3. Putri Mahkota?

"Kedatangan Anda yang tanpa diundang serta membuat kekacauan dengan membunuh salah satu rakyat Licaina mengharuskan saya untuk menjatuhkan hukuman pada Anda, Putri Mey."

Mey hanya melayangkan tatapan tak minat pada pembicaraan yang tengah berlangsung di aula istana Licaina. Suasana sedikit menegang saat seorang prajurit menunjukkan pedang berlumuran darah serta tubuh dan kepala korban yang sudah terpisah.

Sang Raja Licaina memandang tak percaya antara tubuh rakyatnya juga Mey yang hanya diam tanpa perlawanan. "Anda sudah melakukan kesalahan yang besar, Putri."

Mey memutar bola mata jengah. Sejak tadi, Raja Licaina itu terus mengatakan hal serupa, tanpa menyebutkan hukuman apa yang sebenarnya akan diterima oleh Mey. "Sebaiknya Anda segera menyebutkan hukuman untuk saya, Yang Mulia," ucap gadis bermata abu-abu itu. "Menunda-nunda hukuman sama dengan memberi saya kesempatan."

Sang Raja mengernyit. "Kesempatan untuk apa?"

"Untuk membunuh Anda, Yang Mulia." Pergerakan Mey selanjutnya membuat para Menteri terkejut. Di tengah-tengah aula dengan disaksikan banyak orang, Mey menusuk jantung sang Raja Licaina menggunakan belati; yang sengaja ia simpan di dalam pakaiannya.

"Tangkap dia!" Salah satu Menteri berseru pada para prajurit yang masih diam karena terkejut.

Mey tersenyum miring. Ia menoleh ke arah samping kirinya, di mana Aalisha tengah berdiri dengan raut terkejut dan takut. "Ambilkan pedang milikku," titahnya. "Cepat!"

Dengan tergesa-gesa, Aalisha mengambil pedang berlumuran darah milik Mey yang tadi sempat diambil oleh Panglima Licaina lalu digeletakkan di lantai begitu saja, hingga ia dengan mudah mengambil pedang itu. "I-ini, Nona."

Mey mengambil alih pedang miliknya. "Pergi ke tepi dan bersembunyi. Aku akan melawan mereka terlebih dahulu."

Setelah memastikan Aalisha pergi dengan selamat, Mey mulai melancarkan serangan pada para prajurit Licaina yang mengepungnya. Tendangan, pukulan, sayatan dan tebasan ia lakukan berkali-kali hingga banyak tubuh tak bernyawa tergeletak di lantai. "Sebagian, tangkap keluarga kerajaan," titahnya pada salah satu prajurit yang ia bawa dari Cassitovia. "Pastikan untuk membunuh semuanya."

"Baik, Yang Mulia."

Mey tersenyum miring melihat banyaknya nyawa yang sudah ia renggut hari ini. Beberapa Menteri pun sudah tergeletak tak berdaya dengan darah mengalir ke mana-mana.

"Bukankah ini pertunjukan yang bagus?" Mey bertanya pada para Menteri yang tengah berlutut dengan pedang menempel di leher masing-masing; siap memenggal leher mereka kapan pun. "Kalian akan memilih mati hari ini atau mengabdi padaku seumur hidup, hm?"

Hening. Tidak ada yang berani membuka suara.

Mey terkekeh pelan. "Tahan mereka! Kita akan tunjukkan pada rakyat Licaina nanti sore."

"Baik, Yang Mulia."

"Pastikan kerajaan lain tidak mempersiapkan kedatanganku," lanjut Mey. "Aku harus memberi kejutan pada kerajaan-kerajaan di Lusio."

"Baik, Yang Mulia."

Setelah beberapa Menteri Licaina itu dibawa pergi dari hadapannya, Mey segera mengedarkan pandangan di dalam aula; mencari keberadaan Aalisha. "Aalisha, keluarlah!"

Sang pemilik nama yang semula bersembunyi di belakang salah satu tiang penyangga berukuran besar di dekat tepi aula kini memunculkan dirinya, kemudian mendekat pada Mey dengan tubuh bergetar hebat; tak kuasa melihat banyaknya mayat dan darah berceceran di lantai.

"Sebenarnya Anda siapa, Nona? Kenapa Anda melakukan ini semua?" Begitu pertanyaan itu keluar dari mulutnya, Aalisha segera menunduk takut. Jari-jemarinya saling bertautan di depan tubuh. "Maaf karena saya lancang, Nona," tambahnya saat tidak mendengar jawaban Mey.

"Kau bisa bertanya pada prajuritku nanti," balas Mey dengan nada suara setenang mungkin. "Sekarang kau harus ikut aku."

Akhirnya, satu kerajaan berhasil Mey taklukan di hari itu. Sedikit tak terduga karena ia berniat memulai aksi merebut kekuasaan esok hari. Tapi ya sudahlah. Toh, ia sudah menang di kandang lawan.

"Padahal aku tidak terlalu banyak membawa prajurit, itu pun sebagian adalah perempuan, tapi Licaina tetap kalah." Mey berujar sombong. Ia menoleh, mengamati sekitar. Halaman istana Licaina penuh dengan mayat dan darah; sama seperti keadaan aula. Takdir seolah berpihak padanya tadi, karena sang Raja Licaina memilih untuk berdiri di hadapan Mey dari pada duduk di singgasana. "Benar-benar bodoh. Berani sekali dia berdiri di dekat pembunuh rakyatnya sendiri."

Aalisha semakin bergetar mendengar monolog Mey yang tengah berjalan di depan sembari membawa pedang berlumuran darah. "Dia seperti monster."

"Kau harus bersedia jika nanti aku mengangkatmu menjadi prajurit atau pelayan." Mey tiba-tiba berhenti berjalan, membuat Aalisha di belakang turut menghentikan langkahnya. "Jika kau berani membantah, aku tak segan membunuhmu. Mengerti?"

"I-iya, Nona."

Langkah Mey kembali dipacu menyusuri koridor istana Licaina. Hingga tiba di depan sebuah ruangan dengan suara tangisan bayi di dalamnya. Begitu pintu dibuka, Mey segera berbicara, "Jangan!" saat salah satu prajuritnya hendak membunuh seorang bayi kecil dengan kain melilit di tubuhnya. "Anak ini perempuan atau laki-laki?"

"Laki-laki, Yang Mulia."

Mey mengamati dengan seksama wajah berderai air mata bayi itu. "Bawa dia! Biarkan dia hidup di Cassitovia."

"Tapi, Yang Mulia---"

Tatapan tajam milik Mey membuat prajurit yang hendak membunuh bayi itu diam tak berkutik. "Ba-baik, Yang Mulia. Akan saya laksanakan segera."

Mey mengalihkan tatapannya pada tubuh seorang wanita yang tergeletak bersimbah darah di lantai. Ia tersenyum miring. "Dia adalah pengkhianat dari Cassitovia," celetuknya. "Bisa-bisanya dia menjadi selir di sini. Cih!"

Ia berbalik menghadap Aalisha yang tengah memperhatikan tubuh wanita yang sudah mati di lantai. "Jika kau berani berkhianat, maka nasibmu akan seperti dia, bahkan lebih parah," katanya. "Aku tidak akan mengampuni pengkhianatan terhadapku. Ingat itu!"

Aalisha menelan ludah gugup, kemudian mengangguk kaku. "Baik, Nona."

"Kau ikuti saja dia." Mey meminta Aalisha untuk mengikuti prajuritnya yang membawa bayi dari selir Raja Licaina. "Aku akan berkeliling istana ini sebentar."

Belum sempat Aalisha membalas, Mey lebih dulu pergi dari hadapan gadis itu, hingga tubuhnya menghilang di balik pintu. Aalisha mendekat ke arah prajurit yang tengah menggendong bayi. "Maaf mengganggu. Tapi bisakah saya menanyakan sesuatu?"

Prajurit itu menoleh sekilas, lalu mengangguk memberi izin.

"Nona itu siapa? Kenapa dia dipanggil Yang Mulia? Dan dari mana dia berasal?"

Prajurit itu terdiam selama beberapa saat, lalu menjawab, "Dia adalah Putri Mahkota dari Cassitovia."

"Putri Mahkota?"

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!