Soulmate
Di salah satu perusahaan kayu yang cukup besar yang berada di salah satu kota di Jawa Tengah, disinlah aku bekerja sebagai manager finance and accounting department. Pekerjaan yang cukup menjanjikan diusiaku yang masih 25 tahun.
“Martha, laporan penjualan bulan kemarin sudah selesai?”
“Sudah, Mbak. Sudah saya taruh di meja Mbak.”
Setelah mendengar jawaban yang cukup memuaskan, aku pun langsung menuju ruang kerjaku. Ruangan kerja dengan luas 4x6 meter persegi yang dilengkapi dengan satu set sofa, lemari, TV bahkan lemari pendingin, tentu saja terdapat meja dan kursi untukku melakukan pekerjaanku. Ruangan yang cukup luas dan cukup nyaman dengan air conditioner.
Ya, disinilah aku, Seira Amelia Purnama, mencari nafkah untuk menghidupi hidupku sendiri. Tidak, aku bukanlah anak yatim piatu. Aku hanya seorang anak perempuan yang mencoba mengadu nasib di kota orang. Aku memiliki keluarga lengkap. Papaku merupakan seorang konsultan pajak yang cukup memiliki nama di Bandar Lampung, sedangkan mamaku adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang mengurus anak dan suami di rumah. Aku memiliki dua orang adik laki-laki yang masih menuntut ilmu, mereka adalah Seth Alexander Purnama dan Sebastian Aviador Purnama.
Terdengar dentingan Fur Elise saat aku sedang memeriksa laporan penjualan bulan ini. Aku melirik sekilas nama yang terdapat di layar handphone sebelum mengangkat telepon masuk tersebut.
“Halo Vin, ada apa?”
“Aku cuma mau ngingetin, jangan lupa kalau malam ini acara pertunanganku. Awas aja kalo lupa dan ngga dateng!”
“Tenang, aku nggak lupa kok. Gimana mau lupa kalau dua curut itu sibuk ngerecokin aku sedari tadi pagi untuk laporan. Sebelum jam tujuh aku pasti sudah di rumahmu.”
“Hahaha… Oke, aku tunggu.” Ucapnya sembari mematikan sambungan telepon.
Melihat jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, aku pun menutup laporan yang niatnya mau kuperiksa dan langsung bergegas membereskan barang-barangku dan menuju mobil jenis sedan yang terparkir manis di basement. Aku cukup bersyukur diterima kerja disini, selain gajiku yang bisa dilang lumayan tinggi, aku juga mendapat tunjangan mobil serta rumah. Yah, walau banyak yang bilang kalau aku memanfaatkan hubunganku dengan atasanku, but I don’t really care.
Setelah menyusuri jalan Semarang yang lumayan padat di jam pulang kantor, akhirnya aku sampai di depan rumah dua lantai yang merupakan tempat tinggalku selama di Semarang. Rumah yang terdiri dari 3 kamar tidur, 2 kamar mandi, satu dapur yang menyatu dengan ruang makan dan satu ruang tamu tersebut, cukup besar untuk kutinggali sendiri.
Dimana aku menaruh gaunku? Pikirku. Aku mencarinya dilemari namun tidak ada. Aku raih handphone-ku dan menelepon seseorang.
“Vin, dimana kau taruh gaun yang harus aku pakai? Aku nggak bisa menemukannya di lemari.” Ucapku segera setelah teleponku dijawab.
“Oh, aku taruh dikamar yang biasa ku pakai, lengkap dengan aksesorisnya. Jangan ribut, pakai saja semua. Kau pasti cantik.”
“Apa pentingnya?”
“I don’t care! Apakah pacarmu hadir?”
“Aku rasa nggak, dia sibuk. Aku matikan ya, see you.” Kataku sebelum ceramahnya keluar.
Sesampainya ku didekat rumah Lavin sudah terlihat dari kejauhan suasana kerlap-kerlip ala pesta di rumah besar
itu. Hari ini adalah hari pertunangan sahabatku Kaitlyn Lavina dengan pacarnya. Tentu aku senang dia bahagia bersama lelaki yang menyayanginya, namun ada sedikit perasaan iri dalam hatiku.
“Seira! Apa kabar kamu nak? Tante kangen, kok nggak pernah main lagi? Makin cantik aja.” Sapa tante Ady begitu melihatku yang mengenakan long dress berwarna peach dengan bahu terbuka memamerkan leher jenjangku yang mengenakan kalung berliontin kupu-kupu yang kudapat dari pacarku sebagai hadiah anniversary. Rambutku ku ikat dan ku roll sedikit agar terlihat ikal. Telingaku pun tergantung anting-anting yang berhiaskan mutiara yang pastinya imitasi. Kakiku terbalut dengan pumps berwarna senada dengan gaunku. Tak lupa juga clutch menghias tanganku.
“Baik tante. Tante apa kabar? Seira juga kangen. Banyak kerjaan akhir-akhir ini, makanya jarang main. Tante juga makin cantik, kelihatan lebih muda.”
“Ah, bisa aja kamu. Inget ya, kerja boleh tapi jangan lupa makan ya. Jangan kayak Lavin, kalau nggak diingetin nggak makan.” Ujar tante Ady. Tante Ady merupakan mama dari Lavin yang sudah seperti mama keduaku. Aku salut dengan beliau, walaupun merupakan orangtua tunggal, dia mampu membesarkan anak-anaknya dengan sangat baik.
“Siap komandan.” Jawabku sambil hormat ala tentara yang membuat tante Ady tertawa. “Lavinnya dimana sekarang tan?” lanjutku.
“Di kamarnya, sana gih samperin.”
“Oke, permisi ya.” Pamitku sambil tersenyum. Aku pun langsung beranjak ke lantai dua menghampiri sahabatku. Dia terlihat cantik dengan ball gown berwarna pink, mahkota kecil di kepalanya menambah keanggunan sahabatku.
“Seira! You look amazing!”
“Hey! Lihat siapa yang ngomong. Hari ini kamu tokoh utamanya neng, kamu yang mesti paling cantik,” candaku. “Selamat ya Vin, I’m happy for you.” Lanjutku sembari memeluknya.
“Makasih. Aku juga nggak nyangka Ra. Masih kayak mimpi rasanya.”
Aku mencubit lengannya.
“Aww, sakit Ra!”
“Berarti ini bukan mimpi.” Ujarku sambil meleletkan lidah.
“Ha-ha-ha. Lucu sekali.”
“Kak, acaranya sudah mau dimulai.” Sela Kenzie, adik laki-lakinya yang terlihat tampan dengan tuksedonya.
“Oke. Yuk Ra, kita turun.” Ajaknya yang disambut dengan anggukanku.
Ternyata suasana di bawah sudah sangat ramai. Banyak sekali tamu yang datang. Namun sayang, tak seorang pun yang kukenal selain Lavin dan keluarga. Acara yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Pertukaran cincin! Terlihat sekali wajah bahagia yang ditunjukkan oleh Lavin dan Adolfo. Dengan perlahan Adolfo menyematkan cincin di jari Lavin yang lentik, begitu pun dengan Lavin. Sepertinya mereka memang sangat ahli membuat para tamu iri dengan kebahagiaannya.
***
Huft, lelah sekali mondar-mandir membantu di acaranya Lavin. Tapi aku senang, acaranya lancar hingga akhir. Setelah membersihkan tubuhku dan mengenakan rangkaian skin care rutinku akhirnya tiba waktunya untuk tidur. Aku bersiap untuk menyelimuti tubuhku dengan selimut saat aku mendengar handphone-ku berbunyi. Ternyata grup call, segera aku mengangkatnya.
“Halo?” sapaku.
“Gimana acaranya? Sukseskah?” samber Rawnie Zevanna alias Nana.
“Sukses dong. Lavin cantik banget hari ini. Semuanya terlihat bahagia. Satu kata perfect.” Laporku.
“Ah… sayang nggak bisa dateng.” Sesal Florenza Rosa yang biasa disapa Floren.
“Yah… kalian melewatkan momen yang bagus.”
Setelah sekitar satu jam kami bertiga bergosip ria bertukar kabar beberapa hari terakhir, akhirnya sambungan teleponpun terputus. Nana dan Floren merupakan teman SMA ku. Kami bertiga bertemu dengan Lavin ketika berkuliah. Mengingat itu, aku jadi kangen masa-masa itu. Aku masih ingat dulu kami berempat sering keluar kota bersama, bukan untuk jalan-jalan ataupun refreshing namun hanya karena ingin menghabiskan waktu.
Kenanganku terpotong oleh alunan Fur Elise yang berdering kembali.
“Halo…”
“Babe, tadi aku telepon kok sibuk? Teleponan sama siapa?” tanya pacarku yang tak lain dan tak bukan Barron Arsenio Raymond. Dia adalah anak dari pemilik perusahaan tempatku bekerja. Dialah salah satu sumber alasan gosip-gosip dikantor yang menimpaku. Walau pada awalnya aku tidak tahu Barron merupakan anak “bos”, tapi siapa yang akan percaya. Padahal, pertama kali mengenalnya, dia hanya seorang staff senior. Karena aku merupakan staff baru, dia sering membantuku, kami pun jadi sering berinteraksi. Pendek cerita kami sudah menjalin hubungan selama dua tahun, sedang mengenai dia merupakan anak dari pemilik perusahaan tempatku bernaung saat ini, aku baru mengetahuinya enam bulan terakhir. Bayangkan! Selama satu tahun setengah dia membohongiku. Jangan tanya aku bagaimana dia melakukannya, karena aku juga tidak tau. Dan yang lebih parahnya lagi, aku mengetahui hal itu dari orang lain. Hebat sekali bukan? Dia benar-benar membuatku marah pada saat itu. Aku menceritakan semuanya tanpa kututup-tutupi tapi dia melakukan yang sebaliknya. Seakan-akan dia takut aku hanya mau hartanya. Huh! Mengingatnya saja sudah membuatku kesal. Seingatku itu pertengaran besar kami yang pertama selama pacaran.
“Sama Nana dan Flo. Kamu belum tidur?” tanyaku setelah melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 11 malam.
“Nggak bisa tidur. Kamu sendiri? Maaf ya, nggak bisa nemenin kamu ke acaranya Lavin.”
“Aku baru mau tidur saat Nana dan Flo menelepon. Iya gapapa. Besok kamu pergi ke Amerika kan?”
“Hmm… pengen oleh-oleh apa?”
Aku menggeleng seakan dia bisa melihatku, saat ku tersadar bahwa manusia ini hanya bisa mendengar suaraku aku menjawab, “nggak. Cuma pengen kamu pulang dengan selamat. Itu udah cukup buatku. Besok pesawat jam berapa? Aku anter ya?”
“Jam 9. Boleh kalau kamu maksa.”
“Yee… barang udah dikemas semua?”
“Sebagian besar udah, kan kamu juga yang bantu aku packing semalem. Harusnya semua aman sih.”
“Kebiasaan sih, selalu packing H-1. Yaudah tidur gih.”
“Oke. Kamu juga ya. Sleep tight, sweatheart. Goodnight.”
“Hmm… Goodnight.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments