Sore yang disertai dengan langit gelap mendukung kesedihan yang terjadi saat Gayatri dimandikan oleh suaminya di ruang pemandian jenazah milik rumah sakit. Usai pemandian dan pemberian kafan dilakukan, Gayatri akan dibawa pulang untuk disholatkan di masjid dan besok pagi akan dimakamkan di pemakaman daerah tempat tinggal keluarga mereka.
Meski Ghazi mencoba terlihat tegar di hadapan para tetangga, ternyata itu semua sia-sia karena dia masih belum ikhlas menerima semuanya. Dia hanya bisa menangis melihat jenazah istrinya terbungkus dan sendiri di ruang tengah di rumahnya.
oOo
Paginya, Ghazi menjadi salah satu pembawa tandu milik istrinya untuk mengantarkan ke tempat peristirahatan selamanya. Sepanjang jalan dia masih mencoba untuk tegar dan menahan tangisnya hingga pemakaman selesai. Banyak orang yang datang ke rumahnya untuk takziah karena beritanya terlalu mendadak dan sangat menyayangkan dengan kejadian yang terjadi.
Sore hari, rumah Ghazi sudah kembali sepi, hanya ada beberapa orang kampung yang ikut berjaga dan membantu membereskan meja. Kedua orang tua Gayatri memilih tidak pulang dan akan mengikuti pengajian nanti malam untuk mendoakan putrinya. Sedangkan Adhisty memilih pergi untuk melihat keponakannya di rumah sakit. Dia sudah meminta izin kepada kakak iparnya itu untuk melihat bayi yang belum memiliki nama.
Tibalah dia di rumah sakit dan langsung menuju ruang Nicu. Apalagi dia memang tidak boleh untuk masuk ke dalam karena bukan salah satu dari orang tuanya. Dia hanya bisa melihat dari jendela besar yang terpasang di kamar Nicu. Bayinya yang belum memiliki nama itu terlihat anteng tidak rewel, mungkin juga merasakan ikut kehilangan sang ibu.
Adhisty mengusap air yang menetes dari kedua matanya melihat bayi itu. Rasanya dia ingin sekali memeluk bayi itu agar tidak merasa sendirian karena saat lahir, dia belum tersentuh oleh ibunya.
Dering gawai mengganggu momen manis yang dia rasakan dan karena tidak ingin menjadi pusat perhatian, dia pergi dan mengangkat panggilan itu.
“Ya, Bu, ada apa?” tanya Adhisty.
“Kamu di mana?” tanya Tria.
“Dhisty sedang di rumah sakit melihat anaknya mbak Ge,” jawab Adhisty menghapus air matanya.
“Kamu cepat ke sini karena sebentar lagi ada pengajian di rumah Ge,” pesan Tria.
“Iya,” balas Adhisty kecewa.
Dari rumah sakit, Adhisty memilih pulang ke rumah untuk mengganti baju karena tidak nyaman seharian memakai baju bekas dari pemakaman. Dia langsung melanjutkan perjalanan ke rumah Ghazi karena waktu sudah menunjukkan sesudah magrib. Dia tidak ingin terlambat.
Di sana dia disambut oleh ibunya dan diajak untuk membantu mempersiapkan apa-apa untuk para orang untuk ikut berdoa di pengajian tersebut. Acara pengajian itu berlangsung selama beberapa hari.
oOo
Seminggu setelah kematian Gayatri membuat Ghazi benar-benar merasakan kehilangan. Tinggal di rumah yang besar dan hanya sendiri sangat tidak nyaman. Apalagi dia teringat di mana letak-letak kenangan bersama dengan Gayatri. Akhirnya dia mengemasi baju dan barang lain untuk kembali ke rumah orang tuanya. Dia masih belum sanggup tinggal di rumah ini lagi.
Namun, sebelum ke rumah orang tuanya, dia ingin melihat putranya di rumah sakit. Dia mengunjungi ruang Nicu dan melihat dari jendela besar karena masih belum diperbolehkan masuk. Karena kondisinya yang belum stabil.
“Nak, kumohon, jangan tinggalkan ayah,” ucapnya memelas sembari menatap sang putra dari jendela.
Dokter anak yang melihat ayah si bayi tanpa nama itu menghampiri sang ayah.
“Maaf, Pak. Saya selaku dokter hanya mengingatkan bahwa bayi anda belum diberi nama setelah seminggu dilahirkan. Karena saya lihat yang mengunjungi hanya adik dari ibunya,” tegur dokter anak itu.
“Oh, maafkan, Dok. Saya masih bersedih atas apa yang terjadi pada ibunya. Putra saya tolong diberi nama Ganesha Akbar,” jawab Ghazi mengingat kenangan bersama istrinya di mana mereka berdebat untuk menamai putra mereka.
“Ah, bagus sekali, cocok untuk bayi bapak. Satu lagi, minggu depan Ganesha sudah diperbolehkan keluar dari inkubator sehingga bapak bisa memeluk langsung.” Dokter anak itu memberi kabar baik bagi Ghazi.
“Terima kasih, Dok.”
Ghazi kembali menatap putranya dan dia tersenyum karena dia akan bisa memegang putranya. Dia memilih pulang setelah puas bermain dengan Ganesha. Dia membawa mobilnya kembali ke rumahnya sendiri karena saat ini dia rindu terhadap istrinya.
“Sayang, aku pulang,” teriak Ghazi pada rumah yang kosong. “Sayang, kamu di mana?”
Ghazi melangkahkan kakinya menuju kamar utama dan di sana kosong. Tidak ada sosok istrinya yang biasa menunggu dirinya. Terbaring mengeluh kesakitan karena terlalu lama dia tinggal di kantor. Netra Ghazi banjir dengan air sekali lagi, setelah dari rumah sakit sempat meneteskan air mata untuk putranya. Dia meringkuk tanpa mengganti pakaiannya dan menangis serta sesekali mengigau nama istrinya.
oOo
Beberapa minggu kemudian, putranya masih berada di rumah sakit karena berat badan masih belum mencapai yang ditargetkan. Sementara Ghazi yang hidup, tetapi tidak hidup. Dibilang mayat juga tidak mati. Begitulah keadaannya setelah ditinggal oleh istrinya yang sangat dia cintai. Keadaannya sungguh memprihatinkan.
Kegiatan putranya hanya bekerja dari pagi hingga ke malam hari tanpa berhenti. Di dalam rumah pun lebih suka mengurung diri. Hanya pekerjaan yang menjadi pelarian dirinya untuk menjaga agar tetap waras. Dia menerima pesan lagi dari Adhisty yang selalu mengirimkan foto-foto putranya. Meski tidak setiap hari, dia tetap berterima kasih kepada adik iparnya karena telah membantu merawat putranya.
Kedua orang tua Ghazi yang melihat itu sangat bersedih, dia menyuruh putranya untuk pulang ke rumahnya. Agar dia bisa lebih mengawasi apa yang diperbuat putranya. Paling tidak dia bisa membantu untuk menjaga kesehatan putranya hingga saat cucunya diperbolehkan pulang.
Suatu sore Ghazi membelokkan diri ke bar di tengah kota karena saat ini yang dia butuhkan adalah mengalihkan pikirannya. Dia memilih untuk memesan minuman beralkoh*l satu botol untuk ditenggaknya agar membuat pikirannya terasa ringan. Namun, setelah meminum dua gelas dan belum membuatnya mabuk. Akhirnya, dia membeli dua botol lagi dari bar itu dan pulang ke rumahnya sendiri. Karena jika ke rumah orang tuanya dia pasti tidak akan diperbolehkan untuk minum.
“Ge, aku rin-du sa-ma ka-mu,” ucapnya mabuk.
“Ge, apa a-ku … harus menyu-sulmu,” isaknya sembari menegak minuman.
Hal itu berlangsung hingga beberapa jam sehingga suasana menjadi hening karena dia tertidur akibat terlalu banyak meminum minuman beralkohol.
Esoknya saat dia bangun dia memuntahkan seluruh isi perutnya karena konsumsi alkohol yang berlebihan. Dia mengirim pesan kepada ayahnya untuk izin tidak ke kantor lagi. Dia memutuskan untuk pergi mandi dan membersihkan dirinya. Saat melihat di cermin kamar mandi, dia teringat istrinya yang selalu protes jika dia tidak bercukur.
Saking pusing efek mabuk semalam, ditambah dengan emosi yang menguras air matanya, dia melemparkan tinjunya ke cermin tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Tri Susanti
lanjut thor
2023-12-11
2