Dua minggu berlalu, bayi Ganesha yang sudah bisa menghirup udara luar tanpa harus berada di dalam inkubator merupakan kabar baik untuk Adhisty. Akhirnya, dia bisa menimang bayi itu sepuasnya. Saat dia berkunjung beberapa hari yang lalu dan sedikit terkejut bayi kakaknya sudah diberi nama oleh Ghazi. Dokter anak yang menyampaikan hal itu kepadanya karena itu hari terakhir Ghazi datang menjenguk putranya. Adhisty merasa sedih bahwa bayi yang sudah kehilangan ibunya justru sekarang diabaikan oleh sang ayah.
Dia tahu memang tidak mudah kehilangan istri saat melahirkan penerus baginya, tetapi harusnya dia juga harus berjuang untuk putranya yang sangat membutuhkan kasih sayang dari ayahnya, orang tua satu-satunya.
Semua keluarga berkumpul kecuali Ghazi karena mereka mendapat kabar jika dokter anak telah memperbolehkan Ganesha untuk pulang. Berat badannya telah mencukupi dan semua tes kesehatan yang sudah dilakukan menandakan bahwa bayi itu sehat. Sebelum membawa pulang, mereka berdiskusi untuk sementara waktu di mana bayi itu tinggal.
Sebagai perwakilan dari pihak Ghazi, Hasyim meminta tolong kepada keluarga Adhisty untuk sementara waktu merawat bayi kecil itu. Sebenarnya dia tidak ingin menyerahkan, tetapi bagaimana lagi kondisi putranya yang seperti mayat hidup tidak mungkin bisa merawat cucunya. Jika istrinya yang merawat sendiri pasti akan kelelahan. Banyak ketakutan jika dia mempekerjakan babysitter di zaman sekarang.
“Halo, baby G, ini tante atau onti, terserah kamu deh mau panggil apa. Hihi, tante seneng kamu hadir di hidup tante.” Adhisty mengajak bayi itu berkomunikasi.
Hingga siang, Adhisty merawat bayi itu didampingi oleh perawat karena dia harus belajar cara merawat bayi sekecil itu. Karena dia merupakan anak terakhir sehingga tidak ada keterampilan dalam merawat anak apalagi bayi. Dia berusaha tegar demi putra kakaknya, yang saat ini kehilangan kedua orang tuanya. Meski sang ayah masih ada, tetapi kehadirannya tidak ada.
Dia kembali memandang Ganesha, yang jika diperhatikan, sangat mirip dengan Gayatri dari fitur wajah. Hanya matanya yang mirip dengan Ghazi.
oOo
Karena Hasyim tidak dapat menghubungi nomor Ghazi, sepulang kantor dia memutuskan untuk mampir ke rumah putranya. Usai memarkirkan mobilnya di halaman rumah, dia masuk ke dalam rumah yang tidak terkunci.
“Cerobohnya anak ini,” gerutu Hasyim.
Dia menuju ke ruang tengah dan terlihat pemandangan yang membuatnya geram. Di sana terlihat, Ghazi terkapar tidak sadar dengan dikelilingi botol-botol yang berserakan. Hasyim mengambil salah satu botol di sana dan melihat jenis minuman apa yang membuat putranya seperti ini.
“Wh*ski\, V*dka. Hah\, anak ini!” geramnya membuang botol itu. Lalu Hasyim membangunkan putranya.
Karena tidak juga bangun, Hasyim mengambil air dan disiramkan ke wajah putranya. Ghazi yang bingung mendapat perlakuan tersebut pun terbangun dengan mengerjapkan matanya untuk memperhatikan sekeliling.
“Apa yang sudah kamu lakukan, Ghazi!” teriak Hasyim karena putranya linglung.
“Oh, Ayah. Ada apa, Yah?” Ghazi yang baru melihat sosok ayahnya di hadapannya dengan jelas.
“Apa-apaan kamu! Inget anakmu, Zi!” bentak Hasyim lebih keras.
Namun, Ghazi yang tidak menunjukkan reaksi apa-apa membuat Hasyim semakin jengkel dengan putranya sendiri. Dia menampar putranya agar sadar dan segera bertindak sesuai yang seharusnya.
“A-yah,” lirih Ghazi memegang pipinya yang terasa panas. Dia menjadi sadar dari mabuknya setelah tamparan itu.
“Ayah ingin menyadarkan kamu agar kamu bisa bertahan paling tidak demi anakmu. Anakmu yang saat ini sedang sendirian, apakah kamu membiarkan dia kehilangan kedua orang tuanya? Sedangkan kamu sendiri masih hidup! Katakan pada ayah agar ayah bisa membuat keputusan untuk putramu!” tegur Hasyim yang habis kesabaran menghadapi putranya ini.
“Maafkan aku, Yah. Aku masih bersedih atas kesedihan Ge,” sahut Ghazi.
“Tapi apa pantas kamu mabuk-mabukan sedangkan putramu di rumah sakit tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya!” hardik Hasyim terakhir. “Jika hingga akhir bulan kamu tidak bisa membuat dirimu menjadi lebih baik maka jangan harap kamu bisa menemui putramu!” Hasyim meninggalkan Ghazi sendirian di sana.
Sepeninggal Hasyim, Ghazi merenungi semua kata-kata yang diucapkan oleh ayahnya. Dia sadar dan kecewa terhadap diri sendirinya. Pasti jika Gayatri masih hidup, istrinya pasti juga akan ikut marah dan kecewa. Dia harus berubah, bukan demi siapa pun, tetapi demi putranya. Dia tidak ingin kehilangan putranya setelah dirinya kehilangan istrinya.
Dia memilih untuk membersihkan diri terlebih dulu dan siang itu memanggil jasa kebersihan untuk membersihkan seluruh rumahnya. Karena memang ketika bersama Gayatri dia tidak memiliki asisten rumah tangga. Itu semua permintaan sang istri saat kali pertama mereka pindah ke rumah ini. Semua botol alkohol yang sudah dibuang dan rumah yang sudah bersih membuat dirinya tersenyum.
“Maafkan aku, istriku,” ucapnya merasa bersalah.
oOo
Seminggu sudah Adhisty merawat Ganesha sendirian, orang tuanya terutama ibunya yang banyak berada di rumah hanya membantu sebisanya. Kantung mata semakin hitam, rambut acak-acakan, dan moodnya sangat buruk akibat kurangnya tidur selama merawat keponakannya. Seminggu itu pula tidak ada kabar dari orang tua Ghazi maupun kakak iparnya itu.
“Duh, ke mana semua orang! Sama sekali tidak bertanggung jawab.” Adhisty mengeluarkan uneg-unegnya terhadap semua orang. Karena sama sekali tidak ada yang membantunya.
Orang tuanya saja lebih memilih pergi dari rumah atau menjaga pun hanya ketika dia butuh ke kamar mandi atau makan.
Sementara keempat orang tua telah bertemu untuk berdiskusi bagaimana nasib selanjutnya baby Ganesha. Karena Hasyim menceritakan keadaan Ghazi yang masih memperbaiki diri agar layak merawat putranya sendiri.
“Jadi, bagaimana, Pak. Apakah kita merawat Ganesha secara bergantian? Dua minggu di sini dan dua minggu bersama kalian?” tanya Hasyim meminta pendapat.
“Apakah lebih baik tinggal di satu rumah hingga dia cukup umur untuk berpindah-pindah merawatnya?” balas Dodi.
“Iya ya, dia masih terlalu kecil untuk dipindah-pindah. Jika begitu, saya dan istri menyerahkan kepada keluarga Bapak karena saya dan istri masih bekerja dan kadang harus keluar kota. Juga tidak mungkin kami menitipkan kepada pembantu,” timpal Hasyim.
“Pak, saya mengusulkan bagaimana jika kita menikahkan saja Ghazi dan Adhisty agar Ganesha juga ada yang merawat dan Ghazi ada yang memperhatikan,” Dodi mendadak mengusulkan hal tersebut.
“Pak Dodi, kenapa mengusulkan hal yang sangat tabu seperti itu? Apalagi, Gayatri baru saja meninggal,” tanya Hasyim. Bukan tersinggung melainkan dia kasihan terhadap Adhisty yang masih di usia muda, tetapi dibebankan dengan tanggung jawab yang bukan miliknya.
“Daripada Ghazi menikahi perempuan lain yang belum tentu menyayangi putranya, Pak. Lagi pula, saya tidak ingin cucu saya dirawat orang lain.” Dodi semakin mencoba meyakinkan Hasyim agar setuju.
“Baik, saran Bapak akan saya terima, tetapi semua keputusan tergantung dari Ghazi dan Adhisty,” ucap Hasyim yang tidak menyetujui juga tidak menolak.
oOo
Di sisi lain, Adhisty yang sedang menidurkan sang keponakan dengan menggendong karena bayi gembul itu tidak mau ditidurkan. Satu jam kemudian, akhirnya Ganesha mau tidur dan direbahkan di atas ranjang. Dia pun ikut merebahkan dirinya sebelum menyatu bersama bantal. Gawainya yang berada di nakas bergetar dan menyala. Tertera di sana sebuah pesan dari seseorang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Khairul Azam
aneh banget jaga bayi aja kebingungan yg kasihan ya adisty
2024-12-14
0