Sesuai perkiraan Yusuf, Jum'at pagi ini tepatnya saat jam istirahat pertama, namaku dan nama Yusuf dipanggil secara bergantian melalui pengeras suara oleh guru BK. Puluhan pasang mata tertuju padaku yang melangkah ke arah ruang BK. Di tempat yang berbeda terdengar suara gaduh mengolok Yusuf.
"Silakan masuk, kalian berdua duduk." Terdengar suara guru BK dari dalam ruangan seakan mengetahui kehadiran kami. Aku saling pandang dengan Yusuf untuk sama-sama menguatkan.
"Tolong ceritakan sejujurnya pada ibu perihal hujan kemarin sore, nak. Silakan siapa yang mau berbicara duluan...." Kata ibu guru BK yang kemudian kuketahui namanya adalah ibu Rahma. Wajahnya orient khas wanita sunda, sorot matanya tajam dan tegas, namun senyuman di bibirnya sangat ramah sehingga begitu kontras antara tatapan dan senyumannya itu. Ibu Rahma sebenarnya tengah hamil tua, mungkin usia kandungannya sudah mendekati waktu melahirkan jika dilihat dari bentuk perut yang cukup membesar meskipun diimbangi dengan pemakaian tunik yang longgar.
"Izinkan saya memberikan penjelasan, bu." Kata Yusuf berinisiatif memulai pembelaan.
"Ya, silakan."
"Kemarin diadakan briefing soal camp serah terima jabatan organisasi inti eskul pramuka di ruang OSIS. Tepat saat briefing selesai, hujan turun. Kami berteduh di pos satpam, bu."
"Dari ruang OSIS pindah ke pos satpam briefingnya?"
"Bukan, bu. Briefing sudah selesai, saat hujan turun lalu kami berteduh di pos satpam."
"Hanya berdua?"
"Iya, hanya berdua."
"Posisi pos satpam kan kalau dari dalam sini tuh berarti berada di luar gerbang sekolah ya, nak. Jarak dari lorong akses masuk utama yang memiliki atap ke pos satpam sepertinya cukup untuk membuat pakaian kalian basah kuyup ya?"
"Itu...."
"Hujannya deras, lebat? Campur petir dan angin?"
"Izinkan saya ikut memberikan keterangan, bu." Kataku mengalihkan fokus bu Rahma.
"Boleh, silakan...."
"Saya adalah saudara kak Yusuf, bu. Orang tua kami sepupuan. Kebetulan karena ada briefing jadi saya memutuskan untuk pulang bersama. Selesai briefing hujan mulai turun, kami berada di mushola saat itu. Kak Yusuf shalat ashar dan saya menunggunya di luar karena kebetulan sedang haid. Selesai shalat rencananya kami akan ke parkiran, namun hujan turun dengan deras jadi kami putuskan untuk berteduh di pos satpam."
"Ke parkirannya masih rencana berarti, nak? Posisi masih di mushola jika begitu ya?"
"Tidak, sudah di jalan menuju parkiran."
"Oke, sudah berjalan menuju parkiran lalu kalian berdua diguyur hujan deras."
"Iya, bu."
"Kalian masih saudara?"
"Iya bu, saudara...."
"Yakin??"
"Beneran bu. Saya memang memanggil kak Yusuf itu kakak. Orang tua kak Yusuf adalah uwa."
"Uwa dari pihak mana, nak? Ayah atau ibu??"
"Ibbuu... Iya, ibu."
"Siapa nama orang tuanya kakakmu, nak? Yang masih memiliki pertalian darah dengan ibumu?"
"Hhhmmm.... Aannnuuu.... Namanya...."
"Sulastri, bu. Ibu saya yang bersaudara dengan ayahnya Kandita." Potong Yusuf dengan segera. Dia jelas paham kesulitanku menjawab pertanyaan bu Rahma karena kami memang belum mengenal lebih dalam satu sama lain. Yusuf memang tahu ayahku, hanya sebatas itu saja, tidak lebih.
"Loh, loh.... Kok yang menjawab kamu, nak? Barusan Kandita mengatakan yang memiliki hubungan darah dengan orang tuamu adalah ibunya, mengapa sekarang jadi berubah menjadi ayahnya Kandita yang memiliki hubungan darah dengan ibumu??"
"Aaanuuu bu...."
"Kandita, sudah berapa lama kamu menyukai Yusuf??"
"Hhhaaahhhh??"
"Jujur saja."
"Tidak pernah, bu."
"Yakin??"
"Iya bu."
"Yusuf itu seperti apa sih pribadinya menurutmu, Kandita?"
"Dia nyebelin bu. Eh...."
"Jika Yusuf nyebelin, mengapa kamu memegang tangannya waktu di pos satpam?"
"Saya takut gelap, bu. Listrik padam tiba-tiba saat kami berada di pos satpam, kak Yusuf memberi solusi untuk memegang tangannya agar tidak takut."
"Benar itu, Yusuf??"
"Benar, bu."
"Kalian ini bersaudara tapi terlihat kurang akur ya?"
"Kandita susah nurut sih, bu. Anaknya egois."
"Eh, kok jadi ngejudge aku gitu kak??"
"Ya kamu emang egois, neng!"
"Diiihhhh...."
"Hahaha.... Sudah, sudah. Apa sih yang kalian takutkan dari saya saat ini?"
"Tttiiidak ada, bu...."
"Iiyyya bu, sama. Tidak ada."
"Berapa lama kalian saling mengenal?"
"Kemarin sore itu, bu."
"Oh jadi kemarin sore itu Kandita baru mengenal Yusuf??"
"Eh, tidak bu. Neng gimana sih, kita itu saudara mana mungkin baru kemarin kamu mengenalku? Tuh kan kamu mah egois."
"Eh, iya.... Lama sih bu, tapi baru kemarin sore sedikit akrab. Hehehe...."
"Lama.... Sejak bayi? Anak-anak? Atau kapan??"
"Sejaaaakkk.... Ya anak-anak, bu. Kak Yusuf sering silaturahmi bersama orang tuanya ke rumah saya, dan dia memang nyebelin hingga sekarang."
"Oh begitu, orang tuanya kakakmu ini siapa nak namanya??"
"Hhhahhh.... Aannuuu.... Uwa Sulastri...."
"Lalu ayahnya kakakmu??"
"Ayahnyaaa...."
"Namanya...."
"Nak Yusuf dimohon diam ya, kita sedang mencoba mencocokkan data."
"Annnnuu.... Buuu...."
"Siapa nak??"
"Tohir. Iya uwa Tohir."
"Kamu memang suka lupa ya, nak? Di data sekolah kita itu nama orang tua dari Yusuf Ainoor Azis kelas dua belas IPA adalah ibu bernama Sulastri dan ayahnya bernama Tarmidzi. Sedikit mirip sih, Tohir. Tapi nak, Tohir dan Tarmidzi kan jauh sekali ya perbedaannya. Jadi bagaimana dong??"
"Maaf bu, kami telah berbohong." Kak Yusuf menyerahkan diri. Detak jantungku semakin kencang. Beberapa bulir keringat dingin dari kening kini meleleh ke pipi.
"Oke.... Lalu?"
"Kami tidak berpacaran, bu. Di antara kami berdua tidak ada hubungan khusus yang lebih dari sekedar berteman. Orang tua kami mungkin kenal dan akrab, namun kami tidak seperti mereka. Kami tidak saling mengenal satu sama lain. Kemarin saya hanya ingin memberikan bantuan kepada Kandita, saya mendengar teriakan Kandita dari arah pos satpam tepat saat listrik padam. Jujur saja saat itu posisi saya berada di dalam mushola. Kami terpisah ruangan."
"Oke, lanjut...."
"Saya berlari menembus derasnya hujan menuju pos satpam, lalu...."
"Lalu??"
"Saya refleks memeluk Kandita yang dalam kondisi ketakutan. Bapak dulu pernah cerita jika beliau memiliki teman bisnis yang sangat baik. Teman bisnisnya bapak itu memiliki seorang anak perempuan yang fobia terhadap kegelapan."
"Siapa teman bisnis bapakmu, nak?"
"Pak Erman, ayahnya Kandita."
"Oke, silakan dilanjutkan...."
"Kandita berteriak semakin kencang saat mengetahui saya memeluknya. Lalu saya bekap sebentar mulutnya agar tidak menjadi fitnah lebih jauh lagi. Karena saya tahu ada pak satpam di ruangan guru saat itu. Untuk menenangkan Kandita, saya menawarkan tangan saya sebagai genggamannya."
"Boleh ibu lihat lengannya, nak?"
"Silakan...."
"Waduh, lebam begini? Erat sekali ya genggamannya?"
"Benar, bu."
"Baiklah, ibu telah mendapat titik terang sekarang. Tolong jangan ulangi hal seperti itu ya, persepsi setiap orang berbeda-beda dalam menyikapi keadaan orang lain. Pak satpam dengan fakta temuannya dan kalian dengan berbagai penjelasannya. Sekarang silakan kembali ke kelas masing-masing, anggap saja pertemuan kita adalah media silaturahmi antara guru dengan siswa ataupun adik kelas dengan kakak kelas. Mohon maaf ya jika ibu mengganggu waktu istirahat kalian."
"Terima kasih, bu."
"Ya, sama-sama. Silakan kembali mengikuti kegiatan belajar seperti biasanya."
Aku dan Yusuf keluar dari ruang BK dengan perasaan lega. Jika diingat kembali, alangkah lucunya diri kami barusan. Meyakinkan guru BK dengan berbagai upaya dan kebohongan, namun dapat terbebas hanya dengan kalimat penjelasan yang jujur sesuai keadaan kami kemarin sore. Di sekolahku memang merekrut guru BK yang berasal dari latar belakang keahlian psikologi, sehingga berbagai kenakalan siswa maupun info burung seperti yang menimpa nasib kami tidak serta merta langsung mendapat hukuman.
"Tangan kakak lebam? Coba kulihat." Sergapku seraya mencari luka itu. Yusuf hendak menepis aksiku namun kalah cepat.
"Ya ampuuunnn.... Aku ambilkan obat ya kak."
"Tidak perlu, besok juga sudah sembuh."
"Mana bisa...."
"Bisa. Udah sana ke kelas, jangan SKSD!"
"Diiiihhhh...."
"Eh iya, lukaku bisa bahaya loh neng. Elusin bentar atuh...."
"Hhhaahhh??"
"Nurut atuh, neng. Ada Bayuuu...." Gumamnya memberi isyarat. Aku segera paham, kuelus dan kutiup-tiup halus luka lebam di lengan Yusuf itu.
"Oh iya, maaf ya kak.... Duh, cup, cup, cupp...."
"Kamu kenapa, bro??" Tanya Bayu menghampiri kami.
"Tangan kak Yusuf terluka, karena ulahku." Jawabku singkat dan ketus.
"Oh jadi barusan dipanggil karena ini? Duel??"
"Iya."
"Lagian kamu ini kok bisa-bisanya sih bro kalah sama anak perempuan. Hahahahaa...."
"Karena aku mencintai kak Yusuf...."
"Hhhhaaahhh??" Mulut Bayu menganga lebar, sedangkan Yusuf menyembunyikan senyuman tipisnya.
"Kak Yusuf menolakku, itulah akibatnya!!"
"Hhhaahhhh???" Kali ini mulut Yusuf yang menganga lebar. Mulut mereka berdua kini sama-sama menganga lebar karena perasaan kaget yang spontan.
"Salah sendiri, rasain tuh lengan sakit!"
Aku segera berlalu meninggalkan mereka berdua yang masih mematung dengan ekspresi ternaif. Senyuman geli tersungging di ujung bibirku. Langkahku memasuki ruangan kelas tepat saat bel tanda masuk berbunyi.
Hari ini Jum'at, cuaca cerah secerah-cerahnya. Please no rain ya....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments