Bab 2

Setelah kepergian Yoga dan Tasya, Laila yang sejak tadi berdiri tegak langsung terduduk di lantai. Air mata yang sejak tadi dia tahan langsung jatuh dengan deras. Mimpi akan rumah tangga harmonis dan bahagia seakan sirna dalam pikirannya. 

“Tega sekali kamu, Mas. Apa kamu tidak berpikir tentang perasaanku saat ini,” ucap Laila sambil terus menangis. 

Tidak ada yang bisa dia katakan saat ini. Hanya air mata yang mampu menjadi bukti bagaimana hancur hatinya saat ini. Laila yang sejak tadi duduk di lantai kini sudah duduk di sofa sambil terus menangis dan mengingat kejadian 1 tahun yang lalu. Kejadian dimana Laila baru saja tiba di rumah keluarga Ajeng. 

“Permisi, Nyonya.” Aminah yang baru saja datang langsung duduk di lantai bersama Laila. 

“Iya, Aminah. Apa ini Laila putri kesayangan yang selalu kamu ceritakan kepadaku?” tanya Ajeng yang saat itu sedang duduk di kursi roda. 

Hampir satu tahun ini Ajeng menderita Stroke oleh sebab itu dia terpaksa harus menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Semua itu karena tekanan darah yang terlalu tinggi. Kehadiran Laila ke rumah itu memang atas permintaan Ajeng yang menginginkan satu orang untuk merawatnya. 

“Manis. Putrimu benar-benar gadis yang manis, Aminah.” Ajeng memuji Laila sambil tersenyum. 

“Terima kasih, Nyonya.” 

“Anak manis, siapa namamu?” tanya Ajeng dengan ramah. 

“Laila Wulandari, Nyonya,” jawab Laila sambil sedikit menunduk. 

“Kamu yakin mau merawat Nenek-nenek lumpuh sepertiku? Bukannya aku tidak yakin kepadamu, tapi yang aku lihat selama ini banyak anak muda yang lebih memilih menghabiskan waktunya dengan berkumpul bersama teman-temannya.” 

“Insya Allah saya yakin, Nyonya. Karena saya ingin membantu Ibu mencari tambahan uang,” jawab Laila sambil terus menunduk. 

Sejak saat itu, Laila pun akhirnya menjadi perawat Ajeng. Semua keperluan Ajeng mulai dari mandi, buang air besar dan lain-lain menjadi tanggung jawab Laila. Waktu berlalu dengan begitu cepat, hingga suatu hari Ajeng yang mulai merasa nyaman dengan sikap Laila mengajaknya ke taman yang ada di depan rumahnya. 

"Laila. Apa kamu sudah punya kekasih atau calon suami?" tanya Ajeng sambil memegang tangan Laila yang saat itu sedang mengambil nasi dengan sendok.  

"Belum, Nyonya. Lagi pula laki-laki mana yang mau sama wanita miskin dan jelek seperti saya," jawab Laila sambil memasukan nasi ke dalam mulut sang majikan.  

Ajeng yang saat itu sedang mengunyah makanan hanya bisa tersenyum. Sesaat dia memandang wajah manis gadis yang saat ini ada di hadapannya. Ada rasa nyaman dan tenang saat melihat Laila tersenyum.  

"Siapa bilang kalau kamu itu jelek. Laila, kalau misalkan saya melamarmu untuk menjadi menantu apa kamu bersedia?" tanya Ajeng hingga membuat Laila terkejut.  

"Maaf, Nyonya bukannya saya menolak. Tetapi apa pantas pembantu miskin seperti saya bersanding dengan putra Nyonya yang kaya dan tampan," ucap Laila yang terlihat malu.  

Sambil terlihat berpikir. “Kalau aku rasa, kamu sangat cocok untuk Yoga putra ku.” 

Mendengar jawaban Ajeng, Laila hanya bisa tertawa. Dia terlihat tidak menanggapi ucapan sang majikan dengan serius. Dia hanya menganggap apa yang dikatakan Ajeng hanyalah sebuah gurauan belaka. 

*** 

Hingga suatu malam, Ajeng yang belum bisa memejamkan mata memutuskan untuk ke ruang kerja Yoga. Dengan perlahan dia mulai menjalankan kursi rodanya ke arah ruang kerja sang putra. Yoga yang saat itu sedang sibuk di depan laptopnya terlihat terkejut saat melihat sang ibu sudah ada di hadapannya. 

“Mama! Kenapa Mama belum tidur?” tanya Yoga sambil menutup layar laptopnya dan berjalan ke arah Ajeng. 

“Mama tidak bisa tidur, sepertinya Mama sedang merindukanmu. maka dari itu Mama putuskan untuk kemari,” jawab Ajeng sambil tersenyum. 

“Tapi kenapa Mama kesini sendirian? Bukankah sudah ada Laila yang seharusnya menemani Mama. Tapi Mama tidak perlu khawatir besok aku akan beritahu Laila agar tidak meninggalkan Mama sendirian lagi,” ucap Yoga sambil mengecup kening sang ibu. 

Yoga memang sangat menyayangi sang ibu. Bahkan saat sang ayah meninggal Yoga begitu sangat memperhatikan Ajeng. Hal itu dilakukan agar Ajeng bisa melupakan rasa rindunya kepada almarhum suaminya. 

“Jangan, Nak. Jangan kamu marahi Laila, Mama memang sengaja kemari tanpa menekan tombol bel. Karena ada hal penting yang ingin Mama katakan kepadamu,” jawab Ajeng sambil menggenggam tangan Yoga. 

“Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau kita bicara di sofa.” Yoga mulai mendorong kursi Roda Ajeng menuju sofa. 

Sesaat Ajeng terlihat tersenyum melihat wajah Yoga yang ada di hadapannya saat ini. Dia tidak menyangka jika putra kecilnya yang dulu begitu manja kini telah tumbuh menjadi laki-laki yang tampan. Dengan lembut Ajeng mulai mengusap pipi Yoga 

“Kamu ternyata sudah dewasa, rasanya waktu begitu cepat hingga mampu membuatmu terlihat begitu tampan.” Ajeng terus mengusap pipi sang putra. 

“Memang apa yang Mama ingin bicarakan denganku?” tanya Yoga sambil mencium tangan Ajeng. 

“Nak, usiamu sudah 29 tahun. Apa kamu belum ada pikiran untuk menikah?” tanya Ajeng sambil tersenyum. 

“Mungkin untuk saat ini belum. Lagipula aku juga belum mendapatkan wanita yang sesuai dengan kriteriaku,” jawab Yoga. 

“Bagaimana jika Mama mencarikan calon untukmu, apa kamu setuju?” tanya Ajeng dengan sangat antusias. 

Yoga tidak menjawab pertanyaan sang ibu. Dia hanya tersenyum lalu mencium kening Ajeng dengan lembut. Lalu dengan perlahan Yoga mulai mendorong kursi roda sang ibu. 

“Yoga, bagaimana. Nak?” tanya Ajeng.

“Kita bicarakan hal ini lain waktu ya, Ma.” 

Cukup lama Laila mengingat masa-masa saat sang majikan masih hidup. Bahkan masih terlihat jelas saat Yoga mengucapkan ijab kabul di hadapan Ajeng yang saat itu sedang dalam keadaan kritis di rumah sakit. Kata sah yang terucap dari bibir wali nikah dan penghulu sempat membuat Ajeng tersenyum bahagia walaupun akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya. 

Ruangan yang tadinya terlihat tenang dan sunyi kini ramai dengan tangisan. Laila yang hampir satu tahun ini merawat Ajeng langsung memeluk wanita yang baru saja menjadi mertuanya. Yoga laki-laki yang terkenal dingin dan cuek juga terlihat meneteskan air mata. 

“Laila. Kamu harus berjanji satu hal kepadaku, tolong terus dampingi Yoga apapun yang terjadi. Karena Mama yakin kamu adalah wanita yang tepat untuk Yoga," ucap Ajeng sebelum meninggal.  

Kata-kata itulah yang terus diingat Laila sampai saat ini. Bahkan disaat dia memutuskan untuk bercerai dari Yoga suara Ajeng seolah terdengar di telinganya. Harapan sang mertua agar dia mau mendampingi Yoga selamanya menjadi kekuatan untuk Laila. 

"Mama. Apa yang harus aku lakukan sekarang, apa aku harus bertahan dengan hati yang luka?" ucap Laila sambil terus menangis. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!