"Tidak mau. Aku akan menceraikan Sisi jadi Mama tidak perlu mengenalkan dia pada klien atau siapapun itu."
Plak
Rosita menampar pipi Dewa hingga ujung bibirnya berdarah.
"Ma," Denis menghadang keduanya.
"Jaga ucapanmu sebagai seorang pria. Jangan bercanda mengatakan cerai apapun yang terjadi!" Seru Rosita. Matanya tajam memandang Dewangga yang tak melihatnya sama sekali. "Dewangga. Mama tidak mendidikmu untuk tidak patuh seperti ini. Lakukan saja perintah mama dan papa. Sisi juga gadis baik, papanya sudah banyak membantu perusahaan kita, jadi-"
"Jadi aku harus menikah dengan putrinya untuk balas budi? Ini pernikahan paksa Ma, sejak awal pernikahan ini sudah tidak sah meskipun aku berucap di depan penghulu. Ini tidak sah!"
"Kau dulu menerima pernikahan ini tanpa kami memaksa. Lalu kenapa sekarang kau mengatakan seperti ini?" Rosita sangat kecewa dengan apa yang diungkapkan oleh putra sulungnya itu.
"Tanpa memaksa bagaimana, mama dan papa sudah menjodohkan aku dan Sisi tanpa aku tahu. Aku sudah putus asa saat itu dan akhirnya menerima perjodohan ini!"
"Wa, jangan berteriak pada mama," Denis masih mencoba untuk menengahi agar kakak dan mamanya tidak bertengkar.
"Sudah terlanjur Dewa. Papa sudah sangat ingin mengenalkan menantunya ke publik. Lebih cepat mereka tahu kau sudah menikah itu lebih baik. Kau mau mengecewakan papa? jangan lakukan itu, mama mohon kepadamu, Dewangga."
Dewa masih tak bergeming.
"Pikirkan baik-baik. Ini demi kebaikan kita semua." Lalu Rosita berbalik dan meninggalkan ruangan Dewangga.
Masih sulit menerima semua ini, Dewa hanya bisa terduduk di pojokan mejanya dengan pikiran kalut, bingung, dan stres bercampur menjadi satu.
"Wa, apa kau akan mengecewakan papa dan mama? Tolong pikirkan sekali lagi dengan kepala dingin. Jangan dengan keegoisanmu saat ini."
"Aku hanya mengutarakan apa yang aku rasakan. Dan kau sebut aku egois? Lalu papa dan mama tidak egois begitu?"
"Wa, plis, tenangkan dirimu. Biar pekerjaan aku yang urus, pergilah dan pikirkan baik-baik keputusanmu itu. Besok kau juga harus mempersiapkan Sisi di depan klien papa. Tolong, jangan kecewakan papa, okay!"
Denis menepuk bahu Dewa beberapa kali dan meninggalkan kakaknya itu sendirian.
**
Suaminya pulang dengan wajah murung, baju berantakan membuat Sisi segera menghampiri.
"Apa Anda baik-baik saja?" katanya seraya mengambil tas kerja yang Dewa taruh di lantai.
Langkah kaki Dewa lunglai menaiki tangga, tidak memperdulikan pertanyaan dari Sisi. Sementara Sisi setia mengikutinya dari belakang.
Sampai mereka di kamar utama, Sisi mengambil jas yang dibuang oleh Dewa di lantai.
"Akan saya buatkan minuman hangat untuk Anda. Saya antar sekalian makanannya kemari, jadi Anda tidak perlu turun lagi ke dapur untuk makan."
Tak ada jawaban, Sisi tetap menjalankan apa yang dia katakan tadi.
Dewa merebahkan tubuhnya di kasur dan mulai memejamkan mata. Pikirannya tidak bisa tenang, ingin tidurpun sulit.
Hingga Sisi kembali dengan membawa nampan, ia hanya membolak-balikkan tubuhnya mencari kenyamanan di atas kasur.
"Mumpung masih hangat, silakan dimakan. Saya akan siapkan air hangat di bak mandi, setelah makan Anda bisa-"
"Cukup!"
Sisi terkejut dengan teriakan Dewa.
"Keluar dari kamarku sekarang juga!"
Sisi hanya menunduk, lalu perlahan keluar menutup pintu kamar Dewa.
Saat ia berjalan perlahan ke lantai bawah, bi Rumi melambai pada Sisi dengan memegang gagang telepon.
"Iya, Bi?"
"Nyonya Rosita menelpon. Bicaralah padanya!"
"Oh," Sisi mengambil alih gagang telepon tersebut.
Ia dengan seksama mendengarkan apa yang dikatakan ibu mertuanya itu dan sesekali menjawab ya atau tidak. Selesai berbincang ia menutup telepon rumah itu.
"Inikah yang membuat mas Dewa marah dan kelihatan bingung?" Ia menggigit sebagian bibir bawahnya, mencari cara supaya ia bisa meredam kemarahan Dewa.
Malam pun tiba, Sisi menyiapkan air panas dalam sebuah botol lalu membawanya ke kamar. Ia kemudian kembali ke dapur dan menemui bi Rumi yang sudah bersiap untuk pulang.
"Bi, katakan pada mas Dewa kalau saya sedang lelah. Jadi saya istirahat di kamar."
Bi Rumi meletakkan punggung tangannya di dahi Sisi. "Panas, kau terkena demam. Bibi ambilkan obat ya."
"Saya hanya lelah di kaki karena seharian menyibukkan diri di rumah ini, Bi. Tapi tidak sungguh demam. Ini hanya air panas yang saya tempelkan di dahi!"
"Yaampun, aku kira kau sakit. Kenapa harus menempelkan air panas di dahi. Kakimu kan yang lelah?!"
Sisi tertawa kecil. "Tidak apa-apa. Gantian, nanti di kompres di kaki nanti di dahi. Katakan saja pada mas Dewa. Biar nanti mas Dewa menjenguk saya di kamar."
Saat mengatakan itu Sisi nampak malu sendiri. Wajahnya memerah ketika bi Rumi memandanginya setengah meledek.
"Okay okay, mainkan peranmu dengan baik. Bibi akan atur agar Dewa menjengukmu di kamar."
Sisi tersenyum lembut.
**
Sisi berbaring di kasurnya ketika pintu kamarnya di buka oleh seseorang.
Dan tentu saja orang itu adalah Dewa, karena bi Rumi sudah pulang satu jam yang lalu.
"Ada apa denganmu?" tanya Dewa.
Sisi membuka matanya dan berkata, "Hanya lelah."
Dewa memegang dahi Sisi dengan punggung tangannya. "Syukurlah kau demam."
'Syukurlah katanya?' Sisi mengerang di dalam hatinya.
"Biasanya demam sedikit seperti ini akan sembuh dengan sendirinya tanpa minum obat. Istirahat saja, aku harap besok kau masih agak hangat, tidak demam seperti ini."
Dewa menaikkan selimut Sisi hingga menutupi tubuh.
"Jangan khawatir, aku akan menemanimu di sini. Santai saja."
Betapa kesal Sisi saat ini mendengar ucapan Dewa yang secara tak langsung senang jika dirinya sakit. Tapi, ia juga senang karena ulahnya ini Dewa jadi bisa memiliki alasan untuk membatalkan pertemuan Sisi dengan teman papanya besok.
**
"Sisi sedang demam, dia tidak mungkin menemui para teman papa besok." Ucap Dewa di telepon pada mamanya.
"Tidak, kenapa aku harus bohong. Mama kesini saja dan membuktikan sendiri kalau aku tidak bohong." Katanya seraya tersenyum puas. "Iya iya, aku akan menjaganya."
Lalu Dewa mematikan sambungan teleponnya dengan Rosita. Ia melihat Sisi yang sedang tidur pulas.
"Tetaplah sakit sementara ini, asal jangan terlalu parah agar aku tidak kerepotan." Ucapnya.
Sisi bisa melihat raut wajah Dewa yang kembali cerah, seakan beban berat yang ada di bahunya menghilang.
'Walau aku harus pura-pura sakit, tapi aku bisa membantumu mas Dewa.' Ujar Sisi di dalam hatinya.
Dering telepon terdengar ketika Sisi baru saja memejamkan mata. Ia tak jadi tidur dan sedikit membuka mata ketika ia melihat Dewa mengangkat telepon dari seseorang di seberang sana.
"Maaf, Sayang. Aku ketiduran barusan."
Mata Sisi membulat mendengar Dewa memanggil orang di seberang sana dengan sebutan sayang.
"Iya, ada banyak pekerjaan yang harus aku urus, jadi, mungkin lusa kita akan bertemu. Bagaimana?"
Dewa nampak tersenyum sembari mendengarkan ucapan seseorang yang tak Sisi ketahui siapa itu.
"Di tempat biasa. Aku sudah sangat rindu padamu."
Tanpa Sisi sadari, air matanya meleleh membasahi pipinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
🌼⃝⭕Tunik
Sabar
2023-11-17
0