Kumbang Kepik terjebak di sarang laba-laba. Hanya itu status yang ditemukan Arga berada di laman stori Arumi. Tidak ada kalimat apa pun yang menyertainya, atau caption yang menerangkan arti gambar yang ia pasang.
Arga mengerutkan kening. Pintar sekali menyembunyikan perasan. Jadi, kau merasa seperti seekor kumbang cantik yang terjebak di sarang laba-laba buruk rupa, Arumi. Ha! Arga tertawa sinis, namun tak ayal hatinya merasa tergelitik juga dengan perumpamaan yang digunakan oleh Arumi. Dan satu hal lain yang ia ketahui dari Arumi adalah, bahwa Arumi juga masuk dalam kategori introvert. Meski dia selalu ramai, kocak, tukang pembuat onar, banyak teman, namun ada sisi introvert yang tumbuh di kedalaman dirinya. Arumi, tidak suka membuka diri dan permasalahannya kepada orang lain. Dia lebih senang menggunakan simbolis untuk mengungkapkan perasaannya alih-alih kalimat nyata yang dapat memancing ribuan tanya.
Hujan turun sangat deras. Arga berjalan ke kamar, melewati kamar Arumi. Iseng, tangannya mencoba memutar gagang pintu kamar Arumi yang ternyata tidak terkunci. Arga mendorongnya pelan. Telinganya bersiap kalau tiba-tiba saja menangkap suara teriakan Arumi dari dalam kamar.
Sampai pintu terbuka cukup lebar untuk dirinya masuk, tidak ada teriakan protes dari dalam, membuat Arga nekat melongok masuk.
Lampu kamar terang benderang, Arumi meringkuk bagai bola di tengah tempat tidur berukuran Queen size, jendelanya terbuka lebar. Arga menghembuskan nafas panjang, berjalan ke arah jendela dan menutupnya pelan. Arga melirik Arumi yang tidur melingkar seperti anak kucing, tersenyum masam.
Bagaimana tidak meringkuk, jendela terbuka lebar tidak di tutup. Tas berantakan, Baju berserakan. Hhh .... batin Arga kesal, lalu kembali berjalan keluar.
Esoknya ....
Arumi berlarian dari kamarnya menuruni tangga. Hari sudah sangat siang dan tidak ada yang membangunkannya.
"Mau ke mana?" tanya Arga dingin, dari meja makan.
Arumi diam, tidak menjawab, kakinya meluncur ke dinding tempat berbagai kunci menggantung pada papan tempel.
"Hey, di mana kunci mobilku?!" teriak Arumi, saat melihat tempat di mana kunci mobilnya biasa menggantung, telah kosong.
Arga diam, melanjutkan makan dengan tenang tanpa menjawab.
"Hei! Di mana kunci mobilku?!" tanya Arumi marah, berdiri di pintu dapur.
"Tidak perlu membawa kendaraan ke sekolah."
"Hah?!" Arumi membelalak tak percaya. "Lalu bagaimana caraku berangkat? Apa kau pikir aku akan sudi berdiri di pinggir jalan menunggu angkutan umum lewat depan rumahmu?"
"Berangkat denganku."
"Nggak!"
"Kalau begitu silahkan saja menunggu angkutan umum lewat di pinggir jalan." Arga menjawab datar, lalu berdiri dari kursinya dan meraih jas almamater sekolah berwarna merah khusus untuk guru tata tertib.
"Kau ini kenapa sih! Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak mengatur kehidupan satu sama lainnya!" teriak Arumi sebal, menatap punggung Arga.
"Kau istriku. Dosa yang kau perbuat, akan menjadi dosaku juga, termasuk dosa-dosamu mengelabuhi satpam sekolah lalu kabur bersama kedua teman kecilmu."
Arumi mengentakkan kaki dengan sebal. Ingin sekali rasanya memukul belakang kepala Arga menggunakan botol sirup di atas meja, tetapi dia belum memikirkan di aman akan menggali tanah untuk menguburkan mayatnya.
Arga berjalan tenang menuju mobil, dengan Arumi mengekor di belakangnya.
"Masuk!" perintah Arga, membuka pintu mobil untuk Arumi.
"Bagaimana kalau nanti teman-teman atau guru-guru melihatku turun dari mobilmu. Apa yang mau aku katakan," gerutu Arumi, sementara Arga fokus menatap jalanan padat di depannya.
"Hei! Jawab dong!" bentak Arumi, memelotot menatap Arga.
"Apa?" tanya Arga dingin.
"Apa yang harus ku katakan kalau mereka melihatku turun dari mobilmu?!"
"Tidak akan," jawab Arga dingin.
"Percaya diri sekali! Jelas-jelas area parkir guru berada tepat di depan jendela kantor ruang guru. Entah satu atau banyak orang, pasti melihat aku turun dari mobilmu. Atau minimal si satpam tambun itu."
"Namanya pak Jono. Dan kau sungguh cerewet sekali."
Arumi memelotot menatap Arga, lalu diam. Kedua tangannya bersedekap, kepalanya menatap lurus ke depan. Arga menahan senyum geli melihat sikap Arumi. Ingin sekali rasanya ia menyanyikan lagu anak tk agar muridnya bisa duduk diam dan tidak banyak berbicara.
Di persimpangan jalan menuju sekolah ....
"Turunkan aku."
Arga melirik Arumi.
"Turunkan aku di sini, kataku!" teriak Arumi mengulangi.
"Jam masuk sekolah kurang dari lima menit. Kau akan terlambat."
"Aku atlet maraton!"
Arga mengerutkan alis, tersenyum sinis, lalu menepikan mobil.
"Yakin?" tanya Arga.
Arumi tidak peduli, meraih tas dan jaket yang dikenakannya, lalu turun.
"Pastikan kau tidak terlambat, atau kau akan berurusan denganku!" Arga mengingatkan dari balik jendela, sebelum meluncur pergi meninggalkan Arumi. Dia masih punya rencana untuk mengerjai Arumi, jadi dia tidak boleh terlambat. Tidak lucu sekali kalau Arga harus berdiri selama 40 menit di depan gerbang sekolah gara-gara terlambat. Terlebih lagi dia sama sekali tidak ingin membayangkan bagaimana ekspresi puas Arumi kalau sampai dia terlambat dan harus berdiri di depan gerbang bersamanya.
Empat setengah menit. Arumi tersengal di depan gerbang, membungkuk memegangi kedua lututnya. Pak Jono, satpam sekolah, mengunci pintu gerbang dari dalam dengan gaya yang sangat menyebalkan.
"Pak, ayolah tolong aku. Baru juga setengah menit telatnya," rengek Arumi di balik pintu gerbang.
"Silahkan menunggu empat puluh menit lagi, sesuai ketentuan yang telah diberlakukan. Dan jangan coba-coba kabur lagi, Sayang." Satpam tambun itu menyeringai puas.
"Pak. Nih, biru." Arumi mengeluarkan dua lembar uang 50 ribu dari kantongnya, menyodorkannya pada pak satpam.
"Bye bye Nona kecil, aku mau minum kopi dulu." Satpam itu melambai menyebalkan.
"Pak! Duh .... merah deh, merah," teriak Arumi, memegangi jeruji gerbang dengan tatapan memelas.
Satpam menghentikan langkah, berbalik, tangannya bergerak meraih dompet di sakunya. Arumi menyeringai puas, mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu dari kantong roknya.
"Aah, maaf Arumi. Tapi ternyata lembar merah di dompetku masih banyak, jadi maaf, ya. Itu belum bisa membuka gerbang ini untuk kali ini."
Dang!
Arumi menendang dengan kesal gerbang besi menggunakan kakinya.
Dasar Satpam Sia*an! Pake jual mahal, awas saja kau nanti, ya, batin Arumi kesal, melangkah ke tepi dan duduk pada dinding cor rendah di samping gerbang.
Empat puluh menit berlalu, bel berdering. Arumi berdiri di depan gerbang, menunggu satpam sia*an itu membuka pintu untuknya.
"Lama banget sih!" desis Arumi, saat akhirnya pintu terbuka dan ia bisa menerobos masuk.
"Nih, ambil." Pak Jono menyodorkan kertas tanda bukti keterlambatan siswa yang harus di tanda tangani di ruang tata tertib.
Arumi mengambil kertas di ujung jari pak Jono dengan kasar, meremasnya marah sambil berjalan melewati ruang tata tertib.
"Selamat siang, Arumi. Silahkan masuk." Arga menyambut Arumi tepat di depan pintu ruang tata tertib.
Seolah tiba-tiba tuli, Arumi tidak menjawab ataupun berhenti, melainkan terus berjalan melewati Arga dan ruang tata tertib siswa.
"Jangan harap kau akan lolos. Statusmu tidak berarti apa-apa di sini, anak bandel." Arga mengejar Arumi, menjewer telinganya hingga gadis itu tidak bisa menolak selain mengikuti masuk ke dalam ruang ketertiban.
"Iih ... lepas nggak!" teriak Arumi kesal, memukul lengan Arga yang menarik telinganya sampai terasa panas.
"Maaf, Pak. Saya terlambat!" Arga melepas pegangan di telinga Arumi, menatap tajam gadis itu seperti layaknya seorang guru dan murid yang melanggar.
"Ah, tidak perlu minta maaf. Itu hal yang biasa saja.," jawab Arumi, meski dia tahu ucapan Arga hanya sindiran karena seharusnya dia lah yang mengucapkan kata maaf itu.
Arga menarik tas punggung Arumi dengan kasar hingga tubuh Arumi terbanting ke belakang, jatuh ke depan dada bidang Arga. Arumi mendongak, menatap kesal ke arah Arga, sementara Arga menunduk dalam. Jarak kedua wajah mereka kurang dari satu inci, membuat jantung Arumi berdebar sangat kencang.
Arga mendorong pelan tubuh Arumi kembali ke posisinya, lalu berjalan ke belakang meja.
"Duduk!" perintah Arga dingin, tanpa berani melihat wajah Arumi yang masih menampakkan semburat merah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments