Berangkat

Sebenarnya berat sekali bagi Ratna untuk meninggalkan rumah, tapi dia harus tetap berangkat karena sudah mengiyakan permintaan ayahnya tersebut, dia juga sudah bertekad untuk mencari tahu sesuatu yang salah di antara kedua orang tuanya.

Ratna berangkat dengan Haris, mereka akan menggunakan mobil dalam perjalanan kali ini, alasannya adalah Haris ingin sedikit mengulur waktu agar lebih lama lagi bersama putrinya, dia juga mengajak dua sopirnya untuk bergantian mengantar mereka, jadi Haris bisa bercengkerama dengan Ratna.

Setelah hampir satu hari menempuh perjalanan, akhirnya mereka pun tiba di daerah yang dituju, yaitu di pondok pesantren ‘Al-mukmin‘ yang terletak di salah satu kota di jawa timur.

“Nak, bangun sayang. Sudah sampai”

Ucap Haris sambil menepuk lengan putrinya, untung saja Ratna bukan tipe orang yang mempunyai kebiasaan tidur seperti orang pingsan. Dia langsung terbangun dan mengerjapkan matanya, setelah itu dia mengamati tempat dia berada sekarang yang terlihat begitu asri karena banyak sekali pohon-pohon berbagai ukuran yang tertanam disana.

Hawa sejuk, yang sangat berbanding terbalik dengan ibu kota yang selalu bising dan panas, apalagi udaranya yang sudah bercampur dengan berbagai polusi menjadikan orang-orang di ibu kota menjadi cepat naik darah. Untuk beberapa saat Ratna menikmati pemandangan itu, apalagi setelah dia turun dari mobil, dia disambut dengan pasukan oksigen yang berebut masuk ke dalam indera penciumannya.

Ratna pun menghirupnya rakus, dia ingin menukar udara kota yang kotor di tubuhnya dengan udara yang baru saja keluar dari pabriknya yang menjulang tinggi dengan berbagai ukuran.

“udaranya segar kan nak? Ayah yakin kamu pasti betah disini”. Tutur Haris yang sedari tadi memperhatikan Rtana yang terlihat nyaman di tempat sejuk dan damai itu.

“Belum tahu juga yah, Rtana emang suka sama udara disini, tapi nggak tahu juga bakal suka dengan yang itu” ujar Rtana sambil menunjuk bangunan di depan mereka dengan dagu, membuat Haris menoleh dan memandang bangunan empat lantai berwarna hijau itu. Haris hanya menggeleng kemudian tersenyum, laki-laki itu sekarang merangkul Ratna dan menggiringnya untuk memasuki area pondok.

“Loh... kok malah kesini sih yah? Kita nggak masuk pondok?” tanya Ratna heran karena ayahnya malah membawanya ke arah lain, bukan ke ‘penjara suci’ itu. Tidak ada jawaban dari Haris, tapi setelah melihat sebuah rumah dan orang yang sepertinya sedang menunggu, membuat Ratna paham dan mencoba menebak kalau ayahnya akan mendaftarkannya terlebih dahulu, dan benar saja dugaan Ratna, saat melihat orang yang terlihat sedang menunggu itu tersenyum dan menyambut mereka dengan hangat.

“Assalamu’alaikum....” ucap Haris begitu semangat setelah memasuki pekarangan rumah tersebut.

“wa’alaikumsalam... Masya llah. Kangen rasane aku mas, piye kabare sampeyan? Wis suwi gak pernah sambang rene” (wa’alaikumsalam....masyaallah, kangen rasanya aku mas, gimana kabarnya? Sudah lama nggak pernah main kesini). Jawab laki-laki yang Ratna perkirakan tidak terlalu jauh dari usia ayahnya, dia juga memeluk Haris, menghilangkan rindu yang benar-benar besar.

“Alhamdulilllah baik pak kyai, pak kyai sendiri gimana? Kayaknya tambah sibuk ngurus pondok gede sendiri” timpal Haris sengaja menggoda teman sekaligus adik kelasnya ketika dia belajar di pondok itu, memang setelah meninggalnya kyai Rohman, gus Wahid sebagai anaknya pun mau tidak mau harus meneruskan tonggak kepemimpinan dari pondok yang sudah mempunyai ribuan santri tersebut.

“Halah mas... sampeyan iki jail banget, gak pantes wong koyok aku iki di celuk pak kyai. Ilmu ku urung cukup mas” (Halah mas... kamu ini jail banget, tidak pantas orang kayak aku ini di panggil pak kyai,. Ilmuku belum cukup). Jawab sang kyai merendah, padahal sudah jadi rahasia umum kalau beliau adalah anak kayi Rohman yang paling cerdas, alilm dan bertanggung jawab, sampai-sampai ayahnya berpesan langsung kepadanya agar mau meneruskan perjuangan ayahnya.

“kamu ini masih sama saja, merendah untuk meroket” ucapan Haris membuat keduanya kompak tertawa mengingat kebiasaan mereka dulu yang saling ejek. Sedangkan Ratna yang dari tadi melihat dan mendengar percakapan antara dua orang itu, dirundung bingung dan merasa dilupakan oleh ayahnya sendiri. Dia pun merasa kesal dan menarik-narik baju ayahnya yang seketika itu menoleh dan tersadar dengan putri kecilnya yang sudah cemberut.

“Aduh... ayah sampai lupa sama putri ayah yang cantik ini, maaf yah, ayah jadi lupa diri karena bertemu dengan teman ayah” ucap Haris sambil mengusap kepala Ratna, dia jadi lupa diri setelah bertemu dengan kyai Wahid, temannya sendiri.

“Ayo salim dulu sama kyai mu!” pinta Haris pada Ratna yang langsung menurut, kemudian dia diam lagi karena bingung harus bicara apa.

“ini loh anakku, yang aku bilang tadi mau masuk pondokmu gus” papar Haris sambil memeluk putrinya, dia memang sudah mengatakan pada kyai Wahid perihal Ratna sebelum mereka berangkat.

“Owalah.... ayune rek, pasti iki teko ibune yo?” (owalah.... cantiknya, pasti ini dari ibunya ya) ucapan kyai Wahid berhasil membuat senyum Haris menghilang, sedangkan Ratna, meskipun dia tidak paham semua perkataan kyai Wahid, tapi dia pahamkalau tadi orangtersebut mengungkit tentang ibunya, dia pun menoleh pada ayahnya untuk melihat reaksi dari ayahnya tersebut. Suasana pun menjadi canggung untuk beberapa saat, dan sepertinya kyai Wahid sadar kalau dirinya sudah salah berucap, kemudian beliau pun kembali bertanya pada Ratna untuk memecah keheningan yang tidak sengaja dia ciptakan.

“Memangnya kenapa nduk, kok mau masuk pondok pesantren?” kali ini kyai Wahid sengaja menggunakan bahasa indonesia, karena beliau yakin kalau Ratna tidak tahu arti dari perkataannya tadi saat berbicara dengan Haris.

“Nggak tahu om, Ratna Cuma dipaksa sama ayah” jawab Ratna polos menjawab apa adanya, dan jawaban itu berhasil membuat ayahnya dan kyai Wahid tertawa.

“Sayang. Panggilnya jangan om dong. Beliau kan guru kamu, jadi harus dipanggil pak kyai” tegur Haris lembut pada putrinya yang belum tahu adat istiadat yang berlaku di dunia pesantren. Ratna pun hanya mengangguk dan meminta maaf pada calon kyainya itu.

“gak popo lah mas, ben akrab aku karo anake sampeyan, de’ne kan dadi anakku pisan. Jenenge sopo iki anakku?” (nggak papa lah mas, biar aku akrab sama anakmu, dia kan jadi anakku juga. Namanya siapa ini anakku) kyai Wahid berkata sambil mengusap kepala Ratna yang terbungkus jilbab navy, terlihat sekali beliau sudah menyayangi Ratna, terlebih beliau yang sangat menginginkan seorang putri malah dikaruniai tiga orang putra.

“Ratna. Ratna Manikam”

Ucap Haris bangga sambil memandang ke arah Ratna dengan senyum hangat khasnya.

***

“Yah, bisa nggak sih ayah nginep disini dulu?” Ratna mulai merengek pada ayahnya, setelah mereka istirahat di rumah kyai Wahid. Memang tadi Ratna dan Haris diminta untuk melepaskan penat, Ratna menggunakan waktu itu untuk tidur di salah satu kamar yang sudah disediakan, sementara Haris bertukar cerita dengan kyai Wahid tentang hal yang mereka alami selama tidak bertemu, sampai hari menjadi malam.

“Loh... terus ayah tidur dimana? Masa ayah tidur di asrama putri?” Haris bingung dengan maksud putrinya itu, dia tahu kalau Ratna belum siap jika langsung di tinggal olehnya dan sebenarnya juga dia sendiri tidak tega untuk meninggalkan Ratna secepat itu.

“Ya disini dong yah. Ratna pengen tidur bareng ayah lagi sebelum tidur bareng orang lain. Lagian udah malem yah, kasian pak dadi sama pak aris. Masa ayah tega nyuruh orang tua nyetir malem-malem? Ratna yakin kok kalau pak kyai nggak akan nolak kalau ayah nginep disini. Sehari aja.” Tutur Ratna panjang lebar, dia terus membujuk ayahnya dengan berbagai alasan, bahkan membawa nama sopir ayahnya.

“Nggak lah, ayah sungkan sama gus Wahid. Kita kan kesini bukan untuk nginep”

Jawaban Haris membuat Ratna kecewa dan tertunduk lemas, dia begitu karena merasa takut tidak cocok di lingkungan yang baru dan dengan orang-orangnya juga, terlebih lagi dia belum paham dengan kebiasaan serta aturan pondok pesantren.

“Ratna cuma belum siap yah, Ratna takut nggak bisa adaptasi dengan orang-orang disini” Ratna akhirnya mengakui ketakutannya, kemudian dia merasakan seseorang mengusap kepalanya. Itu adalah kyai Wahid yang ternyata mendengar perbincangan diantara anak dan ayah itu.

“Ndak papa mas, sampeyan nginep sek nang kene. Kancani sek cah ayu iki. Sesuk wae sampeyan mulihe, pasti eseh kangen to?” (nggak papa mas, kamu nginep dulu disini, temani anak cantik ini. Besok saja pulangnya, pasti masih kangen kan?”) ucap kyai Wahid menengahi mereka, lelaki itu menatap Ratna yang terlihat bingung, juga menatap Haris yang sepertinya tertarik dengan tawarannya.

“nanti malah Ratna nggak bisa cepet adaptasi gimana gus?” tanya Haris yang terlihat sedikit ragu, tapi ucapannya membuat wajah anaknya tertekuk.

“ndak mas, aku jamin cah ayu iki bakal krasan sesuk” (nggak mas, aku yakin anak cantik ini bakal betah besok). Tutur kyai Wahid yang kini tersenyum teduh pada Ratna, dari ucapannya juga gadis itu tahu kalau Kyai Wahid tengah membantunya membujuk sang ayah.

“ya sudahlah.. aku nurut saja dawuhe pak Kyai” Haris akhirnya pasrah, tapi dalam hatinya dia merasa senang karena masih bisa menghabiskan waktu lebih lama lagi bersama putrinya.

“halaaahh mas. Aku yo paham, sampeyan wegah muleh saiki. Iya to?” (halaaahh mas. Aku juga paham, kamu belum pengen pulang sekarang. Iya kan?). Ternyata kyai Wahid mencium gelagat itu dan Haris pun tidak bisa menyangkalnya karena memang benar sekali apa yang dikatakan oleh temannya itu. Tawa mereka pun pecah, sementara Ratna menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena tidak tahu akhir percakapan tadi.

Ratna akhirnya paham maksud dari percakapan sang ayah dan kyai Wahid. Sebelumnya kyai Wahid meminta salah satu abdinya untuk menyiapkan 2 kamar, untuk rombongan dari jakarta tersebut. Senang sekali Ratna malam itu, dia merasa harus berterima kasih pada kyai Wahid.

Kebetulan sekali saat Ratna menunggu Haris mengambil barang dari mobil, kyai Wahid melintas di depannya. Refleks Ratna pun memanggilnya “Om.. eh maksudnya pak kyai” , Ratna menggigit bibirnya sendiri karena salah memanggil kyai Wahid dengan sebutan ‘om’. Kyai pun menoleh lantas tersenyum melihat ekspresi Ratna yang terlihat menyesal karena salah panggil tadi.

Ratna pun bangkit dari duduknya, dia mengikis jaraknya dengan tuan rumah. “ehehe.. maaf ya pak kyai” ucapnya kemudian sambil cengengesan.

“iya nduk.. ndak papa” (iya nak. Nggak papa). Jawab kyai Wahid begitu bersahaja. “ada apa nduk? Butuh sesuatu?” Ratna cepat menggeleng mendengar pertanyaan itu.

“nggak om. Eh.. “ gadis itu memukul mulutnya sendiri dengan gemas.

“ndak papa.. panggil om saja” kyai Wahid berkata dengan senyuman di bibirnya, merasa terhibur dengan tingkah gadis kota itu.

“hehehe... tapi kata ayah nggak sopan om” entah Ratna polos atau bodoh, dia malah membuat penawaran dengan calon gurunya itu.

“ya sudah. Ini rahasia diantara kita saja” kyai Wahid berkata dengan meletakkan tangannya di samping mulutnya, seperti sedang berbisik dan tentu saja dengan senang hati Ratna menyetujuinya.

"Oh iya om, makasih ya udah izinin Ratna nginep disini sama ayah" Ucap Ratna menuntaskan niatnya yang ingin berterima kasih.

"Iya nduk.. tapi Ratna janji ya sama om, harus belajar dan beradaptasi di pondok" ucap Kyai Wahid dengan senyum hangat, tapi entah kenapa Ratna merasa kalau orang didepannya sedang mengintimidasinya. Ratna sampai diam membeku saat sang Kyai pamit dan berlalu dari hadapannya. Benar juga, dia tidak bisa terus menerus membuat ayahnya menginap disana kan. Jadi bersiaplah Ratna untuk pengalaman baru.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!