melihat pulau langit

Rumah Budi, Jam 23.45

Rencana tiba-tiba kami terjalan juga. Rasa risau dan cemas beradu di pikiranku. Bagaimana tidak, aku sekarang tegak sejajar bersama ketiga temanku didepan pintu rumah Budi, menunggu bapaknya tuk keluar.

sehabis dari rumah nek aci tadi aku balik ke rumah. tapi mogok bicara dan memeram diri di kamar, Kuharap ibu berubah pikiran melihat anak bujangnya jadi layu begini. Setiap ada ketukan kubalas dengan jawaban singkat, "sedang tidur". Beberapa kali ibu mencoba mengajakku berbicara dari balik pintu dan beberapa kali pula kudiamkan saja.

Ibu mencoba membujukku seperti akan membelikan makanan kesukaanku, atau membelikan mainan baru. Namun dari itu semua tidak ada tanda-tanda pencabutan penolakan. malam hari tiba, ibu membawakan makan malamku kedepan pintu kamar, tapi kusuruh saja untuk meletaknya di lantai. Lalu disaat sudah mulai larut, aku kabur diam-diam dari rumah melalui jendela kamar yang tanpa teralis.

"Mikirin apa sur? kau sudah izin pada mamakmu kan?",

Aku sedikit tersentak, Budi bertanya tiba-tiba, memecah lamunanku. apa yang harus kujawab? sudah? belum? ah, entahlah, yang jelas sudah sejauh ini, tidak ada kata mundur. Aku tidak akan menyesalinya.

"Sudah".

Budi menatapku skeptis, seolah tak percaya,

" Hmmm.... baguslah kalau begitu. Jangan sampai kau tak izin sama mamakmu, nanti bisa kena karma lho"

Temanku yang bernama Ardi mengalihkan pembicaraan kami,

"Budi, bapakmu makin terlihat garang saja, dengan kumis ijuk begitu",

"Haha, iya, kelihatan kayak mau marah-marah saja" temanku Irfan ikut menambahkan

"Eh? iyakah? menurutku tidak. bapakku mungkin terlihat garang, tapi dia baik padaku dan pengertian"

"Oh iya Budi, kita mau lihat pulau langit dimana? apa disini saja?", tanyaku

" Aku tidak terlalu tau tempatnya tapi yang jelas bukan di dekat rumahku"

Bukan di halaman rumah Budi? lalu dimana.

Pembicaraan kami terhenti begitu Pak Herman, bapaknya Budi keluar dari dalam rumah dan "menyogokkan" lampu minyak tanah. Masing-masing kami segera menyerobot satu.

Budi benar, meski terlihat garang begitu tapi Pak Herman adalah orang baik.

Dialah juragan yang telah memperkerjakan ayahku di sawahnya. Tanpa dia mungkin kami sekeluarga akan kesusahan bahkan untuk makan. Ibu dulu pernah bercerita kalau disaat hendak melahirkanku, pak Hermanlah yang paling pertama datang untuk membantu, beliau memanggilkan seorang dokter dari kerajaan. Kami sekeluarga berhutang banyak padanya, dan berharap suatu hari nanti dapat membalas setidaknya setitik dari kebaikannya.

Pak Herman kemudian menatap Budi lurus-lurus,

mereka seperti membincangkan berbagai hal. Setelahnya, Budi menghampiri kami yang sedaritadi menunggu dibelakang.

"Apa kata bapakmu?", tanyaku langsung

" Dia bilang kita boleh pergi kalau Pak Sutrisno datang"

"Pak Sutrisno?"

"Iya, Bapakku menyuruh Pak Sutrisno untuk menemani kita"

Menyuruh? memang kekuatan seorang juragan!!. Tinggal beri perintah, dan orang akan menuruti, menjadi pak Herman sepertinya terasa enak juga.

"Sur, menurutmu ini akan baik-baik saja?", temanku Irfan bertanya dengan wajah sedikit risau

" Hmm? apa maksudmu? kita kan hanya melihat pulau langit"

"Tidak, perasaanku sedikit tidak enak"

Aku tidak membalas perkataannya, mungkin dia baru pertama kali terjaga selarut ini. Kamipun lanjut mengobrol, menunggu datangnya Pak Sutrisno

***

setelah beberapa menit, kami mendengar suara orang tersenggal-senggal menghampiri. Akhirnya datang juga yang ditunggu-tunggu

"Nah, itu dia. baiklah, kalian boleh pergi" ujar pak Herman sembari menunjuk.

Pak Sutrisno mendatangi pak Herman sembari mencoba mengatur nafasnya, mereka berjabat tangan. "Sutrisno, jaga mereka ya. Pulang paling lama jam satu"

"Baik Juragan"

Baiklah, semua pasukan sudah berkumpul. Sekarang tinggal meluncur menuju medan peperangan.

***

Gelap gulita malam menyergap kami semua. Siluet-siluet pepohonan membentuk sebuah rupa, dan saat menatapnya tampak seolah-olah ada seseorang yang memperhatikan. Bunyi jangkrik berpadu dengan kodok bersahut-sahutan, seolah menyanyikan sebuah lagu. Cahaya sinar rembulan tampak indah, dengan sabit bentuknya. Tapi lebih dari itu, perhatianku terfokus pada arah tujuan perjalanan ini. Katanya mau melihat pulau langit, tapi kok malah ntah kemana.

"Pak Sutrisno, kita mau kemana?", kataku menarik celana kainnya.

" Eh? nak Surya bukannya sudah sering kemari? bapak masih ingat dulu kamu jingkrak-jingkrak karena diajak ayahmu kemari"

"Itukan saat aku masih kecil. Aku sudah tidak ingat jalannya"

"Hahaha, jangan khawatir nak Surya. Bapak tidak akan macam-macam kok. Pak Herman berpesan bahwa ada tempat yang paling cocok untuk melihat pulau langit"

Jadi jalan ini menuju ke tempat itu. Aku ingat, saat aku kecil ayah mengajakku kesana. Namun itu semua saat aku masih kecil, sekarang aku sampai panas dingin merasakan suasana gelap disekitar sini, membayangkan seandainya pak Sutrisno menjebak kami lalu mengambil organ-organ kami.

"Hahaha, kau ketakutan sekali Sur. Huuu cupu" ejek Budi, belum sampai disitu, temanku Ardi ikut nimbrung, "Aiiih, cemananya, Anak kampung tapi takut kali sama gelap-gelap. Keluar saja kau dari sini".

Terakhir Irfan ikutan,

" Haha Sur, sur. Sudahlah tukang ngambek, pengadu, takut gelap lagi".

Ugghhh, aku merasa ditusuk tiga pedang sekaligus tepat di dada. Sial, jangan menghinaku

"Di-diam kalian. a-a aku bukannya takut. Hanya saja malam ini terasa dingin sekali, jadinya menggigil", tangkisku mencoba melawan serangan pedang ini

" Halah, alasan" kata Budi tidak ingin kalah. Pak Sutrisno tertawa kecil melihat interaksi kami. Perdebatan kami terus berlanjut

Sampai pada akhirnya terhenti sesaat sebelum pak Sutrisno membelah sebuah semak belukar dengan tangannya. Wah, Aku tidak tau kalau ada tempat seperti ini di desa kami. Dari balik semak belukar itu terdapat Sebuah padang rumput luas. Setiap helaiannya seolah-olah menari-nari saling menggoda karena angin malam bersiut-siutan.

kami semua menapaki rerumputannya. Pak Sutrisno meletakkan perlahan lampu minyaknya di sebuah batu besar.

"Apa kalian tau kenapa nama desa ini adalah Bukit Bintang?",

"eh? bukannya karena desa ini diapit oleh dua bukit yang sangat tinggi?",

" hmm... itu tidak salah nak Surya, tapi kurang tepat... ", ia berhenti sejenak mengambil nafas. Perlahan-lahan, lengannya naik keatas. Mata kami berempat tampak mengikuti aliran lengannya.

"Dibalik dua bukit yang membatasi, terdapat sebuah tempat dimana cahaya bintang seolah bersinar terang menembus masuk kedalam tanah. Diantara bintang-bintang itu terdapat kehidupan bersamanya, para makhluk bintang", telunjuknya sampai keatas,

" Dan disitulah nama Desa Bukit Bintang terlahir"

Wooaaaaahhhhh, takjub rasanya. bibir kami terukir senyuman dengan gigi menyelinap. mata kami terbuka lebar, berbinar-binar.

Tampak seperti lukisan, Langit terlihat sangat cerah. ratusan, tidak, ribuan bintang-bintang yang tampak kecil bertaburan seperti pasir, rasanya bukan seperti malam. Tidak ada awan-awan yang menghalangi pandangan. secercah cahaya asing ikut meramaikan suasana, hijau, mungkin aurora?.

Tapi dari itu semua, memang tampaklah sebuah pulau di atas langit. Mengambang, tidak terpengaruh gravitasi bumi. Mataku menyipit, mencoba melihat lebih baik. pulau langit itu terlihat seperti sebuah kerajaan megah dengan jarum runcing di ujungnya.

Namun kejadian tak terduga muncul,

Bammm..... Sebuah dentuman besar menghantam tanah seperti palu godam membuat kami terkejut. Kami kembali ke alam kenyataan. Pak Sutrisno segera "mentamengi" kami.

"Pak Sutrisno, Suara apa itu?", tanya temanku Irfan dengan wajah antara terkejut dan panik.

Akupun segera berlindungi dari balik tangan pak Sutrisno.

Kami semua menatap lurus-lurus kearah suara yang menghantam tanah tadi. berasap, tidak terlihat apapun dari sana. kemudian bayangan seseorang perlahan nampak, beberapa orang keluar, sangat tinggi dan besar. mereka semua memakai tudung putih bercorakkan emas.

"SIAPA KALIAN?!!!!" bentak tegas pak Sutrisno.

Orang-orang itu tidak membalas, mereka hanya berdiri, celingak-celinguk seperti orang tersesat.

Aku memerhatikan penampilannya yang tidak asing dipikiranku. tidak salah lagi, mereka adalah makhluk bintang, Stellarians yang diceritakan ayah. Memiliki perawakan yang tinggi dan besar, badan mereka terbaluti baju serba putih dengan tudung. Untuk pertama kalinya, aku melihat para makhluk bintang dengan mata telanjang bahwa mereka nyata.

Kekagumanku berubah sesaat setelah mereka memperlihatkan aksi yang tak terduga, sebuah aksi brutal.

Pak Sutrisno mengulangi perkataan yang sama, tapi kali ini dengan nada yang lebih kasar.

"CEPAT JAWAB. SIAPA KALIAN?!!!!"

Swuisshh~

"Eh? pak Sutrisno?"

Aku melihat jelas air berwarna merah hampir kehitaman melayang bebas di udara....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!