Seperti pembicaraanku semalam, sekarang aku sudah berada di Bandara Ahmad Yani. Dengan membawa bekal di tangan kananku, aku pun menghampiri Barron yang ada di depan ruang check-in bersama dengan tas laptop di tangannya. Seperti biasa, saat dia melihatku dia akan memelukku dan memberi kecupan di dahi.
“Aku bawain bekal,” ucapku mengacungkan tas bekal yang kubawa “nasi goreng spesial ala Seira.” Lanjutku sambil tersenyum.
“Ahh… betapa beruntungnya aku mempunyai pacar cantik, pinter masak, dan pengertian kayak kamu.” Ucapnya sambil memelukku lagi.
“Kamu harus bersyukur tiap hari.” Candaku.
“Hmm… jangan kangen aku ya…”
“Apa yang harus dikangenin?” candaku lagi. Aku memeluknya erat, mengambil nafas panjang untuk mengingat aromanya. “Celaka, belum juga kamu pergi aku sudah kangen.” Aku menghela nafas dan memundurkan kepalaku kebelakang agar dapat melihat wajahnya tanpa melepaskan pelukanku. “Harus banget kamu dua bulan disana?” tanyaku.
“Aku usahain lebih cepat ya…” jawabnya sambil merapikan anak-anak rambutku yang tertiup angin.
Dengan enggan hati akupun melepas pelukanku dan melihatnya memasuki ruang check-in. Entah mengapa aku merasa sulit sekali melihat kepergiannya kali ini. Mungkin karena biasanya tidak pernah di akhir tahun dan tidak lebih dari dua minggu.
***
Akhir tahun pun tiba, aku sedang mengemasi barang-barangku, tidak banyak karena sudah kukemas dari kemarin. Ya, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku akan berlibur dengan pulang ke rumah orang tuaku, menghabiskan sisa cutiku yang tersisa. Memikirkannya saja aku sudah senang setengah mati. Ku sangat rindu dengan suasana rumah yang ramai tidak seperti saat ini hanya sendiri di bangunan yang disebut “rumah”. Lamunanku hancur saat kudengar bel rumahku berbunyi.
“Lavin? Ada apa?” sapaku setelah membukakan pintu dan sembari menyilahkannya masuk.
“Hanya ingin membantu. Apa semua sudah di kemas?” tanyanya seraya duduk di ruang tamu sembari menghidupkan televisi.
“Hampir semua, tinggal oleh-oleh aja.” Jawabku dari dapur menyuguhkan minuman untuknya. “Mau oleh-oleh apa?” lanjutku.
“Aku mau keripik pisang! O iya, Mami titip kopi.”
“Oke, nggak masalah. Sekarang ayo cerita, kenapa kemari?”
“Gapapa, cuma mau main. Ngga boleh aku main kesini?” Elaknya. Aku hanya terdiam dan melihatnya dengan tatapan penuh curiga. “Oke, fine, aku ngaku. Aku lagi bete! Mami pergi arisan, Kenzie pacaran dengan pacar barunya dan Adolfo…” dia menghela nafas, “tidak ada kabar sedari pagi.” Lanjutnya dengan wajah masam.
“Oke, mau kemana kita?” tanyaku sambil menuju kamar untuk mengganti pakaian. Lavin adalah seorang gadis yang mudah ditebak. Asal kau mengenalnya dengan baik, kau bisa tahu apa yang ada dipikirannya.
“Seira, kamu emang yang terbaik.” Serunya mengejarku dan memelukku dari belakang. “Gimana kalo kita pergi shopping lalu makan. Aku dengar ada kafe baru.”
“Oke, tunggu sebentar.”
Selesainya aku mengganti baju, kami pun pergi ke salah satu mall di Semarang dengan mobil Lavin karena aku sedang malas berkendara. Ternyata kota Semarang sedang dilanda kemacetan yang luar biasa. Tidak tau ada apa hari ini, jarak yang biasanya bisa ditempuh dalam waktu 15 menit menjadi tiga kali lebih lama. Mungkin karena hari ini akhir pekan atau mungkin manusia-manusia Ibu Kota sudah datang untuk berlibur mengingat anak sekolah sudah libur dari minggu lalu.
“Astaga, tau gini mending diem aja dirumah deh tadi.” Sungut Lavin sesampainya kita di Paragon Mall.
"Udah lah, toh udah nyampe. It’s shopping time.” Hiburku.
Ya, seperti biasanya, Lavin tidak akan berhenti belanja jika tangannya masih mampu membawa tas belanjaannya. Terkadang aku salut dengan diriku sendiri, kenapa tidak kapok menemani ratu belanja ini. Kami memasuki hampir semua kios yang ada. Hasilnya, lima baju, dua sepatu, tiga jam tangan dan satu tas, dan itu semua belanjaan Lavin. Aku hanya membeli lima jam tangan untukku dan keluarga. Rasanya akan menyenangkan memakai jam tangan yang sama saat berpergian.
Setelah merasa capek, kami pun meninggalkan mall tersebut dan beranjak ke salah satu kafe yang direkomendasikan oleh Lavin. Tak perlu waktu lama, karena ternyata kafe ini sangat dekat dari Mall, kami pun sampai. Penampilan luar kafe itu terlihat nyaman dengan warna salem yang mendominasi. Namun, dalamnya lebih nyaman lagi, dengan tema cokelat. Berbeda dengan kafe pada umumnya yang menyediakan live music, tempat ini bikin betah saat kamu hanya ingin bersantai, menenangkan pikiran ataupun menghilangkan penat dengan secangkir kopi dan ditemani musik yang mengalun dengan damainya.
Kami pun menempati kursi didekat dinding kaca yang menghadap jalan. Pelayanannya cukup baik. Aku memesan Vanila Latte hangat dengan beberapa snack ringan untuk dimakan bersama, sedangkan Lavin memesan Caffe Macchiato dan sepiring Spaghetti Carbonara. Mungkin berbelanja membuat tenaganya habis. Sembari menunggu pesanan, aku pun memperhatikan sekitar. Banyak sekali anak remaja disini, mungkin anak SMA, ada yang datang bersama pasangan ada pula dengan teman-temannya. Melihat itu membuatku tersenyum sendiri.
"Hey, kok senyum-senyum sendiri Ra? Kesambet?”
“Enak aja! Lagi mengenang masa lalu yang menyenangkan. Lihat empat anak-anak yang duduk dipojok sana?” tanyaku sembari menunjuk kelompok yang aku maksud. “Mereka mengingatkanku dengan kenangan lucu semasa SMA dulu. Kalau aja waktu bisa diputar ulang.” Ucapku sembari melihat ke luar dinding kaca. Terlihat titik-titik air hujan yang sedang mengguyur kota Semarang. Alangkah baiknya kalau Barron ada disini.
“Permisi, satu Vanila Latte, satu Caffe Macchiato, satu Spagheti Carbonara, satu French Fries, dan satu Churros. Apakah pesanan sudah datang semua?” lamunanku dibuyarkan oleh pelayan yang membawa pesanan.
“Sudah.” Jawab Lavin.
“Ada lagi yang bisa saya bantu?” tawar sang pelayan.
“Tidak, terimakasih.” Jawabku seraya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Aku mengambil Latte-ku dan menyesapnya perlahan. Manis dari susunya terasa pas dilidahku. Bisa kubilang ini merupakan salah satu Latte terbaik yang pernah kuminum. Tetiba aku teringat Barron tidak bisa mengantarku ke bandara besok.
“Oh iya Vin, besok kamu ada acara nggak? Bisa minta tolong anterin aku ke bandara?”
“Yee.. sementang Barron ke Amrik kamu minta anterinnya sama aku.” Ledek Lavin mendengar permintaanku. “But luckily aku nggak ada acara besok. Jam berapa besok pesawatnya?”
“Jam sebelas, ya jam sembilan aja kamu jemput ke rumah. By the way, makasih loh.”
***
Jam menunjukkan pukul 10 malam, dan aku gelisah tidak bisa tidur. Menunggu telepon yang harusnya sudah datang sejam yang lalu. Aku mengecek handphone-ku lagi, masih layar kosong yang kudapati. Ahh sudahlah, memangnya aku pikirkan batinku sambil membanting diriku ke kasur dan menyelimuti tubuhku dengan selimut. Sekitar 15 menit kemudian handphone-ku berdering. Dengan cepat aku meraih dan mengangkatnya. Terlihat wajah Barron di layar handphone-ku.
“Maaf, aku kesiangan. Nunggu lama ya?” ucap Barron penuh sesal. Melihat wajah lelahnya aku tak tega untuk memarahi atau bahkan merajuk.
“That’s ok, babe.”
“Besok kamu pulang ya? Hati-hati dijalan. Salam buat mama, papa dan adik-adik kamu, bilang maaf ngga bisa ikut pulang.”
“Iya, entar aku sampein. Kamu kapan pulang? I miss you.”
“Yah, babe baru juga sebulan aku pergi. But I miss you too.”
“Aku kan pengen ngerayain tahun baru bareng kamu.”
“Gimana dong? Masa aku ninggalin kerjaan”
Aku menarik nafas panjang dan mencoba untuk tersenyum. “Baiklah, resiko aku punya pacar sibuk kayak kamu. Inget ya, kerja boleh, tapi jangan lupa makan sama istirahat. Kalo kamunya sakit akunya gimana?”
“Iya, aku makan sehari tiga kali dan tidur kurang lebih enam jam tiap malem. Nyonya bisa tenang kan sekarang?” lapornya membuatku tersenyum dan mengangguk. “Yaudah, tidur sana, udah malem. Besok nggak bisa bangun entar.” Perintahnya.
“Yes, sir.” Jawabku sambil melakukan hormat ala militer. “Besok pagi aku telepon. Met kerja, I love you.”
“Oke. Love you more, Sweety. Good night.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments