Daisy masih membisu, hingga sebuah gerakan yang mencoba mengambil Alister dari pelukannya membuat dia tersentak.
Menepis tangan Axel, Daisy mendelik tidak terima. Mundur sampai tubuhnya membentur pintu mobil, Daisy memeluk erat Alister.
Baru menyadari jika Axel adalah Pengacara kondang yang dikenal dapat melakukan apa pun untuk memenangkan kasus dalam persidangan, Daisy takut jika kehadiran Axel termasuk perintah dari seseorang yang telah membunuh keluarga Alister.
“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Daisy tanpa melepaskan tatapan tajamnya pada Axel.
Axel mencengkram rahang Daisy. Ketidaksukaannya pada gadis itu semasa dulu, kini bertambah saat prasangka buruk dalam dirinya menuduh Daisy terlibat sebagai pelaku.
“Seharusnya aku yang mengatakannya. Siapa orang yang bekerjasama denganmu untuk membunuh seluruh keluargaku?”
Daisy mengernyitkan dahi. Menyentak kuat tangan Axel, nafasnya memburu. “Apa keuntunganku melakukan hal yang kau tuduhkan?”
Axel tak menjawab. Mencoba merebut Alister dari pelukan Daisy, dia terkejut ketika Daisy tiba-tiba menendang dadanya.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, melihat Daisy yang hendak kabur, Axel langsung menekan tombol yang berguna untuk membuka kaca yang terletak di belakang Daisy.
Menahan Daisy yang memberontak, Axel kemudian menggendong paksa Alister yang sudah menangis.
“Kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menuruti perintah orang itu untuk membawa Alister. Dia pasti akan membunuh Alister sama seperti orangtuanya.”
“Alister?”
Daisy ingin sekali menangis. Berusaha merebut Alister kembali, sampai sengatan di bagian lengannya membuat dia tidak sadarkan diri.
“Kalian lama sekali,” kecam Axel yang sudah berhasil menenangkan keponakannya tersebut.
Bawahan Axel terkekeh canggung sambil menggaruk tengkuknya. “Kami salah mobil tadi.”
Axel mendengus. “Kalau begitu semua saksi sudah berada di titik perkumpulan?”
“Sudah, Pak. Ada Komandan Ryuan, juga Tuan Lukas di sana.”
Axel mengangguk. Menutup kaca mobil, lalu melaju membelah jalanan malam hari yang masih nampak ramai sekali.
Menghela nafas lirih. Semuanya terasa abu-abu, entah Daisy terlibat atau tidak, Axel harus lebih berhati-hati.
“Aku akan membalas mereka dengan hukum yang serupa, Kak,” monolog Axel seraya menatap Alister yang mulai tenang kembali.
.........
Daisy mengerjapkan mata. Menaruh atensi ke sekelilingnya seketika dia terlonjak.
Tempat ini bukan kamarnya. Alister? Di mana Alister? Berlari, Daisy mengetuk kuat pintu yang dikunci dari depan.
Berteriak meminta tolong agar dibuka, dia menangis memikirkan nasib Alister. Jika sampai Axel benar-benar menuruti seseorang yang memerintahkannya, maka Daisy bersumpah akan membalas Axel dua puluh kali lipat dari apa yang keluarga Alister terima.
Tidak juga mendapati jawaban, Daisy berlari menuju jendela kaca besar yang tertuju pada balkon, namun, lagi-lagi Daisy gagal karena tombol-tombol itu tidak berfungsi.
Luruh di lantai, Daisy terisak-isak. Seharusnya dia mendengarkan Ibu Ji saja yang menyuruhnya untuk tetap di rumah. Lalu kini, Alister hilang bersama pria yang dia ketahui berprofesi sebagai Pengacara tersebut.
“Alister maafkan, Mommy ….”
Sekitar sepuluh menit menangis, Daisy mengalihkan atensi saat pintu terbuka menampilkan Axel serta Alister.
“Alister.”
Bangkit, Daisy buru-buru mendekati Axel, meski terjerembab, dia tetap berusaha merebut Alister dari gendongan Axel.
“Buang air mata tidak bergunamu.”
Daisy meradang dan mencoba sekuat tenaga mengambil Alister.
“Lepaskan Alister! Kau dibayar berapa oleh mereka? Lepaskan dia! Aku akan membayarmu lebih banyak dari yang mereka berikan.”
Axel berdecih. Menahan pergerakan Daisy, lalu mendorongnya ke dinding.
“Awhh!” Daisy meringis merasakan nyeri di punggungnya.
Berhadapan dengan Daisy, Axel mengamati Daisy yang justru menatap sendu ke arah Alister.
“Jujur saja. Siapa orang yang bekerjasama denganmu sampai kalian tega membunuh keluargaku?”
Daisy mendongak. “Membunuh? Keluargamu? Aku?”
“Jangan berpura-pura bodoh. Sejak dulu, perempuan jahat sepertimu tidak akan pernah bisa berubah. Katakan padaku Daisy, siapa orang-orang yang bekerjasama denganmu?!”
“Perkataanmu melantur? Aku bahkan tidak mengerti arah pembicaraanmu!”
Rahang Axel mengetat, namun ketika dia hendak melanjutkan perkataannya Alister tiba-tiba menangis.
“Dia haus. Berikan Alister padaku,” Daisy berdecak menyadari Axel yang senantiasa menatap sengit dirinya, “Kalau ingin melanjutkan pertengkaran, biarkan Alister tenang dulu. Kita membuatnya tidak nyaman.”
Daisy berusaha memberi pengertian, tapi sikap Axel malah terus menguji batas kesabarannya.
“Dia bisa sesak nafas nanti.”
Axel mendengus. Kemudian memberikan Alister kepada Daisy. “Aaron, namanya Aaron, bukan Alister.”
Berlalu meninggalkan Daisy yang menciumi seluruh wajah Alister, Axel membiarkan Ibu Ji masuk, tanpa peduli bahwa kedua orang sama gender itu menangis sambil berpelukan.
“Ibu … aku hampir kehilangan Alister. Hampir saja Alister dibawa mereka.”
Ibu Ji mengusap surai Daisy bermaksud menenangkan. “Semuanya akan baik-baik saja. Tenangkan dirimu, sepertinya Alister sangat haus.”
Daisy mengangguk. Menerima botol berisi susu bayi yang mereka bawa dari rumah tadi, dia bertanya. “Bagaimana Ibu Ji bisa di sini?”
“Kami mengikuti mobil yang membawa kalian pergi, meski sempat cek-cok dengan beberapa penjaga, akhirnya kami diperbolehkan masuk oleh Pak Axel.”
Daisy bernafas lega. Untung saja, jika Ibu Ji tidak di sini, entah bagaimana dia harus mencari susu untuk Alister.
.........
Axel memejamkan mata. Duduk di sofa bersama rekan-rekan sekaligus orang suruhannya, dia sudah memikirkan rencana matang-matang langkah demi langkah ke depan.
“Kau yakin tentang semuanya?”
Axel bergumam. “Jika wanita itu ada sangkut-pautnya dengan kecelakaan keluargaku, maka akan sangat mudah untuk menyeretnya bersama orang-orangnya ke penjara, tapi jika dia tidak terlibat sama sekali, setidaknya dia aman karena berstatus sebagai saksi.”
Lukas menggeleng kecil. “Semua media membicarakan kalian atas kejadian di Mall tadi. Kau tidak ingin menjelaskan pada kekasihmu mengenai apa yang terjadi?”
Mendengar kata kekasih, mata Axel langsung terbuka lebar. Mengeluarkan ponsel dari dalam saku, Axel cepat-cepat menjauh.
Melihat nama kekasihnya yang tertera lebih dari 20 kali menghubungi, Axel dibuat menggigit bibirnya gugup.
“Halo?” ucap Axel setelah panggilan terhubung.
Di seberang sana, suara Karina terdengar serak.
“Yang diberitakan di semua media, apa itu nyata?”
“Tidak. Besok mari kita bertemu, ada hal yang ingin aku bicarakan.”
Karina menahan tangis. “Aku tidak butuh penjelasan, tolong katakan saja, apa berita tentang Desainer Daisy Kaellova adalah istrimu itu benar?”
“Akan ku jelaskan besok.”
Karina tak lagi menjawab. Sebelum menutup telpon secara sepihak, suara isakan mampu Axel dengar.
Memijat pangkal hidungnya, bukan maksud Axel membuat kekasihnya bersedih. Perasaan bersalah karena perbuatannya, Axel akan menjelaskan semuanya besok pada Karina.
..........
Tangan Daisy terkepal kuat membaca apa yang dituliskan Axel dalam kertas yang dia genggam.
“Konyol! Apa maksud semua ini?”
“Kau buta huruf sampai tidak mengerti?”
Daisy berdiri. Mendekat pada Axel, lalu melempar kertas-kertas tepat mengenai wajah pria angkuh itu. “Kau pikir dirimu siapa? Mencoba mempermainkanku? Kau menuduhku tanpa bukti. Membawaku ke tempat ini tanpa persetujuanku. Lalu tiba-tiba menyerahkan dokumen perjanjian pernikahan? Kau ... sialan!”
Bersandar pada punggung kursi, Axel menyeringai samar menikmati ekspresi suram Daisy.
“Untuk apa kau marah? Bukankah sejak dulu hal ini yang kau inginkan? Terikat denganku. Menerimaku sebagai Tuanmu dan menikmati berada di bawahku?”
Daisy mencengkram kuat pembatas meja, setelah itu mencekik leher Axel.
Menahan tangis. Daisy merasa dilecehkan dengan perkataan Axel. Dia kehilangan harga diri dengan kata-kata yang sialnya dulu pernah dia harapkan menjadi nyata.
“Menurutmu aku wanita jalang yang haus hasrat liar? Mulut sampahmu berani sekali.”
Mata Daisy memerah. Selain dilanda amarah, dia juga hendak menangis.
Axel tak gentar. Meski Daisy mencekiknya, dia hanya tersenyum. Mengusap sensual punggung Daisy, Axel menarik tengkuk Daisy hingga hidung mereka bersentuhan.
“Jangan munafik. Aku mengabulkan permohonan yang kau inginkan sejak lama. Seharusnya kau merasa senang, karena setelah ini kau mendapatkan apa yang kau mau,” ucap Axel sembari menyusuri dagu Daisy menggunakan hidungnya.
Mendongak, mata Axel bertemu mata Daisy. “Masih ingat orang-orang yang kau rundung? Kau akan hancur jika sampai menolakku.”
Menyingkirkan Daisy dari tubuhnya, Axel melangkah pergi, sedangkan Daisy terdiam dengan tatapan kosong.
Bersambung .....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments