Di salah satu perusahaan kayu yang cukup besar yang berada di salah satu kota di Jawa Tengah, disinlah aku bekerja sebagai manager finance and accounting department. Pekerjaan yang cukup menjanjikan diusiaku yang masih 25 tahun.
“Martha, laporan penjualan bulan kemarin sudah selesai?”
“Sudah, Mbak. Sudah saya taruh di meja Mbak.”
Setelah mendengar jawaban yang cukup memuaskan, aku pun langsung menuju ruang kerjaku. Ruangan kerja dengan luas 4x6 meter persegi yang dilengkapi dengan satu set sofa, lemari, TV bahkan lemari pendingin, tentu saja terdapat meja dan kursi untukku melakukan pekerjaanku. Ruangan yang cukup luas dan cukup nyaman dengan air conditioner.
Ya, disinilah aku, Seira Amelia Purnama, mencari nafkah untuk menghidupi hidupku sendiri. Tidak, aku bukanlah anak yatim piatu. Aku hanya seorang anak perempuan yang mencoba mengadu nasib di kota orang. Aku memiliki keluarga lengkap. Papaku merupakan seorang konsultan pajak yang cukup memiliki nama di Bandar Lampung, sedangkan mamaku adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang mengurus anak dan suami di rumah. Aku memiliki dua orang adik laki-laki yang masih menuntut ilmu, mereka adalah Seth Alexander Purnama dan Sebastian Aviador Purnama.
Terdengar dentingan Fur Elise saat aku sedang memeriksa laporan penjualan bulan ini. Aku melirik sekilas nama yang terdapat di layar handphone sebelum mengangkat telepon masuk tersebut.
“Halo Vin, ada apa?”
“Aku cuma mau ngingetin, jangan lupa kalau malam ini acara pertunanganku. Awas aja kalo lupa dan ngga dateng!”
“Tenang, aku nggak lupa kok. Gimana mau lupa kalau dua curut itu sibuk ngerecokin aku sedari tadi pagi untuk laporan. Sebelum jam tujuh aku pasti sudah di rumahmu.”
“Hahaha… Oke, aku tunggu.” Ucapnya sembari mematikan sambungan telepon.
Melihat jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, aku pun menutup laporan yang niatnya mau kuperiksa dan langsung bergegas membereskan barang-barangku dan menuju mobil jenis sedan yang terparkir manis di basement. Aku cukup bersyukur diterima kerja disini, selain gajiku yang bisa dilang lumayan tinggi, aku juga mendapat tunjangan mobil serta rumah. Yah, walau banyak yang bilang kalau aku memanfaatkan hubunganku dengan atasanku, but I don’t really care.
Setelah menyusuri jalan Semarang yang lumayan padat di jam pulang kantor, akhirnya aku sampai di depan rumah dua lantai yang merupakan tempat tinggalku selama di Semarang. Rumah yang terdiri dari 3 kamar tidur, 2 kamar mandi, satu dapur yang menyatu dengan ruang makan dan satu ruang tamu tersebut, cukup besar untuk kutinggali sendiri.
Dimana aku menaruh gaunku? Pikirku. Aku mencarinya dilemari namun tidak ada. Aku raih handphone-ku dan menelepon seseorang.
“Vin, dimana kau taruh gaun yang harus aku pakai? Aku nggak bisa menemukannya di lemari.” Ucapku segera setelah teleponku dijawab.
“Oh, aku taruh dikamar yang biasa ku pakai, lengkap dengan aksesorisnya. Jangan ribut, pakai saja semua. Kau pasti cantik.”
“Apa pentingnya?”
“I don’t care! Apakah pacarmu hadir?”
“Aku rasa nggak, dia sibuk. Aku matikan ya, see you.” Kataku sebelum ceramahnya keluar.
Sesampainya ku didekat rumah Lavin sudah terlihat dari kejauhan suasana kerlap-kerlip ala pesta di rumah besar
itu. Hari ini adalah hari pertunangan sahabatku Kaitlyn Lavina dengan pacarnya. Tentu aku senang dia bahagia bersama lelaki yang menyayanginya, namun ada sedikit perasaan iri dalam hatiku.
“Seira! Apa kabar kamu nak? Tante kangen, kok nggak pernah main lagi? Makin cantik aja.” Sapa tante Ady begitu melihatku yang mengenakan long dress berwarna peach dengan bahu terbuka memamerkan leher jenjangku yang mengenakan kalung berliontin kupu-kupu yang kudapat dari pacarku sebagai hadiah anniversary. Rambutku ku ikat dan ku roll sedikit agar terlihat ikal. Telingaku pun tergantung anting-anting yang berhiaskan mutiara yang pastinya imitasi. Kakiku terbalut dengan pumps berwarna senada dengan gaunku. Tak lupa juga clutch menghias tanganku.
“Baik tante. Tante apa kabar? Seira juga kangen. Banyak kerjaan akhir-akhir ini, makanya jarang main. Tante juga makin cantik, kelihatan lebih muda.”
“Ah, bisa aja kamu. Inget ya, kerja boleh tapi jangan lupa makan ya. Jangan kayak Lavin, kalau nggak diingetin nggak makan.” Ujar tante Ady. Tante Ady merupakan mama dari Lavin yang sudah seperti mama keduaku. Aku salut dengan beliau, walaupun merupakan orangtua tunggal, dia mampu membesarkan anak-anaknya dengan sangat baik.
“Siap komandan.” Jawabku sambil hormat ala tentara yang membuat tante Ady tertawa. “Lavinnya dimana sekarang tan?” lanjutku.
“Di kamarnya, sana gih samperin.”
“Oke, permisi ya.” Pamitku sambil tersenyum. Aku pun langsung beranjak ke lantai dua menghampiri sahabatku. Dia terlihat cantik dengan ball gown berwarna pink, mahkota kecil di kepalanya menambah keanggunan sahabatku.
“Seira! You look amazing!”
“Hey! Lihat siapa yang ngomong. Hari ini kamu tokoh utamanya neng, kamu yang mesti paling cantik,” candaku. “Selamat ya Vin, I’m happy for you.” Lanjutku sembari memeluknya.
“Makasih. Aku juga nggak nyangka Ra. Masih kayak mimpi rasanya.”
Aku mencubit lengannya.
“Aww, sakit Ra!”
“Berarti ini bukan mimpi.” Ujarku sambil meleletkan lidah.
“Ha-ha-ha. Lucu sekali.”
“Kak, acaranya sudah mau dimulai.” Sela Kenzie, adik laki-lakinya yang terlihat tampan dengan tuksedonya.
“Oke. Yuk Ra, kita turun.” Ajaknya yang disambut dengan anggukanku.
Ternyata suasana di bawah sudah sangat ramai. Banyak sekali tamu yang datang. Namun sayang, tak seorang pun yang kukenal selain Lavin dan keluarga. Acara yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Pertukaran cincin! Terlihat sekali wajah bahagia yang ditunjukkan oleh Lavin dan Adolfo. Dengan perlahan Adolfo menyematkan cincin di jari Lavin yang lentik, begitu pun dengan Lavin. Sepertinya mereka memang sangat ahli membuat para tamu iri dengan kebahagiaannya.
***
Huft, lelah sekali mondar-mandir membantu di acaranya Lavin. Tapi aku senang, acaranya lancar hingga akhir. Setelah membersihkan tubuhku dan mengenakan rangkaian skin care rutinku akhirnya tiba waktunya untuk tidur. Aku bersiap untuk menyelimuti tubuhku dengan selimut saat aku mendengar handphone-ku berbunyi. Ternyata grup call, segera aku mengangkatnya.
“Halo?” sapaku.
“Gimana acaranya? Sukseskah?” samber Rawnie Zevanna alias Nana.
“Sukses dong. Lavin cantik banget hari ini. Semuanya terlihat bahagia. Satu kata perfect.” Laporku.
“Ah… sayang nggak bisa dateng.” Sesal Florenza Rosa yang biasa disapa Floren.
“Yah… kalian melewatkan momen yang bagus.”
Setelah sekitar satu jam kami bertiga bergosip ria bertukar kabar beberapa hari terakhir, akhirnya sambungan teleponpun terputus. Nana dan Floren merupakan teman SMA ku. Kami bertiga bertemu dengan Lavin ketika berkuliah. Mengingat itu, aku jadi kangen masa-masa itu. Aku masih ingat dulu kami berempat sering keluar kota bersama, bukan untuk jalan-jalan ataupun refreshing namun hanya karena ingin menghabiskan waktu.
Kenanganku terpotong oleh alunan Fur Elise yang berdering kembali.
“Halo…”
“Babe, tadi aku telepon kok sibuk? Teleponan sama siapa?” tanya pacarku yang tak lain dan tak bukan Barron Arsenio Raymond. Dia adalah anak dari pemilik perusahaan tempatku bekerja. Dialah salah satu sumber alasan gosip-gosip dikantor yang menimpaku. Walau pada awalnya aku tidak tahu Barron merupakan anak “bos”, tapi siapa yang akan percaya. Padahal, pertama kali mengenalnya, dia hanya seorang staff senior. Karena aku merupakan staff baru, dia sering membantuku, kami pun jadi sering berinteraksi. Pendek cerita kami sudah menjalin hubungan selama dua tahun, sedang mengenai dia merupakan anak dari pemilik perusahaan tempatku bernaung saat ini, aku baru mengetahuinya enam bulan terakhir. Bayangkan! Selama satu tahun setengah dia membohongiku. Jangan tanya aku bagaimana dia melakukannya, karena aku juga tidak tau. Dan yang lebih parahnya lagi, aku mengetahui hal itu dari orang lain. Hebat sekali bukan? Dia benar-benar membuatku marah pada saat itu. Aku menceritakan semuanya tanpa kututup-tutupi tapi dia melakukan yang sebaliknya. Seakan-akan dia takut aku hanya mau hartanya. Huh! Mengingatnya saja sudah membuatku kesal. Seingatku itu pertengaran besar kami yang pertama selama pacaran.
“Sama Nana dan Flo. Kamu belum tidur?” tanyaku setelah melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 11 malam.
“Nggak bisa tidur. Kamu sendiri? Maaf ya, nggak bisa nemenin kamu ke acaranya Lavin.”
“Aku baru mau tidur saat Nana dan Flo menelepon. Iya gapapa. Besok kamu pergi ke Amerika kan?”
“Hmm… pengen oleh-oleh apa?”
Aku menggeleng seakan dia bisa melihatku, saat ku tersadar bahwa manusia ini hanya bisa mendengar suaraku aku menjawab, “nggak. Cuma pengen kamu pulang dengan selamat. Itu udah cukup buatku. Besok pesawat jam berapa? Aku anter ya?”
“Jam 9. Boleh kalau kamu maksa.”
“Yee… barang udah dikemas semua?”
“Sebagian besar udah, kan kamu juga yang bantu aku packing semalem. Harusnya semua aman sih.”
“Kebiasaan sih, selalu packing H-1. Yaudah tidur gih.”
“Oke. Kamu juga ya. Sleep tight, sweatheart. Goodnight.”
“Hmm… Goodnight.”
Seperti pembicaraanku semalam, sekarang aku sudah berada di Bandara Ahmad Yani. Dengan membawa bekal di tangan kananku, aku pun menghampiri Barron yang ada di depan ruang check-in bersama dengan tas laptop di tangannya. Seperti biasa, saat dia melihatku dia akan memelukku dan memberi kecupan di dahi.
“Aku bawain bekal,” ucapku mengacungkan tas bekal yang kubawa “nasi goreng spesial ala Seira.” Lanjutku sambil tersenyum.
“Ahh… betapa beruntungnya aku mempunyai pacar cantik, pinter masak, dan pengertian kayak kamu.” Ucapnya sambil memelukku lagi.
“Kamu harus bersyukur tiap hari.” Candaku.
“Hmm… jangan kangen aku ya…”
“Apa yang harus dikangenin?” candaku lagi. Aku memeluknya erat, mengambil nafas panjang untuk mengingat aromanya. “Celaka, belum juga kamu pergi aku sudah kangen.” Aku menghela nafas dan memundurkan kepalaku kebelakang agar dapat melihat wajahnya tanpa melepaskan pelukanku. “Harus banget kamu dua bulan disana?” tanyaku.
“Aku usahain lebih cepat ya…” jawabnya sambil merapikan anak-anak rambutku yang tertiup angin.
Dengan enggan hati akupun melepas pelukanku dan melihatnya memasuki ruang check-in. Entah mengapa aku merasa sulit sekali melihat kepergiannya kali ini. Mungkin karena biasanya tidak pernah di akhir tahun dan tidak lebih dari dua minggu.
***
Akhir tahun pun tiba, aku sedang mengemasi barang-barangku, tidak banyak karena sudah kukemas dari kemarin. Ya, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku akan berlibur dengan pulang ke rumah orang tuaku, menghabiskan sisa cutiku yang tersisa. Memikirkannya saja aku sudah senang setengah mati. Ku sangat rindu dengan suasana rumah yang ramai tidak seperti saat ini hanya sendiri di bangunan yang disebut “rumah”. Lamunanku hancur saat kudengar bel rumahku berbunyi.
“Lavin? Ada apa?” sapaku setelah membukakan pintu dan sembari menyilahkannya masuk.
“Hanya ingin membantu. Apa semua sudah di kemas?” tanyanya seraya duduk di ruang tamu sembari menghidupkan televisi.
“Hampir semua, tinggal oleh-oleh aja.” Jawabku dari dapur menyuguhkan minuman untuknya. “Mau oleh-oleh apa?” lanjutku.
“Aku mau keripik pisang! O iya, Mami titip kopi.”
“Oke, nggak masalah. Sekarang ayo cerita, kenapa kemari?”
“Gapapa, cuma mau main. Ngga boleh aku main kesini?” Elaknya. Aku hanya terdiam dan melihatnya dengan tatapan penuh curiga. “Oke, fine, aku ngaku. Aku lagi bete! Mami pergi arisan, Kenzie pacaran dengan pacar barunya dan Adolfo…” dia menghela nafas, “tidak ada kabar sedari pagi.” Lanjutnya dengan wajah masam.
“Oke, mau kemana kita?” tanyaku sambil menuju kamar untuk mengganti pakaian. Lavin adalah seorang gadis yang mudah ditebak. Asal kau mengenalnya dengan baik, kau bisa tahu apa yang ada dipikirannya.
“Seira, kamu emang yang terbaik.” Serunya mengejarku dan memelukku dari belakang. “Gimana kalo kita pergi shopping lalu makan. Aku dengar ada kafe baru.”
“Oke, tunggu sebentar.”
Selesainya aku mengganti baju, kami pun pergi ke salah satu mall di Semarang dengan mobil Lavin karena aku sedang malas berkendara. Ternyata kota Semarang sedang dilanda kemacetan yang luar biasa. Tidak tau ada apa hari ini, jarak yang biasanya bisa ditempuh dalam waktu 15 menit menjadi tiga kali lebih lama. Mungkin karena hari ini akhir pekan atau mungkin manusia-manusia Ibu Kota sudah datang untuk berlibur mengingat anak sekolah sudah libur dari minggu lalu.
“Astaga, tau gini mending diem aja dirumah deh tadi.” Sungut Lavin sesampainya kita di Paragon Mall.
"Udah lah, toh udah nyampe. It’s shopping time.” Hiburku.
Ya, seperti biasanya, Lavin tidak akan berhenti belanja jika tangannya masih mampu membawa tas belanjaannya. Terkadang aku salut dengan diriku sendiri, kenapa tidak kapok menemani ratu belanja ini. Kami memasuki hampir semua kios yang ada. Hasilnya, lima baju, dua sepatu, tiga jam tangan dan satu tas, dan itu semua belanjaan Lavin. Aku hanya membeli lima jam tangan untukku dan keluarga. Rasanya akan menyenangkan memakai jam tangan yang sama saat berpergian.
Setelah merasa capek, kami pun meninggalkan mall tersebut dan beranjak ke salah satu kafe yang direkomendasikan oleh Lavin. Tak perlu waktu lama, karena ternyata kafe ini sangat dekat dari Mall, kami pun sampai. Penampilan luar kafe itu terlihat nyaman dengan warna salem yang mendominasi. Namun, dalamnya lebih nyaman lagi, dengan tema cokelat. Berbeda dengan kafe pada umumnya yang menyediakan live music, tempat ini bikin betah saat kamu hanya ingin bersantai, menenangkan pikiran ataupun menghilangkan penat dengan secangkir kopi dan ditemani musik yang mengalun dengan damainya.
Kami pun menempati kursi didekat dinding kaca yang menghadap jalan. Pelayanannya cukup baik. Aku memesan Vanila Latte hangat dengan beberapa snack ringan untuk dimakan bersama, sedangkan Lavin memesan Caffe Macchiato dan sepiring Spaghetti Carbonara. Mungkin berbelanja membuat tenaganya habis. Sembari menunggu pesanan, aku pun memperhatikan sekitar. Banyak sekali anak remaja disini, mungkin anak SMA, ada yang datang bersama pasangan ada pula dengan teman-temannya. Melihat itu membuatku tersenyum sendiri.
"Hey, kok senyum-senyum sendiri Ra? Kesambet?”
“Enak aja! Lagi mengenang masa lalu yang menyenangkan. Lihat empat anak-anak yang duduk dipojok sana?” tanyaku sembari menunjuk kelompok yang aku maksud. “Mereka mengingatkanku dengan kenangan lucu semasa SMA dulu. Kalau aja waktu bisa diputar ulang.” Ucapku sembari melihat ke luar dinding kaca. Terlihat titik-titik air hujan yang sedang mengguyur kota Semarang. Alangkah baiknya kalau Barron ada disini.
“Permisi, satu Vanila Latte, satu Caffe Macchiato, satu Spagheti Carbonara, satu French Fries, dan satu Churros. Apakah pesanan sudah datang semua?” lamunanku dibuyarkan oleh pelayan yang membawa pesanan.
“Sudah.” Jawab Lavin.
“Ada lagi yang bisa saya bantu?” tawar sang pelayan.
“Tidak, terimakasih.” Jawabku seraya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Aku mengambil Latte-ku dan menyesapnya perlahan. Manis dari susunya terasa pas dilidahku. Bisa kubilang ini merupakan salah satu Latte terbaik yang pernah kuminum. Tetiba aku teringat Barron tidak bisa mengantarku ke bandara besok.
“Oh iya Vin, besok kamu ada acara nggak? Bisa minta tolong anterin aku ke bandara?”
“Yee.. sementang Barron ke Amrik kamu minta anterinnya sama aku.” Ledek Lavin mendengar permintaanku. “But luckily aku nggak ada acara besok. Jam berapa besok pesawatnya?”
“Jam sebelas, ya jam sembilan aja kamu jemput ke rumah. By the way, makasih loh.”
***
Jam menunjukkan pukul 10 malam, dan aku gelisah tidak bisa tidur. Menunggu telepon yang harusnya sudah datang sejam yang lalu. Aku mengecek handphone-ku lagi, masih layar kosong yang kudapati. Ahh sudahlah, memangnya aku pikirkan batinku sambil membanting diriku ke kasur dan menyelimuti tubuhku dengan selimut. Sekitar 15 menit kemudian handphone-ku berdering. Dengan cepat aku meraih dan mengangkatnya. Terlihat wajah Barron di layar handphone-ku.
“Maaf, aku kesiangan. Nunggu lama ya?” ucap Barron penuh sesal. Melihat wajah lelahnya aku tak tega untuk memarahi atau bahkan merajuk.
“That’s ok, babe.”
“Besok kamu pulang ya? Hati-hati dijalan. Salam buat mama, papa dan adik-adik kamu, bilang maaf ngga bisa ikut pulang.”
“Iya, entar aku sampein. Kamu kapan pulang? I miss you.”
“Yah, babe baru juga sebulan aku pergi. But I miss you too.”
“Aku kan pengen ngerayain tahun baru bareng kamu.”
“Gimana dong? Masa aku ninggalin kerjaan”
Aku menarik nafas panjang dan mencoba untuk tersenyum. “Baiklah, resiko aku punya pacar sibuk kayak kamu. Inget ya, kerja boleh, tapi jangan lupa makan sama istirahat. Kalo kamunya sakit akunya gimana?”
“Iya, aku makan sehari tiga kali dan tidur kurang lebih enam jam tiap malem. Nyonya bisa tenang kan sekarang?” lapornya membuatku tersenyum dan mengangguk. “Yaudah, tidur sana, udah malem. Besok nggak bisa bangun entar.” Perintahnya.
“Yes, sir.” Jawabku sambil melakukan hormat ala militer. “Besok pagi aku telepon. Met kerja, I love you.”
“Oke. Love you more, Sweety. Good night.”
Aku sedang mengecek barang-barangku agar tidak ada yang tertinggal saat bel rumahku berbunyi. Tanpa menebakpun aku tau itu pasti Lavin yang datang untuk menjemputku, melihat waktu sudah menunjukkan jam sembilan.
“Masuk aja Vin, pintunya nggak aku kunci.” Seruku dari dalam. Tidak lama kemudian Lavin pun masuk bersama dengan Kenzie.
“Halo kak Seira.” Sapanya.
“Eh, halo Kenzie. Kamu ngikut toh?” jawabku kaget, tidak mengira anak lelaki itu ikut datang.
“Iya Ra. Dia sendirian di rumah, Mami lagi kondangan, pacarnya lagi pergi sama keluarganya, jadi aku ajak. Gapapa kan?” jelas Lavin.
“Ya gapapa lah, udah makan belum Zie? Tuh masih ada nasi goreng di meja makan.”
“Udah kok Kak, tapi kalo dikasih lagi ya nggak nolak, nasi goreng buatan kak Seira enak soalnya. Hehehe.”
“Dasar, yaudah sana makan. Piringnya ada di laci nomor dua ya.” Mendengar itu Kenzie langsung pergi untuk menyerbu nasi goreng di meja makan.
“Dasar anak itu. Bikin malu aja, udah kayak di rumah nggak di kasih makan.” Sungut sang kakak sambil menggelengkan kepala. “Gimana? Udah siap semua? Ada yang perlu ku bantu?” lanjutnya padaku.
“Harusnya sih udah. Paling tinggal bawa keluar aja.”
Kami pun bersama-sama mengeluarkan barang-barang yang akan kubawa ke ruang tamu. Yak, satu koper besar dan satu kardus berukuran sedang siap memenuhi bagasi pesawat. Sembari menunggu Kenzie selesai makan, aku pun membereskan sisa nasi goreng yang ada dan menjadikannya seperti nasi kepal agar mudah untuk dibawa sebagai bekal untuk kumakan saat transit di Jakarta nanti.
“Ra, udah siap? Berangkat sekarang yuk! Entar ketinggalan pesawat yang ada.” Ajak Lavin menghampiriku ke meja makan.
“Kenzie udah kelar makannya? Apa mau bawa?”
“Udah kok Kak.”
“Yaudah yuk.”
“Zie, bantu bawa barang!” seru Lavin pada adiknya yang langsung dituruti tanpa membantah.
Di perjalanan ke bandara, kami pun membicarakan banyak hal dari mulai gosip sampai dengan pengalaman pribadi.
“Terus kamu tau nggak…” ucapan Lavin terpotong suara Fur Elise dari handphone-ku. Aku pun mencari benda itu di satchel bag yang aku gunakan. Ah… ternyata tertutup dompetku. Aku pun melihat siapa yang menelepon, ternyata mamaku. Sebelum mengangkat telepon aku menggumamkan maaf pada Lavin.
“Halo Ma, kenapa?” sapaku.
“Gapapa, cuma mau nanya, kamu sampe sini jam berapa?” tanya Mamaku
“Jam dua kalo nggak delay. Nggak usah dijemput. Aku naik taksi aja.”
“Sayang duitnya. Dijemput aja biar sekalian bisa langsung keluar makan juga.”
“Yaudah, mau makan dimana? Nanti ketemuan aja di tempat makan. Ngga usah jemput, bandara jauh dari rumah, capek nanti.”
“Kamu maunya makan apa?”
“Nasi bakar!”
“Oke, ketemu disana ya. Kamu hati-hati dijalan ya!” ucapnya seraya memutuskan sambungan telepon. Dan saat melihat sekitar, ternyata aku sudah berada di areal bandara.
“Oh, udah nyampe? Maaf ya, kepotong deh obrolannya.” Ucapku merasa bersalah.
“Gapapa Ra, kita bisa lanjutin di telepon. Nyampe Jakarta telepon aku ya.” Pesannya yang kusambut dengan anggukan. Lavin dan Kenzie membantuku memindahkan tas-tasku dari bagasi mobil ke trolly barang yang ada di bandara. Setelah berpamitan dengan Lavin serta Kenzie, aku pun masuk untuk check-in dan menunggu keberangkatan pesawatku.
***
Bandara Internasional Soekarno-Hatta terlihat ramai hari ini. Mungkin karena akhir tahun, jadi banyak yang ingin berlibur. Walau mengambil kelas bisnis, areal lounge tetap penuh. Aku pun mencari tempat duduk untukku menunggu penerbangan selanjutnya. Ahh… itu ada tempat kosong di sebelah ibu yang sedang menggendong anaknya.
“Permisi, apa kursinya kosong?” tanyaku dengan senyum sopan.
“O iya.” Jawab ibu itu sambil tersenyum.
“Terima kasih.” Ucapku membalas senyumnya. Aku pun menjatuhkan pantatku ke sofa tersebut. Tiba-tiba aku teringat pesan Lavin, aku pun langsung mencari handphone-ku dan menghidupkannya. Tidak butuh waktu lama, aku pun langsung men-dial nomor Lavin.
“Halo… “ ucapnya riang di seberang telepon.
“Lapor komandan, aku udah sampai di Jakarta.” Candaku sambil tertawa.
“Bagus…” jawabnya mengikutiku tertawa. Kami pun melanjutkan obrolan kami di mobil tadi. Setelah kurang lebih satu jam kami berbicara di telepon, kami pun memutuskan sambungan telepon. Tidak ada semenit dari aku menutup telepon, aku menerima notifikasi dari akun Instagram-ku. Siapa yang mengikutiku? Batinku, karena tidak mungkin yang lainnya. Aku sudah lebih dari tiga bulan tidak mengunggah foto apapun. Aku pun membuka aplikasiku dan merasa tidak percaya. Ini… dia?
***
Aku sedang menyesap minumanku sambil menatap keluar kafe. Hari ini aku berjanji menemui salah satu sahabat lamaku. Sambil menunggu, ingatan akan kejadian di bandara dua hari yang lalu kembali memenuhi kepalaku. Apakah benar itu dia? Apa tujuannya? Kenapa sekarang? Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di dalam benakku. Tidak hanya kejadian di bandara, namun kenangan-kenangan lama pun silih berganti memenuhi kepalaku. Masih terbayang bagaimana senangnya kami waktu itu, apa saja yang sering kami lakukan. Lamunanku terhenti saat tangan mungil menyentuh tanganku.
“Halo, aunty Rara…” sapa gadis cilik itu. Melihatnya senyumku pun berkembang. Tanpa menunggu lama, langsung kuangkat gadis kecil itu ke pangkuanku.
“Hallo, my sunshine. Do you miss me?”
“Kangen banget. Aku bawa hadiah buat aunty.” Ucapnya sambil memberiku kotak kecil berwarna pink berpitakan putih.
“Wah… apa ini? Aunty buka ya?” tanyaku sambil membuka kotak itu. “Jepit rambut? Cantik sekali, ini buat aunty?”
“Iya, kembaran sama aku.” Katanya sambil menunjuk rambutnya yang mengenakan jepit rambut yang sama.
“Ahh… makasih ya, aunty pake nii.” Ucapku sembari menjepit rambutku dengan jepit rambut pemberiannya. “Cantik ngga?” tanyaku pada manusia mungil itu.
“Aunty Rara cantik banget.” Jawabnya yang membuatku gemas tidak menahan untuk memencet hidung kecilnya.
“Mommy sama Daddy mana? Kok kamu sendirian?” lanjutku menanyakan orangtuanya. Belum sempat gadis cilik itu menjawab, terdengar suara wanita memanggil namanya.
“Corallie! Mommy nyariin, maen kabur aja. Laen kali nggak boleh ya, kalo kamu ilang gimana?” omel wanita itu.
“Carlene Odelia!” sapaku riang sambil memeluknya. “Miss you so much. Udah nggak usah di marahin, kan dia nyamperin gua.”
“Lo kelewat manjain dia Ra. Makanya nempel mulu tuh sama lo.”
“Biarin ya Cora.” Jawabku memandang Cora sambil tersenyum. “Eh, tapi lo gendutan deh kayaknya.” Komentarku membuatnya mendekati telingaku dan membisikkan sesuatu yang membuatku tersenyum lebar.
“Beneran? Asik! Cora mau punya adek ya?”
“Iya!” jawab gadis kecil itu riang.
“Iya, Cora udah mau punya adek, aunty kapan kasih Cora adek juga?” sindir Carlene yang tak ku gubris.
Akhirnya kami pun bertukar cerita selama setahun belakangan ini, sementara Cora bermain di area bermain anak-anak yang ada di kafe ini. Selalu menyenangkan bertemu dengan sahabat lama yang mengerti keadaanmu. Carlene Odelia adalah salah satu sahabatku dari SMA. Berbeda dengan Nana maupun Floren yang kukenal saat kelas tiga, kami bertemu saat Masa Orientasi Sekolah dan menghabiskan tiga tahun di meja yang sama. Dan entah mengapa dari semua teman baruku saat itu, hanya dialah yang mengerti aku.
Masih kuingat saat dia tanpa sebab memberiku sebuah kalung beserta liontinnya, saat dia menghiburku saat sedih, dan saat dia membelikanku makanan tanpa sepengetahuanku karena dia tidak mau aku kelaparan karena dia tahu saat itu uang mingguanku habis. Dia mengerti aku lebih dari orangtua maupun adik-adikku. Dia tahu kapan aku perlu sendiri, kapan aku perlu ditemani, kapan aku perlu tertawa dan kapan aku perlu menangis. Terkadang aku merasa dia lebih mengerti diriku dibanding diriku sendiri.
“O iya, Barron apa kabar? Dia nggak ikut balik tahun ini?”
“Nggak, dia lagi tugas di Amrik selama dua bulan, awal taon depan baru balik Indo. Edsel juga nggak keliatan. Dia nggak ikut?” tanyaku mengenai suaminya Edsel yang merupakan pacarnya dari SMA dulu.
“Nggak. Dia takut ketemu lo.” Jawabnya sambil tertawa.
“Kenapa takut?” tanyaku bingung. “Dia bikin lo kesel lagi? Bikin lo nangis? Ngapain lagi tuh bocah?” serbuku.
“Santai cuy. Gua cuman becanda. Dia kan kerja non, kalo nggak juga dia udah disini. Lo tau sendiri tuh anak nggak bisa biarin bininya pergi sendiri.” Mendengar jawaban Carlene membuat aku teringat akan kejadian empat tahun yang lalu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!