Daisy terburu-buru masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan beberapa pembantunya yang menatap bingung ke arahnya.
“Selamat datang Nona–” Ibu Ji mendelik. Terkejut bukan main melihat Nona-nya membawa seorang bayi.
“Nona?! Anak siapa yang anda bawa?!”
Daisy tidak menjawab. Menarik pelan tangan Ibu Ji, Daisy membawanya ke lantai atas tempat kamarnya berada.
“Ibu Ji, aku tidak tahu harus mengatakan apa, tapi bayi ini membutuhkanku sekarang.”
Menormalkan ekspresi terkejutnya, Ibu Ji mengusap lembut tangan Daisy. “Coba ceritakan apa yang terjadi.”
Daisy mengembuskan napas. Duduk berhadapan dengan Ibu Ji, dia mengamati bayi yang diselamatkannya tadi.
“Dalam perjalanan menuju rumah, aku tidak sengaja terlibat dalam sebuah kecelakaan dan bayi ini korban selamat dari tragedi nahas itu. Kedua orangtuanya meninggal, lalu ada satu wanita tua juga yang turut menjadi korban.”
Melihat mata berkaca-kaca Daisy, Ibu Ji dapat merasakan takut dan gelisah yang dialami Daisy.
“Kemudian setelah aku berhasil menyelamatkan bayi ini, dari arah belakang beberapa mobil mulai berdatangan. Tanpa pikir panjang aku segera pergi dan Ibu Ji tahu? Orang-orang jahat tadi tertawa melihat mobil yang sudah hancur itu meledak.”
“Lalu apa yang akan anda lakukan?”
Menghembuskan nafas panjang, Daisy menggeleng. “Aku tadi hampir melapor ke Polisi, tapi setelah aku pikir kembali, itu bukan jalan keluar yang tepat. Bukannya cepat terselesaikan, justru masalah akan semakin membesar. Apalagi ketika penjahat-penjahat itu tahu ada satu korban yang masih hidup, bisa Ibu bayangkan bagaimana nantinya.”
Memeluk tubuh Daisy yang bergetar, ibu Ji mengusap punggung perempuan yang sudah dia anggap sebagai anak. “Anda sudah mengambil keputusan yang benar.”
Sekuat apa pun Daisy mencoba menghapus bayang mengerikan kecelakaan tersebut, semakin teringat pula Daisy betapa menyeramkannya kejadian itu.
“Ibu Ji, jika aku meminta bantuan Jenderal Ann, apa Ibu baik-baik saja?”
Elusan tangan ibu Ji terhenti selama tiga detik, melanjutkan usapannya, ibu Ji tersenyum. “Tentu, apa pun yang terbaik untukmu, Ibu akan selalu mendukungmu.”
Menunduk, Daisy tahu bahwa ibu Ji pasti merasa tidak nyaman, mengingat bahwa Jenderal Ann dan ibu Ji adalah mantan suami istri.
“Jika Ibu tidak nyaman, aku–”
“Shh … Ibu baik-baik saja, sungguh. Hubungan antara Ibu dan pria itu sudah lama selesai, jika kau ingin meminta bantuannya, tidak masalah, sekarang Ibu sudah tidak merasakan sakit hati lagi. Lupakan tentang Ibu dan pria itu, Ibu penasaran siapa nama anak ini?”
Daisy tersentak. “Aku tidak tahu namanya, tapi bisakah kita memanggilnya Alister?”
“Alister juga nama yang bagus.”
Daisy tersenyum. Menciumi pipi Alister, dia berkata. “Ibu Ji, tolong minta para pembantu membelikan perlengkapan bayi. Semuanya harus segera datang tanpa menunggu besok hari.”
“Siap, Nona.”
Usai kepergian Ibu Ji, Daisy mengamati Alister yang tidur nyenyak dalam pelukannya.
“Nah, Alister Sayang, aku sekarang ibumu. Panggil aku Mommy.”
...…...
Axel menggebrak meja. Sikap lancang Daisy membuat amarahnya tidak terkendali.
“Tidak usah membuang waktu dengan amarah bodoh seperti ini. Pemakaman keluargamu sudah dilangsungkan tanpa adanya media yang meliput, seperti yang kau mau. Daripada marah konyol begini, tangkap wanita itu dan ambil paksa Aaron darinya.”
Mendudukkan dirinya di sofa, Axel melempar gelas yang masih berisi minuman ke dinding ruang tamunya.
Emosinya tidak teratur. Amarahnya meledak-ledak. Kesedihan menggerogoti dan kini rasa muak ikut mendominasi.
“Aku tidak mengerti bagaimana perasaanmu saat ini, tapi kabar yang aku terima, Daisy berada di mall bersama beberapa pelayannya dan Aaron turut ia bawa juga. Kau–”
Tanpa menunggu lanjutan kata Lukas, Axel lebih dulu melangkah pergi, meninggalkan Lukas yang menghembuskan nafas panjang karena maklum atas perilaku Axel barusan.
...…...
Di salah satu Mall terbesar di kotanya, Daisy yang memilih ikut berbelanja mampu menuai banyak kehebohan, sedangkan ibu Ji dan pembantunya yang lain menggeleng tidak heran.
“Woah, bajunya lucu semua. Baiklah, Alister mau Mommy belikan yang mana, hmm?”
Masih dalam gendongan Daisy, Alister mengerjapkan mata lucu.
“Nona, anak berusia sekitar lima bulan akan terlihat lucu dengan pakaian-pakaian yang anda pilihkan.”
Bagaimana tidak, Daisy membeli begitu banyak barang-barang branded untuk Alister, dari kostum berkepala kelinci sampai tutup kepala berbentuk tomat. Juga mainan yang belum bisa digunakan bayi lima bulan turut dibelikan Daisy.
“Tentu. Anakku memang harus mempesona dan lucu seperti Mommy-nya.”
Ibu Ji menahan tawa sambil menepuk-nepuk lengan Emely. “Maklum, Nona belum menikah dan hamil, lalu mendadak menjadi seorang ibu. Wajar saja dia begitu ribut.”
“Astaga!!! Lucu sekali. Emely, tolong bawakan itu juga.”
Emily mengangguk kaku mengambil barang yang ditunjuk Daisy. “B-baik.”
“Nona, tidak sebaiknya kita pulang? Sekarang sudah sangat larut dan anda perlu istirahat.”
Melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul sebelas malam, Daisy mau tidak mau harus menyetujui saran Ibu Ji.
“Kalau begitu, bayar ini semua. Aku dan Alister akan pulang dulu,” ujar Daisy sambil menyerahkan kartu hitam miliknya pada Ibu Ji.
“Baiklah, Sayang, ayo kita pulang–” namun, belum Daisy berbalik arah, suara bariton seseorang mampu menghentikan langkahnya.
“Kau di sini Istriku?”
Daisy membatu. Axel, datang lagi ke hadapannya. Pria yang dulu pernah dia kejar-kejar semasa SMA, apa yang ingin diperbuat Axel lagi sekarang?
Daisy tidak akan berpikiran buruk jika ucapan Axel tidak terarah kepadanya, tapi melihat pria itu yang terus memandangnya dan Alister membuat Daisy berpikir macam-macam.
Menyembunyikan Alister dalam jaket yang dia kenakan, Daisy menatap sengit Axel yang berjalan mendekatinya.
“Istriku, apa sebegitu marahnya kau sehingga pergi tanpa berpamitan padaku? Kau bahkan membawa anak kita yang harusnya sudah tertidur.”
Daisy berdesis. “Orang gila.”
Tak ingin menanggapi, Daisy yang hendak pergi menciut saat menyadari banyak orang yang memotret dan memvideokan mereka, bahkan bisik-bisik pengunjung Mall mulai terdengar tidak mengenakkan di telinganya.
“Nona Daisy istri Tuan Axel?”
“Kenapa media tidak memberitakanya?”
“Yang benar saja?! Bukankah Pengacara Axel sudah memiliki kekasih?”
Alex tak mengeluarkan suara apa pun. Tidak mempedulikan gunjingan serta kebingungan Ibu Ji, dia menarik Daisy meninggalkan keramaian. Setibanya di parkiran, Axel bersedekap dada menatap datar Daisy yang tengah memandanginya tajam.
“Kau–!”
“Tidak ingin jadi bahan gosip, kan?” Axel membuka pintu mobil, lalu mendorong tubuh wanita itu untuk masuk.
“Apa yang kau lakukan?! Axel?! Buka pintunya!”
Teriakan Daisy justru membangunkan Alister yang sudah terlelap. Menepuk-nepuk pantat si bayi, Daisy bersungut-sungut pada Axel yang duduk santai di kursi pengemudi tepat di sebelahnya.
“Di mana otakmu? Kau gila? Apa kau pikir media tidak akan diam saja melihat apa yang terjadi tadi?”
Axel tak menjawab, mata yang terus tertuju pada Aaron, dia mendadak dilanda perasaan sesak. Mengusap pipi Aaron, Axel menahan air matanya agar tidak menetes.
“Kembalikan Aaron padaku. Dia anak kakakku.”
Bersambung .....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments