Di suatu senja yang di selimuti gerimis, seorang wanita paruhbaya dengan jaket tebal turun dari sebuah mobil minibus sembari menggandeng tangan gadis kecil di sampingnya. Dia melihat kearah plang putih yang berdiri tegak di depan sebuah bangunan berlantai dua itu. Yayasan Panti Asuhan Setia Bunda, tempat itulah yang menjadi tujuan wanita tersebut. Tanpa ragu, dia pun mulai bergegas melangkah agar gerimis tak membuat mereka kuyup.
Sesampainya di depan teras bangunan panti asuhan, wanita itu duduk berlutut di hadapan gadis kecil yang menatapnya dengan bingung.
"Tunggu sebentar disini ya, nanti aku akan menjemputmu," ucap wanita itu lirih.
Gadis berusia lima tahun dengan jaket berwarna pink itu mengangguk pelan sambil tersenyum. Tanpa pertanyaan dan bantahan. Dia bahkan melambaikan tangan pada wanita yang kini mulai melangkah meninggalkannya, seakan yakin bahwa wanita itu akan benar menepati omongannya.
30 menit berselang ...
Bunda Ratna—pengurus panti asuhan— terkejut ketika keluar dan mendapati seorang gadis kecil sedang duduk tenang di bangku teras sembari bersenandung. Perlahan, wanita berjilbab itu pun menghampiri gadis kecil yang belum pernah dijumpainya itu.
"Hai, kamu siapa?" tanya Bunda Ratna ramah.
"Saya Defanka," jawab gadis itu sopan dan tanpa rasa takut.
"Defanka? Apa yang kamu lakukan sendirian disini?" tanya Bunda Ratna lagi, kini ia duduk di sebelahnya.
"Ibu sedang pergi sebentar, katanya aku harus menunggu di sini sampai ibu datang," jelas Defanka, sorot mata yang polos itu seakan menghujam jantung Bunda Ratna hingga wanita itu pun memeluk tubuh kurus gadis tersebut.
Sungguh kasihan. Memang bukan yang pertama, kasus orangtua yang meninggalkan anaknya di panti asuhan dengan beribu alasan klise yang sebenarnya hanya untuk menutupi ego mereka. Namun, tetap saja Bunda Ratna masih merasa miris. Sambil mengusap punggung gadis kecil itu, Bunda Ratna berbisik, "Mari menunggu di dalam, banyak teman yang akan menemanimu disana."
Gadis itu mengangguk, lantas turun dari bangku dan menggandeng tangan Bunda Ratna erat.
Riuh suara gaduh anak-anak yang sedang bermain tiba-tiba menjadi senyap ketika menyadari kedatangan Bunda Ratna, mata mereka pun terfokus kearah gadis kecil yang berada di samping wanita pengurus panti itu.
"Dia siapa, Bunda?" tanya seorang gadis berusia enam tahun dengan rambut bob, menunjuk kearah gadis kecil yang berdiri mematung.
Melihat itu, Bunda Ratna tersenyum dan duduk berlutut agar tingginya sejajar dengan gadis kecil yang di bawanya.
"Kenalkan, namanya Defanka. Dia teman baru kalian," jelas Bunda Ratna.
Para bocah yang berjumlah sembilan orang itu diam dan saling tatap, seakan enggan menerima gadis itu datang.
"Aku gak suka dia," ujar seorang anak laki-laki berusia delapan tahun sembari berkacak pinggang.
"Arben, tidak boleh seperti itu. Ayo semuanya berkenalan," sahut Bunda Ratna menengahi.
Mereka pun menurut dan membuat barisan teratur untuk memperkenalkan diri kepada Defanka, calon penghuni baru.
"Aku Arben, dan aku gak suka padamu jadi jangan berteman denganku."
Dari perkenalan yang tak biasa itu, Arben lalu berubah menjadi orang yang paling dekat dan menjaga Defanka. Hingga tak terasa keduanya beranjak dewasa.
"Nioo, cepatlah!!" seru Defanka sembari berkacak pinggang, seragam putih abu-abu yang sudah di coret di berbagai sisinya itu menunjukkan bahwa pesta kelulusan sudah dimulai.
Mendengar itu, Arben buru-buru memasukkan sebuah benda kecil yang sejak tadi di genggamnya ke dalam saku celana dan lekas menghampiri Defanka yang mulai memanyunkan bibir.
"Kita mau kemana?" tanya Arben setelah tangannya di tarik paksa oleh Defanka sambil berlari.
"Kau tidak tahu, anak pemilik sekolah katanya mengundang Band terkenal hari ini," sahut Defanka sambil tetap berlari, rambut hitam panjangnya yang bergelombang tampak berayun indah di terpa semilir angin.
Akhirnya kaki mereka pun terhenti di depan sebuah lapangan basket. Sebuah panggung pentas berukuran sedang itu tampak telah di kelilingi oleh para siswa. Alunan musik dari berbagai instrumen pun terdengar nyaring berpadu dengan lantunan suara vokalis band yang merdu.
Defanka menarik tangan Arben kembali dan berusaha memecah kerumunan agar mendapat tempat paling depan. Pemuda bertubuh tinggi gempal itu hanya bisa pasrah di seret kesana-kemari oleh gadis mungil tersebut.
Sebuah lagu mulai di nyanyikan kembali oleh sang vokalis band, lagu yang sedang populer itu bercerita tentang seorang pria yang menjadi pengagum rahasia. Semua yang datang tampak bernyayi dan bersorak bersama. Tak terkecuali Defanka, lagu itu juga merupakan favoritnya dan hampir setiap hari dia putar di handpone tanpa bosan.
Diam-diam, Arben melirik kearah Defanka yang sedang ikut bernyanyi. Mengamati wajah cantik gadis itu yang kini tampak bersinar karena rona kebahagiaan tengah terpancar darinya. Namun, dia segera memalingkan pandangan kearah lain saat jantungnya tiba-tiba berdetak sangat cepat. Arben menghela napas, berusaha menenangkan irama jantung yang kini sama kerasnya dengan gebukan drum dari band yang sedang tampil. Ya, mungkin ini adalah saat yang tepat dengan nuansa yang pas. Arben sudah memutuskan akan mengutarakan perasaannya pada Defanka.
Peluh kini mulai turun di dahi Arben yang tertutup beberapa helaian rambut, degup jantungnya pun makin kencang saat tangan pemuda itu hendak meraih jemari gadis di sampingnya. Dengan helaan nafas panjang, Arben pun menggenggam tangan Defanka yang sedang asyik menonton idolanya.
"Hm, ada apa?" tanya Defanka saat menyadari pemuda di samping tiba-tiba menggenggam tangannya.
"A—aku ..." Belum selesai berbicara, vokalis Band itu tiba-tiba menghentikan lagu dan mencari penonton untuk naik ke panggung. Pria itu langsung menatap kearah Defanka, lalu memintanya untuk naik keatas panggung.
Suara penonton pun makin riuh bersorak, Defanka yang tak percaya bahwa dirinya yang terpilih sontak melepaskan tangan Arben dan segera berlari menuju tangga panggung.
Diatas panggung, Defanka pun di beri mic dan mulai bernyayi bersama dengan vokalis band idolanya. Tiba-tiba di bait lagu yang harus di nyanyikan sang vocalist, suara pun berubah. Semua penonton menatap bingung dan bertanya-tanya suara siapa gerangan. Mata mereka langsung terbelalak saat sosok pemuda dengan baju yang sama seperti mereka naik ke atas panggung sembari menyanyikan lagu dan membawa sebuah buket mawar yang besar. Defanka pun tak luput dari rasa terkejut, melihat pemuda tampan dengan tahi lalat kecil di bawah mata itu kini berjalan kearahnya.
Musik lalu di hentikan dan hening mulai menyelimuti area lapangan yang ramai itu.
"Defanka, aku tahu ini terlalu cepat. Tapi aku tak mau menunggu terlalu lama. Maukah kamu menjadi calon istriku?" ucap pemuda itu sembari menyodorkan buket mawar kepada gadis pujaannya.
Para penonton pun terkesiap, sebuah lamaran sedang berlangsung di depan mata mereka. Yang paling menghebohkan adalah pemuda tersebut merupakan anak pemilik yayasan sekolah, Aryaksa Lerandy. Pemuda populer yang memiliki segalanya. Mereka pun bersorak sorai agar Defanka menerima lamaran tersebut karena gadis cantik itu juga merupakan primadona di sekolah dan sangat cocok jika bersanding dengan Aksa.
Defanka masih bergeming, dia tak menyangka pemuda itu akan melamarnya tepat di acara kelulusan. Mereka memang dekat. Namun, Aksa tak pernah terlihat tertarik maupun ingin menjalin hubungan dengannya. Degup jantungnya terdengar memburu, menjadi pacar seorang Aryaksa Lerandy saja sudah menjadi kebanggan tinggi bagi para gadis. Apalagi pemuda itu kini malah melamarnya. Defanka langsung mengangguk cepat dengan pipi yang merona hingga membuat penonton bersorak.
Aksa pun spontan memeluk tubuh gadis itu di depan para penonton yang makin histeris. Sementara Arben, pria tersebut diam mematung seakan tak percaya apa yang telah di lihatnya. Dia terlambat sedikit—tidak, sangat terlambat. Perlahan jarinya melepas sesuatu yang sejak tadi digenggam. Sebuah cincin emas putih dengan permata kecil itu kini menggelinding entah kemana.
Foto semasa SMA : Defanka (tengah), Arben (kanan), Aksa (kiri).
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments