3.

"Bagaimana dengan calon istrimu, bukankah hari ini kau menemuinya?" tanya pria berambut ikal itu kepada Arben. Dia menarik sebuah kursi kecil dan duduk di samping ranjang.

"Calon istri apanya, dia itu hanya bocah ingusan yang dititipkan padaku," jawab Arben sambil menguap, tubuhnya yang kekar menggeliat di atas kasur berukuran besar tersebut.

Pria bernama Theo itu lantas bangkit, tangannya meraih paksa bantal yang sejak tadi mengganjal kepala Arben hingga membuat pria tersebut mengeluarkan kata umpatan.

"Kau bisa kualat! Itu wasiat terakhir Aksa, bagaimana bisa kau menganggap remeh permintaan terakhir orang yang telah tiada!" seru Theo dengan nada kesal.

Arben menghembuskan napas berat, lalu duduk bersila diatas kasur sembari mengacak rambutnya.

"Kau pikir masalah ini segampang itu? Gadis itu baru berusia 18 tahun, dan aku pria dewasa berusia 38 tahun. Apa yang akan dipikirkan orang-orang nanti terhadapku?"

Theo tersenyum miring menanggapi ocehan Arben yang baginya tak masuk akal. Arben bahkan tak pernah memusingkan image-nya yang dicap orang sebagai seorang ketua mafia. Lebih parahnya lagi dia bahkan beberapa kali pernah di selidiki polisi karena di duga sebagai gembong narkoba hanya karena penampilan luarnya yang awur-awuran dan wajahnya yang tampak mengintimidasi. Tapi kini Arben malah memusingkan omongan remeh orang yang akan bergunjing tentang dia yang menikahi gadis belia.

"Kenapa kau diam?" Arben menatap bingung kearah Theo, karena biasanya pria itu akan terus mengoceh serta menghujaninya dengan seribu pertanyaan yang lain.

Raut wajah Theo perlahan murung, tangan pria itu lantas menopang dagu sembari melirik kearah Arben yang kebingungan dengan reaksinya.

"Bagaimana kabar gadis itu? Sejak mendengar kabar Aksa meninggal dalam kecelakaan, aku bahkan tak bisa menemukannya di acara pemakaman. Apakah dia hidup dengan baik? Betapa malangnya dia, usianya masih terlalu muda untuk menghadapi kejadian se-tragis itu." Theo mendadak melankolis, seraya mengingat kembali sosok gadis kecil anak teman SMA-nya itu.

"Kau benar, pasti berat baginya. Akan lebih mudah jika dia yatim piatu sejak bayi."

****

Bella mengunci diri di kamar almarhum orangtuanya setelah Lavi dan putrinya menjajah rumah. Dia masih bingung dan linglung, berusaha mencerna peristiwa yang yang kini menimpanya. Bella pun sempat menelpon Dante, berusaha menanyakan kejelasan tentang apa yang terjadi. Namun, satu-satunya paman yang di milikinya itu seolah tak acuh dan hanya menyuruh Bella hidup rukun bersama mereka. Tentu saja bukan itu jawaban yang diinginkan Bella, tapi satu hal yang tampak sudah jelas kini. Pamannya itu hanya memanfaatkannya.

Dia mengingat kembali kapan terkhir bertemu dengan Dante. Itu adalah dua hari setelah pemakaman orangtuanya. Malam itu pamanya datang ke rumah sambil membawa seorang pria asing yang tak di kenalnya. Sambil membawa lembaran kertas di dalam map, Dante menyuruh Bella menandatangi kertas itu dengan dalih Galaksi Group tidak bisa dibiarkan tanpa penanggung jawab, sementara Bella masih berusia 18 tahun dan tak mengerti apapun tentang bisnis.

Bella yang sedang kalut tak bisa mencerna apapun yang diocehkan oleh Dante padanya, dia membaca sekilas selembar kertas yang menyatakan persetujuannya menunjuk Dante sebagai pemilik sementara dari Galaksi Group lalu membubuhkan tanda tangannya di atas materai tanpa banyak bertanya.

Dante yang melihat itu tentu sangat senang dan langsung memberikan janji-janji manis pada Bella yang membuat gadis itu sedikit tenang. Walaupun dia tak begitu dekat dengan Tante dan sepupunya. Namun, Bella sedikit menaruh kepercayaan kepada Dante karena dia kakak dari ayahnya.

Mengingat hal itu Bella merasa naif, dia tak menyangka bahwa kebodohan yang ia lakukan menyeretnya ke dalam masalah. Tak berdaya, tak punya kuasa. Kini Bella seperti tokoh seorang putri yang hidup layaknya bayang-bayang di istananya sendiri.

Gadis itu duduk sambil memeluk kedua lututnya dan membenamkan kepala disana, suara isak tangis pun terdengar mengalun lirih beradu dengan suara gemericik hujan di malam itu. Sangat berat, sedetik pun Bella tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi padanya. Perlahan mata letih Bella terpejam, dalam hati berharap tak perlu lagi membuka untuk keesokan harinya.

🍀🍀🍀

Suara lonceng keras menggema di seluruh penjuru rumah. Bella yang mendengar itu mengerjapkan mata, menatap kearah jam kecil di samping foto kedua orangtuanya. Jarum itu menunjukkan pukul tujuh pagi. Lonceng tersebut memang sudah ada di kediaman Bella sejak lama, benda itu selalu berbunyi tiap jam tujuh pagi dan enam petang sebagai pertanda awal dan akhir aktifitas.

Gadis itu lalu beringsut turun dari tempat tidur, melangkahkan kaki menuju kaca meja rias dan melihat dirinya yang tampak lusuh disana. Bella merasa enggan beraktifitas, apalagi kini di dalam rumahnya dia akan bertemu dengan ibu dan anak yang menyebalkan itu. Namun, Bella harus tetap pergi sekolah. Sekarang dia sudah kelas tiga dan tak bisa seenaknya membolos hanya karena suasana hatinya yang tak bagus. Dengan langkah malas, dia pun beranjak mengambil seragam yang telah di susunnya di lemari sang ibu dan bergegas ke kamar mandi.

Beberapa menit kemudian, Bella yang sudah berdandan rapi masih berdiri di balik pintu. Menghela napas berkali-kali untuk mengumpulkan tenaga yang lebih karena ia tahu hanya dengan berpapasan dengan tante dan sepupunya dapat mengurangi banyak energinya.

Dalam helaan nafas yang sudah kesekian kali, akhirnya Bella memutar kenop pintu kamarnya dan perlahan keluar. Kakinya berjalan perlahan agar tak menimbulkan bunyi karena sebisa mungkin dia benar-benar tak mau bertemu dengan mereka.

Setelah menuruni anak tangga dengan mulus, bola mata Bella mengedar. Suasana rumah begitu tenang dan hening seperti tak ada manusia yang beraktifitas. Sedikit penasaran, Bella mengarahkan kakinya berjalan ke arah belakang, tepatnya kearah ruang makan. Ruangan itu sudah kosong dan hanya tersisa Bik Ida—koki keluarga Bella yang masih di pekerjakan— yang terlihat mengangkut beberapa piring kotor dari meja.

"Mereka sudah pergi, Bik?" tanya Bella setengah berbisik.

Bik Ida yang baru menyadari kedatangan Bella terkejut dan nyaris melempar piring yang di pegangnya.

"Non ... Non Bella baik-baik saja? Saya akan segera siapkan sarapan," ucap Bik Ida dengan raut wajah khawatir, pasalnya nona mudanya itu sejak kemarin mengunci pintu di kamar dan tak menyentuh makan malam yang di letakkannya di luar.

"Tidak apa-apa Bik, aku nanti sarapan di sekolah saja. Tante sama Vanya sudah pergi semua?" Bella bertanya lagi sembari celingukan.

"Sudah Non, Nyonya Lavi sudah pergi sejak selesai makan dan Nona Vanya baru saja pergi, di jemput seseorang," jelas Bik Ida.

Mendengar itu, Bella menghembuskan napas lega. Agaknya tenaga yang dia simpan tak akan terbuang sia-sia pagi ini. Dia pun lantas beranjak pergi, menemui sopir yang sudah menunggunya.

15 menit berselang, mobil sedan putih milik Bella terparkir di depan gerbang SMA Bimasakti. Gadis itu pun bergegas turun setelah mengucapkan terimakasih kepada sopir yang mengantarnya.

Bella melangkah santai melewati gerbang dan menyusuri halaman sekolah. Anehnya, para siswa dan siswi yang biasa menyapanya kini diam tak acuh. Bukan hanya itu, beberapa siswi pun tampak saling berbisik ketika berpapasan dengannya.

Bella merasa ganjil, dia pun memutuskan menyapa seorang gadis yang dulu sempat dia selamatkan dari perundungan Vanya. Namun, gadis itu malah pergi dan mengabaikannya.

Bella kebingungan, seakan seisi sekolah kini mengabaikan dan mengucilkannya. Tapi apa salah Bella? Walaupun dia di kenal sebagai anak pemilik sekolah, Bella tak pernah membuat masalah maupun menuntut hak istimewa. Gadis itu malah mati-matian menjaga nama baik sekolah, contoh kecilnya adalah mencegah perundungan yang dilakukan oleh geng Vanya.

Belum sempat menemukan jawaban, tiba-tiba seseorang meraih pundaknya dari belakang.

"Fara, kamu ngagetin aja!" seru Bella sembari menoleh kearah Fara yang tampak mengatur nafas setelah berlarian.

"Bel, mana hp kamu, bawa sini cepat!" perintah Fara, matanya menatap khawatir kearah Bella yang tampak kebingungan.

"Buat apa sih?" tanya Bella lalu merogoh saku kemeja dan mengeluarkan ponselnya.

Fara langsung mengambil handpone itu dengan panik lantas memasukkannya ke dalam tas miliknya.

"Hay!"

Suara yang tak asing itu membuat kedua gadis tersebut menengok bersamaan kearah sumber suara.

Keduanya ternganga, menatap sosok dua orang yang berdiri di hadapan mereka. Terlebih Bella, gadis itu seakan dikutuk menjadi batu. Tak dapat bergerak maupun bergeser dari tempatnya.

"Kenalin, calon tunangan aku. Namanya Regen Danendra." Vanya menyeringai kearah Bella sambil mengeratkan pelukannya pada lengan pemuda bertubuh atletis itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!