“Lia, mumpung Dama lagi di rumah, kita kumpul yuk, sudah lama kita tidak bertemu. Apalagi semenjak anak-anak SMA, kita yang dulunya sering bertemu jadi terpisah. Lama juga kita tidak ngobrol,” pinta Bu Sarah.
Bu Lia seperti sependapat dengan saran Bu Sarah. Ia juga rindu ingin melihat Dama yang sekarang. Namun, beda halnya dengan Aluna yang seperti tidak ingin bertemu dengan Dama, teman semasa SMP nya yang sering dijodoh-jodohkan dengannya hanya karena fisik mereka berdua yang selalu menjadi bahan candaan teman-teman lainnya.
Selesai acara resepsi, mereka sempat mengobrol sedikit untuk sekedar update kehidupan dan memutuskan untuk kembali bertemu nanti sore di rumah Aluna. Sekaligus ingin menjenguk ayah Aluna yang beberapa bulan ini sedang dalam kondisi kesehatan yang kurang baik. Bu Lia dan Bu Sarah begitu antusias dengan pertemuan ini.
Hingga ketika sampai di rumahnya, Bu Sarah begitu bersemangat bercerita pada Dama tentang pertemuannya dengan Aluna dan ibunya. Ia juga meminta Dama untuk ikut bertemu mereka nanti sore. Sedikit membujuk, karena Dama tak bersemangat ketika mendengar nama Aluna, si bocah gembul zaman SMP.
“Kamu tau, Aluna cantik sekarang, lucu lagi karena dia tembem. Dia juga tidak segendut dulu saat kalian masih sekolah,” ujar Bu Sarah memberitahukan keadaan Aluna saat ini.
Bagi Dama, bayangannya terhadap Aluna masih sama, si gembul.
###
Ketika membuka pintu, Bu Lia terpesona melihat ketampanan dan kegagahan Dama. Teman SMP Aluna yang dulunya terkenal kurus, dekil dan hitam. Kulit tubuh Dama bahkan terlihat bersih dan cerah, badannya juga ideal. Dama benar-benar berbeda.
“Ayo ayo silakan masuk. Wah, kamu semakin dewasa semakin tampan ya, Dam. Masih ingat Ibu?” tanya Bu Lia memastikan Dama masih mengingat dirinya juga Aluna.
Dama mengangguk tersenyum dan mencium tangan Bu Lia.
Saat mereka sudah berada di ruang tamu, Aluna menghampiri mereka bertiga dengan mimik muka yang tak bersemangat.
Ketika ia sudah mendekat ke sofa, matanya tertuju dan terhenti pada Dama. Begitu pun dengan Dama yang tak berkedip sedetik pun saat berpandangan dengan Aluna. Di mata Dama, gadis di hadapannya itu adalah gadis cantik nan imut. Badannya tak terlihat gemuk, hanya saja pipinya masih terlihat tembem. Dama juga sepintas merasa familiar dengan wajahnya karena seperti sering melihatnya.
Seakan ragu apakah gadis yang dilihatnya benar Aluna, Dama dengan percaya diri berceletuk. “Kak Kana ya?”
Raut muka Aluna berubah menjadi kesal. Bu Lia dan Bu Sarah justru tertawa dengan celetukan Dama. Ibu Aluna itu segera meminta Aluna untuk duduk di sampingnya dan memperkenalkan Aluna pada Dama.
“Si Kana sudah menikah, Dam. Ikut suaminya ke Bali sekarang. Kalau yang ini, Aluna, temanmu dulu. Dia beda ya, Dam sekarang,” ucap Bu Lia penuh senyuman.
Aluna masih sama dengan mimik muka kesalnya pada Dama. Ia teringat akan ejekan Dama saat mereka 1 sekolah dahulu. Dama sering mengejek Aluna tak secantik kakaknya, Kana. Ia terlihat seperti anak pungut karena Kana terlahir menjadi perempuan manis, putih, tinggi, cantik, dan langsing. Berbeda dengan Aluna yang gemuk dan kulitnya yang sedikit sawo matang.
Melihat ekspresi Aluna yang kesal, Bu Sarah buru-buru meminta maaf pada Aluna atas celetukan Dama. “Biasa, Lun, Dama selalu suka bercanda. Dari dulu begitu ‘kan. Mungkin Dama terpesona melihat kamu yang begitu cantik sekarang, jadi dia tidak menyangka kalau itu kamu.”
“Iya, Bu. Heran aja kenapa dia masih sama menjengkelkannya,” ujar Aluna dengan ekspresi menggemaskan.
"Maaf, Lundut, aku hampir tidak mengenalimu sekarang,", ujar Dama semakin mengejek Aluna.
Seisi ruangan pun tertawa melihat Aluna yang tampak semakin kesal.
Bu Lia pun menyudahi tertawa mereka. Ia kemudian memberitahu Dama bahwa Aluna baru saja bekerja di Jakarta selama 3 bulan ini. Aluna memang sengaja pulang karena ingin menemani ibunya ke acara resepsi tadi siang, juga ingin melihat keadaan ayahnya.
“Oh iya, nanti sebelum pulang aku lihat Mas Hadi, ya. Aku baru tahu kalau beliau sakit. Sampai Kana menikah saja, aku baru tahu sekarang,” sahut Bu Sarah.
Bu Lia tersenyum mendengar niat baik Bu Sarah yang ingin menjenguk suaminya, yang juga membawakan buah.
“Ibumu tadi bilang kalau kamu juga kerja di Jakarta. Tahu gitu, Ibu bisa menitipkan Aluna sama kamu, Dam. Ibu tidak tega anak gadis merantau di ibu kota, sendirian pula,” curhat Bu Lia.
Bu Sarah seakan setuju dengan curhatan Bu Lia, ia kemudian menanyakan kantor tempat Aluna bekerja, juga kosnya di sana, setidaknya, agar Dama juga bisa diandalkan ketika Aluna membutuhkan bantuan.
“Di PT Merald Foods, Bu Sarah,” jawab Aluna singkat.
Dama yang sedang minum pun tersedak mendengar jawaban Aluna. Bagaimana tidak, Dama juga bekerja di sana dan tahun ini adalah tahun ke 7 ia bekerja di perusahaan itu. Bu Sarah yang juga menyadari hal ini pun, mengatakan bahwa Dama juga bekerja di sana sudah lama, dan meminta mereka bisa berangkat bersama nanti.
“Apa kalian tidak pernah bertemu di kantor?” sahut Bu Lia.
Dama kembali mengingat perempuan yang pernah dilihatnya itu saat di kantor, yang ternyata adalah Aluna, begitu pun dengan Aluna yang familiar ketika berpapasan dengan Dama, namun tak berani menyapa apalagi memanggil. Mereka benar-benar tak mengenali satu sama lain, meski terasa sangat familiar. Mereka juga tak pernah bertemu dalam 1 meja meski berada dalam 1 divisi dan ruangan yang sama. Hal itu karena Dama dan Aluna berada di 2 tim yang berbeda. Dama yang merupakan ketua tim riset pasar, sedangkan Aluna masuk ke dalam tim pengembangan produk.
“Kalau begitu kenapa tidak menikah saja, ‘kan mereka sudah saling kenal, secara umur juga sudah seharusnya. Biar ibunya Aluna juga tenang karena kamu bisa menjaga Aluna di sana. Dama juga sudah ada rumah kok meski tidak besar dan masih nyicil, jadi biar Aluna juga aman tidak perlu ngekos,” celoteh Bu Sarah membuat Dama kembali tersedak.
Bu Lia juga mengungkapkan keinginannya agar Aluna segera menikah, karena usia anak perempuannya itu yang hampir mencapai 30 tahun. Usia yang sudah dianggap matang, apalagi bagi seorang perempuan. Agar ayah Aluna yang tidak sesehat dahulu, masih sempat menjadi wali nikahnya.
"Sarah, tahu tidak? Sebelum kita bertemu hari ini, beberapa hari lalu aku sempat teringat Dama dan ingin dia bisa dekat dengan Aluna. Eh tahunya semesta mempertemukan kita," sahut Bu Lia.
Bu Sarah sumringah seakan mendukung pernyataan Bu Lia. Mereka semakin yakin bahwa memang bisa saja Dama dan Aluna berjodoh. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, termasuk pertemuan mereka.
Aluna memandangi ibunya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia juga ingin segera menikah seperti teman-temannya yang lain, tanpa perlu melalui proses pacaran yang baginya terasa melelahkan. Namun di sisi lain, kenapa harus Dama, orang yang dahulu saling membenci dengannya. Meskipun sekarang, Dama cukup tampan untuknya.
Dama yang juga ingin segera menikah agar bisa segera mengajukan pencairan tunjangan masa tuanya, seakan mendapat jawaban dari masalahnya. Apalagi, jika dengan Aluna, ia tak perlu melakukan pacaran, artinya, ia bisa segera menyeleseikan hutangnya. Sebenarnya, Aluna adalah sosok yang baik dan lembut juga pandai di kelas, hanya saja memang dulu mereka saling menghindar bahkan membenci karena tak ingin dijodoh-jodohkan oleh teman-teman mereka. Tetapi, semua itu seolah berubah ketika melihat perubahan Aluna sekarang karena menurutnya, Aluna tak terlalu buruk untuk menjadi istrinya.
“Dama setuju!”
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments