Sebuah Tantangan

"Ayah yakin! Anak ayah bakal betah disini, belajar yang rajin ya nak biar jadi anak sholehah yang bisa doain ayah. Bikin ayah bangga sama kamu"

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Haris langsung pergi. Tak menoleh pada putrinya, dia harus tega meninggalkan putrinya. Karena ini untuk masa depannya, di dunia dan akhirat.

Sampai di depan pintu gerbang laki-laki itu baru menoleh ke belakang, jika dia tidak pergi sekarang bisa jadi Ratna terus menahannya agar tetap menginap disana, meskipun Haris senang, tapi dia juga takut kalau dirinya kembali membawa anaknya pulang bersama.

Sementara itu, air mata Ratna jatuh melihat mobil hitam milik ayahnya keluar dari gerbang. Rasa takut dan bingung menghampirinya dengan cepat. Bagaimana dia akan hidup dengan orang asing? Bagaimana jika dia tidak bisa mengikuti pelajaran dan peraturan di pondok? Dan masih banyak lagi bagaimana yang menumpuk di kepala Ratna.

Hati Ratna gelisah. Ingin dia menyerah saja tapi dia juga ingin memecahkan teka-teki dari mbok Nur. Tidak sabar rasanya mengetahui semua hal itu, tapi dia merasa ciut di kota orang tanpa satu pun orang yang dia kenal.

"Sudah nduk.. nanti juga kamu betah disini. Kalau butuh sesuatu bilang saja sama om dan tante. Ya kan bah?" Kalimat tersebut datang dari wanita muslimah yang cantik lagi halus perangainya. Dia adalah istri dari kyai Wahid.

Biasanya para santri memanggilnya bu nyai Nafis. Wanita itu tidak terlihat ketika Ratna menginap karena sedang membantu saudaranya yang ingin menikah, tapi tentu saja kyai Wahid sudah menceritakan tamu mereka pada sang istri, termasuk panggilan 'om' dari Ratna.

"Iya nduk.. wes ayo masuk sek ke rumah om. Ratna boleh nginep sampai Ratna siap masuk asrama" tawar kyai Wahid lalu mengajak 2 wanita beda generasi itu untuk masuk ke dalam.

"Inget ya nak, Ratna disini buat menuntut ilmu, meskipun kyai Wahid nggak keberatan kita nginep di rumahnya dan beliau itu teman ayah. Tapi Ratna harus tahu batasan. Karena beliau itu guru Ratna yang harus dihormati. Jadi jangan menyusahkan beliau ya nak"

Perkataan Haris terus terngiang di kepala Ratna, dan karena itulah Ratna menolak tawaran bu nyai Nafis untuk kembali menginap di rumahnya.

"Memang nduk Ratna ini sudah siap masuk ke asrama? Yakin nggak mau disini dulu? Om sama tante ndak keberatan kalo Ratna masih pengen disini" tawar bu nyai Nafis sedikit heran pada anak yang air matanya saja belum kering karena ditinggal ayahnya pulang, tapi sekarang dia ingin masuk asrama.

"Nggak tante, Ratna harus belajar. Harus dipaksa biar nggak ngecewain ayah" manis sekali Ratna menjawab, dan berakhirlah dia di ruang tamu, menunggu salah seorang ustadzah yang tadi dipanggil oleh bu nyai Nafis untuk menjemputnya.

"Nduk ayu, tante tinggal sebentar ndak papa kan?" Ucap bu nyai begitu lembut setelah menerima telpon cukup lama. Sebenarnya tidak enak meninggalkan Ratna, tapi urusannya benar-benar tidak bisa ditinggalkan. Untung saja orang yang akan menjemput Ratna mengatakan kalau tidak lama lagi akan sampai di rumah kyai Wahid.

"Iya tante, nggak papa kok" jawab Ratna enteng. Dia pasrah saja sebagai tamu, setelahnya bu nyai pun berlalu. Kebetulan sekali rumah dalam keadaan kosong. Kyai Wahid sendiri sedang mengisi pengajian di kampung sebelah, hanya ada beberapa khodam saja yang sliweran, sepertinya sedang beres-beres.

Sebelum rasa bosan menghampiri Ratna. sebuah salam terdengar dari luar, kemudian orang tersebut menampakkan sosoknya yang bersahaja. Dia adalah ustadzah yang dipanggil bu nyai.

Perempuan itu berdiri diambang pintu, tersenyum hangat kepada Ratna, senyum yang mencurahkan kasih sayang. Perempuan berhijab rapi nan panjang itu memiliki wajah yang ayu, Kecantikannya asli. Bahkan tanpa make up tipis yang dia gunakan sekarang pun, sudah cukup untuk mengundang pujian banyak orang.

Tak elok rasanya jika mendapatkan senyum seramah dan sehangat itu tidak kita balas. Begitu pun yang Ratna rasakan, dia lantas tersenyum begitu saja, padahal dia bukan termasuk orang yang ramah dan murah senyum.

"Kamu Ratna ya nduk?" Tanya perempuan yang belum Ratna tahu namanya itu, dia pun menghampiri Ratna yang masih terpukau senyum damainya, gadis itu hanya mengangguk.

"Perkenalkan. Saya Risa, tadi saya dipanggil bu nyai Nafis untuk menemani kamu" akhirnya Ratna tahu juga nama perempuan yang sangat dia yakini sebagai orang baik itu.

"Nduk Ratna kelas berapa?" Risa kembali berbicara karena Ratna hanya mengangguk dengan senyuman canggung ketika dirinya memperkenalkan diri.

"Kelas 3" jawab Ratna singkat, entah dia malas atau malu, mulutnya sekarang dalam mode irit.

"Kok pindahnya mepet nak?"

Setelah bertanya demikian, Risa merasa tidak enak pada gadis dari kota itu, takut Ratna akan berfikir kalau Risa beranggapan buruk terhadapnya. Karena kebanyakan anak yang dipindahkan di waktu yang terbilang sangat mepet itu bermasalah di sekolah sebelumnya.

"Ini permintaan ayah. Padahal Ratna udah bilang sebentar lagi kelulusan, tapi ayah tetep keukeuh pindahin Ratna kesini" tanpa diduga Ratna malah curhat pada risa.

"Owalaaahh..., jadi Ratna ndak mau masuk pesantren nih?" Tanya Risa lagi.

"Nggak mau, enak di jakarta" tukas Ratna cepat membuat Risa tersenyum geli.

"Emang di jakarta sana ada apa sih? Sampai-sampai Ratna ndak mau ninggalin?" Tanya Risa penasaran, dia sedang melakukan pendekatan pada calon muridnya ini. Karena sebenarnya Risa bukan hanya ustadzah di pondok, melainkan guru juga di sekolah. Dan kebetulan sekali mengampu siswa kelas 3.

"Banyak bu, yang pasti ada ayah, ada mbok Nur, temen-temen Ratna juga disana semua. Terus kalo suntuk di rumah bisa main ke mall. Lagian kan emang Ratna orang jakarta, jadi ya berat kalo ninggalin kota kelahiran sendiri"

Jawaban yang masuk akal dari seorang bocah bau kencur macam Ratna, dan sepertinya Risa juga setuju karena dia pun mengangguk ketika Ratna berucap.

"Terus nggak mau mondoknya gara-gara apa?" Lanjut Risa lagi, dia masih ingin mengetahui bagaimana pribadi bocah kota itu. Risa yakin bisa membuat anak cantik nan polos di depannya itu betah selama mengenyam pendidikan di pondok pesantren.

"Anak pondok itu kan kudet. Nggak ngerti fashion, terus jorok-jorok lagi. Makanya pada gatel-gatel yang pasti nanti bekasnya nggak ilang" cibir Ratna dengan nikmat, padahal di depannya adalah orang yang sudah mondok bertahun-tahun, dia juga tidak sadar sudah mencemooh tempat dia berpijak.

"Tahu dari mana anak pondok seperti itu?" Tanya Risa dengan senyum menyelidik dan menantang. Ratna hanya diam, memang dia sendiri belum pernah berinteraksi secara langsung dengan anak pondok dan belum tahu kehidupan asli di pondok. Sekarang dia bingung ingin menjawab apa.

"Ratna percaya ndak. Kalau 100% yang Ratna sebutkan tadi salah?" Risa hanya mendapatkan gelengan kepala dari Ratna, dia pun tersenyum dan melanjutkan ucapannya kembali.

"Kalo Ratna nggak percaya, buktikan saja sendiri!. Jika perkataan ibu salah, ibu berani poton lidah ibu sendiri"

Sontak Ratna melotot mendengar kata yang kelewat berani itu, Ratna jadi penasaran apakah persepsinya terhadap orang di pondok pesantren itu salah? Mengapa Risa percaya diri sekali menjadikan lidahnya sebagai taruhan. Seyakin itu kah?.

"Okee!!!" Dengan lantang Ratna menerima taruhan itu, toh dia juga tidak dirugikan apapun hasilnya nanti.

"Kalau gitu Ratna harus masuk asrama biar tahu fakta dan jawabannya" lanjut Risa lagi, dia tersenyum lega karena sudah berhasil mengajak Ratna yang mengangguk menandakan dia bersedia untuk masuk asrama.

Risa pun menelpon bu nyai Nafis untuk izin membawa Ratna ke asrama, mereka pun segera menuju bangunan 4 lantai berwarna hijau.

*******

“Alfi, Tolong ibu sebentar nak” pinta Risa ketika melihat salah satu muridnya, dia akan meminta tolong pada santrinya itu untuk mengantarkan Ratna ke kamar yang telah ditentukan, sementara dirinya akan mengurus hal lain dan menyusul nanti.

“nggih bu, enten nopo?” tanya santriwati itu dengan bahasa jawa yang terdengar kaku, dia berkata sambil menunduk ta’dzim.

“Tolong terno Ratna, arek anyar. Kamare iku fatimah 5, iso”? jelas Risa dengan sesekali melihat data-data. “Nggih bu, niku kamare kulo” jawab Alfi menyanggupi.

“Iyo wes, cocok ngunu. Ibu nitip Ratna yo fi, nanti tak nyusul”, pesan Risa lagi kemudian dia menoleh pada Ratna.

“Ratna sama Alfi dulu yah, dia satu kamar sama kamu, nanti ibu menyusul” setelahnya dia pergi meninggalkan dua anak gadis yang saling menatap, kemudian Alfi tersenyum dan berinisiatif mengulurkan tangan mengajak anak di depannya berkenalan.

“Jenengmu Ratna yo? Aku Alfi, ayo tak anter saiki. Kene sak kamar”. Ratna hanya terdiam mendengar kalimat itu, tapi tangannya terulur menerima ajakan Alfi untuk berkenalan.

“Eh, gue belum ngerti bahasa sini, lu bisa nggak pake indo dulu?” ucap Ratna jujur, membuat santriwati di depannya itu kaget dengan logat dan gaya bicara Ratna yang khas seperti para artis di televisi.

Meskipun sempat kaget, tapi santriwati itu kemudian tersenyum dan mengguk, dia tidak sadar ketika Risa menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara dengan Ratna, dan tidak ada yang bisa menyalahkannya karena tidak ada informasi yang lengkap selain anak baru itu bernama Ratna dan kamarnya kebetulan sama dengan dirinya.

“oh iya maaf. Namaku Alfi, kamu Ratna kan? Kita satu kamar, ayo aku antar sekarang” ulang Alfi menerjemahkan ucapannya tadi, kemudian mereka pun bergegas ke kamar fatimah 5.

Terpopuler

Comments

Felipa Bravo

Felipa Bravo

Terpikat

2023-11-03

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!