1. Cassitovia

Cassitovia.

Satu-satunya Kerajaan yang ada di Benua Arclic di Bumi bagian Selatan. Hawanya terasa sejuk cenderung dingin, bahkan saat musim panas tiba. Mawar biru adalah lambang resmi dari Cassitovia. Entah bagaimana caranya setangkai mawar bisa tumbuh di wilayah itu. Namun, karena ketangguhannya; tetap hidup saat badai sekali pun membuat bunga itu dijadikan lambang kerajaan oleh Nenek Moyang terdahulu. Sampai saat ini, baik rakyat mau pun bangsawan pasti memiliki setidaknya satu tangkai bunga berwarna biru tua itu.

Cassitovia adalah kerajaan yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Ada tiga gunung terkenal akan keindahannya di bagian Timur Cassitovia. Sedangkan di bagian Barat ada tambang emas dan berlian, membuat orang-orang yang tinggal di sana lebih kaya dari pada di bagian lain. Ada pun di bagian Selatan Cassitovia dikenal sebagai tanah airnya para prajurit dan panglima hebat. Lalu di bagian Utara ada pelabuhan besar yang sering dijadikan tempat persinggahan kapal dari kerajaan berbagai belahan dunia.

Istana Cassitovia sendiri terletak di tengah-tengah Benua Arclic yang dinamai Kota Caleryna. Dikenal sebagai pusatnya pemerintahan dan perdagangan karena Caleryna adalah Ibu Kota Cassitovia, juga terdapat pasar besar yang serba ada; mulai dari obat, makanan, minuman, pakaian, perhiasan, bahkan racun sekali pun dijual bebas di sana.

Satu lagi yang terkenal dari Cassitovia, yaitu; kerajaan yang tidak pernah dipimpin oleh Raja.

Cassitovia dikenal sebagai kerajaan yang sangat mengagungkan perempuan. Meski laki-laki tetap diperlakukan dengan baik, tapi laki-laki tidak pernah dibiarkan memimpin kerajaan. Selain itu, seorang Ratu di Cassitovia bisa memiliki suami lebih dari satu. Namun, tetap akan ada satu laki-laki yang diangkat menjadi Raja resmi Cassitovia, meski tidak diberikan kewenangan untuk mengatur pemerintahan.

Bisa dibilang, Cassitovia adalah surganya para perempuan, karena di sana tidak ada siapa pun yang berani menindas perempuan. Kehidupan perempuan dijamin aman dari laki-laki, tapi tidak dijamin aman dari sesama perempuan.

Tidak ada pemerkosaan terhadap perempuan di sana. Tapi pembunuhan masih tetap ada.

Meski mengagungkan perempuan, bukan berarti perempuan yang melakukan kesalahan akan diampuni begitu saja. Ratu Cassitovia tetap memperlakukan orang yang salah sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan. Jika fatal, maka tidak ada siapa pun yang bisa menyelamatkan orang itu dari hukuman mati.

"Apakah ada kabar dari Putri Mahkota?" Reese, Ratu yang menjabat saat ini, melayangkan pertanyaan pada Perdana Menteri yang saat ini tengah duduk di seberangnya; hanya terhalang meja dengan beberapa gulungan kertas di atasnya.

"Putri Mey belum mengirimkan kabar apa pun, Yang Mulia." Niccolas, Perdana Menteri Cassitovia menjawab dengan tegas. "Tapi saya sudah mengirimkan mata-mata seperti Yang Mulia perintahkan sebelumnya."

"Lalu?"

"Putri Mey telah tiba di bagian Selatan Lusio, tepatnya di kerajaan Licaina, sore hari kemarin, Yang Mulia," sahut Niccolas. "Mata-mata mengatakan, Putri Mey belum melakukan apa pun hingga malam hari tiba."

Reese mengangguk singkat. "Kau bisa pergi."

Segera setelahnya, Niccolas bangkit dan membungkuk sejenak. "Memberi hormat kepada Yang Mulia Ratu."

Reese menatap kepergian sang Perdana Menteri dalam diam. Usia Niccolas dan Mey tidak terpaut terlalu jauh. Wajah Niccolas pun terlihat tampan di usianya yang menginjak 27 tahun. Reese berniat menjodohkan sang Putri Mahkota dengan sang Perdana Menteri. Tapi mengingat bagaimana sifat Mey, membuat Reese menghela napas pelan. "Anak itu pasti tidak mau dijodohkan."

Sedangkan di sisi lain, gadis yang dimaksud---Mey tengah duduk termenung dari balkon kamar penginapan yang ia sewa sejak baru saja tiba di Licaina kemarin.

Mey sudah tau dari jauh hari tentang Ibunya yang menginginkan Benua Lusio di bawah kekuasaan Cassitovia. Ia sudah menduga wanita paruh baya itu akan menjadikan keinginannya sebagai syarat untuk Mey dinobatkan menjadi Ratu selanjutnya.

"Hhh ... merepotkan."

Mey memicingkan matanya, mengamati interaksi beberapa laki-laki dan seorang perempuan di bawah sana. Tampaknya, gerombolan laki-laki itu sedang mencoba untuk melecehkan si perempuan. Mey berdecih pelan. "Laki-laki seperti mereka harus dimusnahkan."

Selanjutnya, yang gadis itu lakukan adalah turun dari kamarnya yang ada di lantai dua sembari membawa pedang kebanggaannya. Tak segan, Mey menebas leher salah satu dari laki-laki itu, hingga menimbulkan jeritan dari orang-orang yang menyaksikan.

"Kalian ingin merasakannya juga?" Mey tersenyum pada laki-laki yang tadi mengganggu seorang perempuan. Senyum yang tampak mengerikan bagi mereka. "Kenapa mundur?"

Mey berjalan pelan ke arah para laki-laki itu. Meski tubuh mereka lebih besar dan tinggi, tidak serta merta membuat dirinya takut. "Pedangku sangat ingin darah dari leher kalian. Kemarilah!"

Orang gila mana yang akan mendekat jika perkataan dari mulutnya semenyeramkan itu?

Jelas tidak akan ada, karena kini segerombolan laki-laki itu berlari menjauh.

Mey berbalik, menatap perempuan yang tadi sempat diganggu. "Kau baik-baik saja?"

Melihat anggukan dari perempuan muda itu, Mey kembali bertanya, "Siapa namamu?"

"Aalisha. Nama saya Aalisha." Perempuan itu menjawab sembari menundukkan kepalanya, tak berani menatap wajah Mey yang sedikit terkena percikan darah dari orang yang ditebasnya. "Terima kasih, Nona."

"Kenapa hanya menunduk?" Mey bertanya dengan nada tak bersahabat. "Tatap aku dan sebutkan namamu, sebelum aku menebas lehermu seperti dia."

Perempuan itu---Aalisha segera mendongak untuk bertatapan dengan Mey yang sedikit lebih tinggi darinya. "Na-nama saya Aalisha," ucapnya gagap.

Mey mengangguk. "Kau punya keluarga?"

Aalisha menggeleng. "Orang tua saya sudah meninggal."

"Kau sebaiknya ikut aku," ucap Mey dengan tatapan yang ia buat sebiasa mungkin mengarah pada Aalisha. "Jika menolak, maka nasibmu akan sama seperti dia," lanjutnya sembari menunjuk tubuh laki-laki yang ia tebas tengah tergeletak di tanah. "Jadi?"

Aalisha mengangguk cepat. "Sa-saya akan ikut Anda, Nona."

Mey tersenyum. "Bagus, karena aku tidak suka penolakan."

Setelah itu, Mey kembali ke penginapan diikuti Aalisha di belakangnya. Namun, belum sampai di gedung berlantai empat itu, langkah keduanya dipaksa berhenti oleh segerombolan prajurit berkuda. "Saya Panglima Licaina. Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan pada salah satu rakyat Licaina."

Akhirnya, Mey dan Aalisha dibawa ke kerajaan Licaina yang terletak cukup jauh dari penginapan.

"Awal yang buruk atau bagus?"

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!