''Kamu kenal?'' tanya papa lagi.

''Nggak, Pa. Teman bang Dion 'kan banyak, nggak cuma satu orang saja.'' jawab Kania malas.

Papa menjadi tidak enak melihat jawaban putrinya itu.

''Maaf ya, Dok.'' ucap papa.

Arda mengangguk sambil tersenyum.

''Tidak apa-apa, Pak, memang benar apa yang dikatakan sama Kania.'' jawab Arda.

Arda langsung menanyakan kondisi pagi ini, papa terlihat sudah lebih fit. Lanjut memeriksa kondisi dengan peralatan medisnya. Sedangkan Kania seperti biasa yang langsung mengalihkan pandangannya.

''Jadi, hari ini sudah bisa pulang ya, Dok?'' tanya papa yang sudah tidak betah berada di sini.

''Setelah melihat perkembangan Bapak yang semakin membaik, hari ini boleh pulang ya, Pak. Lanjut istirahat di rumah, dan jangan lupa untuk kontrol lagi.'' ujar Arda.

''Baik, Dok.'' jawab papa.

"Kania, nanti ke ruangan saya ya untuk mengurus penyelesaiannya." suruh Arda.

"Biasanya dibagian administrasi," balas Kania.

"Niaa," panggil papa menekankan suaranya meskipun lirih.

"Iya Pa," jawab Kania yang akhirnya mengiyakan apa yang disuruh oleh Arda.

Pak Rianto menatap punggung dokter Arda yang keluar dari ruangannya, lalu beralih menatap Kania yang masih membereskan sisa sarapannya.

"Nia, tolong lebih sopan ya sama dokter tadi. Papa lupa tadi siapa namanya." ujar papa pelan.

"Namanya Arda." jawab Kania.

Setelah sarapan, Kania menemani papanya untuk berjemur di depan. Apalagi cuaca hari ini cukup cerah sehingga tepat untuk berjemur.

"Kamu 'kan tadi disuruh sama dokter Arda buat ke ruangannya." ujar papa.

"Ma-, eh nanti, sebentar lagi, Pa. Kalau Papa sudah cukup berjemurnya dan sudah ke dalam lagi, baru deh aku ke ruangan dokter itu." jawab Kania.

"Dokter Arda, kamu tadi sebut namanya," ujar papa.

"Hemm,"

Sudah cukup berjemur, papa dan Kania kembali masuk ke dalam ruangan. Papa kembali mengingatkan Kania untuk ke ruangan Arda.

"Nia ..,"

"Iya Pa, aku ingat kok. Sebentar ya," sahut Kania menahan rasa sebalnya.

Saat membuka ponselnya, ada pesan masuk dari nomor baru. Kania langsung mengernyitkan keningnya.

"Kenapa sayang?" tanya papa.

"Nggak papa, Pa, temanku pagi-pagi sudah kirim pesan mau pinjam duit." jawab Kania berbohong lagi.

"Ya kalau kamu tau betul keadaannya gimana dan orangnya nggak susah ya ditolong aja, siapa tau dia benar-benar butuh." ujar papa menasehati.

"Siap komandanku," jawab Kania ingin tertawa.

"Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang sedang berbohong ini." bathin Kania tertawa.

Pesan masuk itu Kania yakini dari nomor Arda, karena berisikan kata ditunggu. Kania menarik napas dalam-dalam sejenak.

"Ini hp Papa, aku mau ke ruangan dokter," ujar Kania sembari menyodorkan ponsel papanya yang sedari kemarin ia bawa. Saat mengisi data pasien, Kania pun menyantumkan nomor papanya.

"Iya," jawab papa sembari menerima ponselnya.

Kania kembali menarik napas dalam-dalam saat berada diluar ruangan. Ia menatap ruangan papanya sekilas.

"Padahal rasa sakit itu sudah lupa, eh, malah ketemu lagi! sempit sekali dunia ini!!" gerutu Kania dalam hati.

Dengan langkah yang malas dan terpaksa, Kania menuju ruangan dokter. Tak lupa ia menekan bel yang ada didekat pintu. Tak lama kemudian pintu itu terbuka dan Kania langsung masuk setelah mengucapkan kata permisi.

"Silahkan duduk, Kania." titah Arda karena Kania masih berdiri di belakang kursi.

"Nggak papa, saya berdiri saja." tolak Kania yang sudah ingin buru-buru keluar dari ruang itu.

Arda membuka masker dan juga kacamatanya, lalu berdiri mendekati Kania berdiri.

"Jangan mendekat! jangan macam-macam! saya bisa teriak kalau anda mau berbuat m3sum!" seru Kania mengancam.

Arda tertawa kecil lalu melipat kedua tangannya di depan dadanya.

"Kamu kira Kakak ini seperti dukun c4bul, hem?" balas Arda.

"Mirip! 11-12!" balas Kania ketus.

Arda kembali tertawa, ia masih belum menyangka Kania kecil sudah tumbuh dewasa dan ia masih mengingatnya dengan jelas.

Episodes
Episodes

Updated 42 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!