"Ah, sudah kuduga kita akan bertemu."
Lizard. Sebuah kerajaan yang berada di tengah-tengah Benua Lusio. Terletak di antara kerajaan Licaina (Selatan) dan Leoparta (Utara) serta Latania (Timur) dan Lavaland (Barat). Pertemuan tak terkira antara Aland dan Mey terjadi di istana Lizard. Keduanya bertemu di aula yang terdapat singgasana sang Raja di dalamnya.
"Kau sangat cantik seperti mawar biru Cassitovia." Aland mendekat ke arah Mey yang menampilkan ekspresi datar. "Keputusanku untuk beristirahat sejenak setelah menaklukkan Leoparta ternyata membuatku bertemu denganmu di sini."
Tangannya terulur, hendak menyentuh salah satu sisi wajah gadis bermata abu-abu itu. Namun, ujung dari sebuah pedang lebih dulu menyentuh lehernya. Aland tersenyum. "Kau sangat sulit disentuh, Putri Mey."
Mey mendengus. "Kau pikir, kau siapa?" ucapnya dengan nada tak bersahabat. "Bahkan jika kau seorang Raja dari kerajaan besar sekali pun tidak akan membuatku tunduk padamu," katanya. "Kau hanyalah Pangeran dari kerajaan kecil. Jangan pernah bermimpi untuk menyentuh tubuhku, sedikit pun."
Aland terkekeh. "Kau hanyalah seorang perempuan," ujarnya dengan nada meremehkan. "Diberi kenikmatan pun akan langsung hilang kendali."
Mey memutar bola mata jengah. Sifat laki-laki semacam Aland adalah yang paling tidak ia sukai. Brengsek, bajingan, dan kata umpatan lain rasanya terlalu suci untuk laki-laki semacam itu. Bahkan, jika ada yang lebih buruk dari neraka, Mey akan mengirimkan laki-laki seperti Aland ini ke sana. "Kau terlalu banyak bicara, Pangeran Aland."
Aland tak bergeming. Ia justru semakin mendekatkan tubuh tingginya pada Mey. "Bagaimana jika kita bertaruh, Tuan Putri?" ucapnya dengan suara pelan, tapi penuh penekanan. "Siapa yang berhasil membunuh Raja Lizard lebih dulu, dialah yang berhasil menaklukkan kerajaan ini. Bagaimana?"
"Aku ingin lebih dari pada itu," jawab Mey. "Jika aku berhasil membunuh Raja Lizard, maka kau harus pergi dari Lusio detik itu juga. Begitu pun sebaliknya."
Aland terdiam. Syarat dari Mey cukup beresiko. Jika ia kalah, maka gelar Raja pun tidak akan diberikan oleh ayahnya, karena itu berarti ia tidak bisa menaklukan Benua Lusio. Tapi jika ia menang, kerajaan lain akan lebih mudah ia taklukan karena tidak harus bersaing dengan Mey.
"Kau takut?" ejek Mey diakhiri kekehan yang terdengar menyebalkan di telinga Aland.
Aland tersulut emosi. "Untuk apa aku takut, Tuan Putri?" desisnya. "Kita buktikan saja sekarang. Siapa yang lebih dulu membawa kepala Raja Lizard ke sini, maka dialah pemenangnya."
Mey tersenyum miring. "Baiklah. Aku mempersilahkanmu untuk pergi lebih dulu, Pangeran."
Setelahnya, Aland berlalu dari aula istana Lizard, sedangkan Mey masih diam dengan senyuman licik terpampang di bibir sewarna cerinya. Mey tidak sebodoh itu datang ke Lusio. Rencana yang matang dengan beberapa kemungkinan sudah ia buat jauh-jauh hari. Oleh karena itu, ia juga tidak terlalu banyak membawa pasukan. Lusio tidak sebesar dan sekuat itu sampai ia harus membawa banyak prajurit. "Panglima, keluarlah!" titahnya, menggelegar di aula yang sepi itu.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki bertubuh gagah dengan rambut berwarna merah gelap berjalan menghampiri sembari membawa tubuh sang Raja Lizard yang sudah penuh dengan luka. "Salam, Yang Mulia. Saya sudah melumpuhkan pria ini."
Tubuh sang Raja Lizard ia geletakan di lantai begitu saja. "Haruskah saya memisahkan kepala dan tubuhnya?"
Mey menggeleng. "Biar aku saja," katanya. "Kau pergilah untuk menghabisi keluarganya."
Laki-laki itu---Neonatha membungkuk sejenak. "Memberi hormat kepada Yang Mulia," ucapnya, kemudian melangkah menjauhi Mey yang tengah memandangi tubuh sang Raja Lizard. Belum sempat menggapai pintu, langkahnya terpaksa berhenti saat mendengar Mey berbicara;
"Jika ada bayi, langsung bawa ke kereta kuda. Jangan membunuhnya!"
Meski tidak mengerti dengan jalan pikiran sang Putri Mahkota, Neonatha tetap mengangguk. "Baik, Yang Mulia."
Sepeninggal Panglima yang ia bawa dari Cassitovia, Mey berjongkok di dekat kepala Raja Lizard. Tangannya mengusap pelan darah yang keluar dari pelipis pria itu. "Sayang sekali, kau harus mati hari ini. Ambisi ibuku membuatku harus membunuhmu dan keluargamu."
Selanjutnya, yang ia lakukan adalah memisahkan kepala dan tubuh sang Raja. Lalu menunggu kehadiran Aland sembari duduk di singgasana dengan angkuh. Matanya memindai area sekitar. Begitu banyak mayat dan darah menggenang di lantai. Jika tidak dididik dengan keras sejak kecil, Mey pasti akan takut melihat darah sebanyak itu.
"Singgasana ini tidak lebih mewah dari Cassitovia," monolognya. "Padahal Lusio adalah Benua yang kaya. Tapi singgasana Raja mereka bahkan tidak dilapisi emas atau pun berlian," lanjutnya. "Mereka sebenarnya sederhana atau pelit?"
Lama waktu yang ia habiskan di sana, tiba-tiba pintu aula terbuka; menampilkan Aland dengan banyak percikan darah di wajah dan pakaiannya. Mey bangkit dan berjalan menghampiri. "Kau kalah, Pangeran Aland."
Gigi-gigi Aland bergemeletuk mendapati tubuh dan kepala sang Raja Lizard sudah tergeletak di lantai; yang berarti Mey sudah membunuhnya lebih dulu. "Kau pasti curang," desisnya kesal.
Mey terkekeh sarkas. "Tidak ada peraturan resmi di taruhan kita. Jadi, artinya apa? Yap, aku sudah menang."
Tak kuasa menahan amarah, Aland memilih untuk melayangkan pedang; hendak menebas leher Mey. Namun, belum sampai di kulit leher gadis itu, pedangnya lebih dulu ditahan oleh pedang lain yang berlumuran darah; pedang milik Mey.
"Kau tidak akan bisa membunuhku, Pangeran Aland." Mey berucap remeh. Tatapannya memindai Aland dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kau cukup tampan," pujinya. "Kau bisa menjadi salah satu suamiku nanti."
Aland semakin tersulut amarah mendengar penuturan Mey. "Aku tidak sudi menjadi salah satu suamimu," geramnya. "Kau yang akan menjadi salah satu selirku."
Mey tersenyum miring. "Kita lihat saja nanti."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments