“Bagaimana pendapat Ibu?” tanya Hasyim pada istrinya ketika dalam perjalanan pulang.
“Tentang saran pak Dodi?” Hasyim mengangguk dan kembali fokus ke depan.
“Menurut ibu sih, Ayah bicarain dulu sama Ghazi pelan-pelan karena dia kerasnya seperti Ayah atau cari cara saja biar Ghazi mau menuruti permintaan Ayah,” ucap Leila disertai helaan napas panjang.
“Ibu belum ikhlas memiliki menantu lagi?” tanya Hasyim.
“Bukan itu, Yah. Ibu sebenarnya lebih suka dengan Adhisty, tetapi entah kenapa jika mereka menikah sekarang, kasian si Adhisnya.” Leila mengungkapkan kekhawatirannya.
“Ayah hargai pendapat Ibu, tetapi memang kita tidak bisa mengesampingkan Ganesha,” putus Hasyim.
Keadaan menjadi hening setelah mereka membicarakan saran dari Dodi yang tiba-tiba memberikan usulan yang memang tidak buruk, tetapi tidak baik juga melihat kondisi Ghazi yang seperti ini. Karena besok adalah akhir pekan, Hasyim memutuskan untuk membawa Ganesha kepada Ghazi agar mereka bisa menikmati waktu bersama dan putranya kembali sadar.
Sabtu pagi, Hasyim menjemput cucunya di kediaman Adhisty dan izin kepada gadis itu untuk merawatnya selama weekend. Tentunya Adhisty sedikit sedih karena berpisah dari keponakannya setelah tiga minggu bersama. Namun, ada sedikit kelegaan bahwa dia akan bisa beristirahat dan tidur.
Dia menyerahkan Ganesha ke pelukan Leila karena Hasyim belum membeli car seat yang digunakan untuk bayi kecil itu. Tak lama, mereka membawa cucunya pulang untuk mempertemukan dengan Ghazi, yang saat ini sudah lebih baik dari seminggu lalu.
Ayahnya Ganesha mempersiapkan diri untuk bertemu sang putra yang hampir satu bulan ini tidak pernah bertemu. Dia menatap putranya yang berada dalam gendongan nenek. Putranya yang tampak lebih berisi dari terakhir dia bertemu. Seketika air mata menetes ketika melihat tubuh putranya.
“Bu, boleh aku menggendongnya?” tanya Ghazi perlahan.
“Tentu boleh, Sayang.” Leila memposisikan Ganesha di gendongan ayahnya.
“Ibu, dia sudah lebih besar dari saat lahir,” isak Ghazi yang kemudian menciumi putranya.
Kedua orang tua itu meninggalkan mereka untuk menikmati waktu berdua. Namun, sebelumnya Leila sudah memberitahukan kepada Ghazi tentang takaran susu formula yang harus diminum oleh putranya. Lelaki tinggi itu membawa sang bayi dan perlengkapan ke kamarnya. Dia ingin menikmati waktu bersama putranya lebih tenang.
“Tampannya anak bapak,” gumamnya.
Dia meletakkan sang putra di ranjang kamarnya karena dia belum kembali ke rumahnya sendiri. Dia meninggalkan putranya setelah memberi ganjalan di samping kanan dan kiri agar tidak merasa sendirian. Dia sudah diajari cara mengganti popok oleh ibunya juga. Pikirnya, jika terjadi apa-apa nanti, dia masih bisa memanggil orang tuanya.
Namun, sepertinya takdir memang sedang menguji Ghazi. Ketika mendadak ponsel Hasyim berbunyi.
“Halo,” sapa Hasyim.
“Pak, hari ini perwakilan klien dari Perusahaan Laserboom ingin bertemu dengan anda,” ucap seorang di sana.
“Kenapa begitu tiba-tiba?” tanya Hasyim.
“Saya juga baru dikabari oleh sekretaris mereka. Mereka meminta bertemu untuk makan siang di restoran Eastern dan Bapak diharapkan bersama dengan Ibu,” ucap sekretarisnya di sana.
“Baiklah, pukul 01.00 siang kan?” Hasyim memastikan lagi.
Hasyim pun segera memberitahu istrinya dan mengajaknya bersiap karena waktunya terlalu mepet.
“Ghaz, ayah dan ibu harus pergi makan siang bersama klien. Kamu yakin bisa sendiri merawat Ganesha?” tanya Hasyim.
“Oh, gak papa, Yah. Hanya beberapa jam saja kan aku menjaga Ganesha sendiri,” jawab Ghazi.
“Soalnya art juga izin ada keperluan mendesak katanya. Jadi kamu bener-benar sendiri.” Hasyim masih khawatir meninggalkan cucunya sendiri. “Apa perlu dititipkan saja pada Adhisty?”
“Tidak perlu, Yah. Aku beneran bisa, kok. Kalo Ayah gak percaya, setiap dua jam deh hubungin aku terus,” tawar Ghazi.
“Oke, ayah percaya sama kamu.”
Begitulah, siang hari Hasyim dan Leila pergi ke restoran untuk bertemu dengan klien tersebut. Ghazi dan Ganesha benar-benar sendiri di rumah. Karena bayi itu masih tertidur, dia pun meninggalkan sebentar ke ruang kerjanya. Namun, tak lupa dia memberikan musik agar bayinya tetap tenang. Dering gawainya berbunyi dan dia melihat itu yang menelepon adalah ayahnya. Padahal mereka baru pergi 3 jam yang lalu.
“Iya, Yah. Ada apa?” tanya Ghazi.
“Hanya ngecek aja. Mana cucu ayah?” tanya Hasyim.
“Itu,” jawab Ghazi sambil mengarahkan kameranya ke putranya yang masih tertidur.
“Ya udah, ayah cuma mau bilang seperti akan sampai malam karena tiba-tiba kliennya memutuskan untuk membicarakan proyek hingga makan malam,” ucap Hasyim.
“Oke, Yah.”
Ghazi meletakkan gawainya setelah panggilan itu terputus. Dia pergi ke ruang kerjanya yang sebelumnya adalah kamar tamu yang diubah agar dia bisa tinggal di sana. Tak sengaja saat membuka laci meja kerja tersebut, dia menemukan dua botol yang hampir dua minggu ini tidak dia sentuh.
Pertama, dia tergoda untuk mencicipinya satu gelas saja. Namun, karena sudah lama tidak meminum alkoh*l, dia tergoda untuk meneguk beberapa gelas lagi. Hingga akhirnya, dia menghabiskan satu botol itu dan mulai mabuk.
Ghazi membuka botol kedua yang memiliki alk*hol lebih kuat sehingga setengah jam setelah dia menenggak minuman itu, dia pingsan dan terbaring di ruang kerjanya. Pukul 09.00 malam, gawainya berdering dan tertera nama ayahnya di sana dan panggilan itu tidak terjawab. Ponselnya berdering lagi, tetapi tidak akan diangkat oleh Ghazi.
Hasyim yang berada di tempat lain pun cemas dan khawatir terjadi apa-apa dengan putranya karena ponselnya tidak terhubung. Padahal, tidak biasanya seperti ini. Dia terpaksa menghubungi Adhisty untuk memeriksa keadaan Ghazi di rumah.
“Halo, Om,” sapa Adhis.
“Dhis, om mau minta tolong. Tolong kamu ke rumah om dan memeriksa keadaan Ghazi. Karena harusnya om menghubungi dia pukul 09.00 ini, tetapi tidak diangkat. Nanti kalo pintu dikunci, kamu lewat pintu belakang dan kuncinya ada di pot yang tergantung di dekat pintu dapur.” Hasyim memberi petunjuk yang dibutuhkan Adhisty.
“Iya, Om. Adhis ke sana dulu, nanti kalo sudah tiba, aku telepon Om.” Adhis menutup panggilan tersebut.
Adhisty segera keluar dari kamarnya dan terburu-buru keluar dari rumah.
“Nak, kamu mau ke mana?” tanya Tria.
“Mau ke rumah Om Hasyim, Bu. Karena Ghazi gak bisa dihubungin jadi takut ada apa-apa.” Adhisty mengambil kunci mobil.
“Sendiri gak papa?” Tria khawatir dengan putrinya.
“Gak papa kok, Bu. Aku gak bakal ngebut. Aku pergi ya, Bu,” pamit Adhisty.
Dia masuk ke mobilnya dan membawa dengan kecepatan sedang karena sudah malam sehingga dia harus berhati-hati. Setengah jam kemudian, dia telah tiba di rumah Hasyim dan memarkir di depan rumah tersebut. Dia membuka pagar dan masuk melalui pintu depan, memeriksa apakah sudah dikunci atau tidak.
Ternyata tidak dikunci sehingga dia langsung masuk ke rumah besar itu. Belum selesai dia menutup pintu, dia mendengar suara tangisan bayi di lantai atas. Dia segera berlari ke atas dan fokus untuk melihat Ganesha terlebih dulu. Bayi itu menangis dengan keras hingga kulitnya yang putih menjadi merah dan sepertinya sudah dari tadi keponakannya menangis.
Dia mengangkat bayi mungil itu dan menenangkannya terlebih dahulu sembari mencari botol untuk membuatkan susu formula karena bayi itu kelaparan. Usai dia mendidihkan dan membuatkan susu, dia menyusukan susu tersebut ke keponakannya agar bayi kecil itu mulai tidur kembali.
Butuh waktu yang singkat untuk menidurkan Ganesha. Setelah itu, Adhisty mencari di mana kakak iparnya berada. Dia membuka semua pintu dan terakhir ruang kerja yang dia buka. Di sanalah dia melihat sosok ayah dari keponakannya terkapar tidak sadar. Dia melihat sekeliling dan menemukan dua botol minuman di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Khairul Azam
sedih boleh kehilangan boleh gila jgn, klo gak ikhlas kenapa gak ikut nyusul istrinya aja
2024-12-14
0
LISA
Gazi ini mabuk melulu..ga inget sama anaknya
2023-12-26
0
Tri Susanti
lanjut thor semangat nulis nya
2023-12-12
2