Keluargaku

Desa Bukit Bintang, November 755 Masehi, jam 11.10

Iseng saja, aku mendekat ke seekor katak dan menangkapnya dengan kedua telapak kosongku. Sensasi licin menjalari lengan dan badanku. sontak langsung terlempar katak tersebut masuk kedalam parit berlumut, plung. aghh menjijikkan. kuseretkan kedua telapak tangan kemana saja yang dapat menghilangkan sensasi berlendir ini. pohon, tanah, rumput, bahkan mencucinya di genangan air.

" Suryaa, sudah dulu mainnya!!. Masuk sini makan!!",

Alamak, gawat. Ratu kerajaan sudah mengeluarkan ultimatum.

"Iya buuu". Segera kuhentikan segala aktivitas dan berlari masuk kedalam rumah.

"Eee Kamu nih Sur, sukanya kelayapan aja", teriak ibu memarahiku sesekali menggelengkan kepalanya. Ia kemudian berlutut menyamai ukuran putranya yang masih kecil lalu mengelap ingus yang tanpa sadar sudah menggantung-gantung di bibirku

"Dah, mandi sana gih", katanya pelan

ibuku seorang perempuan berambut pirang panjang dan halus yang seringnya ia ikat kebelakang. Wajahnya seindah rambutnya, dengan sepasang mata biru laut yang dalam yang dinaungi alis tipis. Sehari-hari memakai baju kurung.

Segera kuturuti perkataannya, melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang tak jauh dari sini, tepatnya didekat dapur. Tapi sebelum itu, mata tak bisa kukendalikan, rasanya gatal untuk tidak celingak-celinguk kesana kemari mencari keberadaan seseorang.

" Ayah belum balik bu?", .

Sambil cekatan mencuci piring,

"Belum, masih di sawah kayaknya. Paling sebentar lagi pulang".

Anggukan adalah balasanku, aku menutup pintu kayu kamar mandi dan mulai membuka baju.

***

Aaahhh segarnya, habis main panas-panas kemudian disembuhkan oleh hempasan air gayung. Badan sudah bersih, disusul baju yang membebabatkan diri. tek, kugeser keatas kayu penahan pintu kamar mandi dan membukanya. Aku cukup terkejut mendapati Seseorang berdiri tegap tepat di depan pintu toilet. suaranya yang berat menyapa,

"Habis main bang?". Siapa lagi orang itu kalau bukan orang yang selalu mengajariku tuk menjadi lebih kuat.

Ayah adalah seorang petani yang bekerja tuk juragan di sawah luas. ia kembali dengan kulit yang sudah terpanggang matahari, baju dan celana yang ia kenakan seolah tanah yang ia garap telah menyatu dengan dirinya.

"Kenapa bengong? sana, Ayah mau mandi", katanya menggeser tubuhku. Aku hanya menggelengkan kepala, daripada ingin mandi sepertinya ayah lebih kearah sesak berak pikirku.

***

setengah jam berlalu, kami sekeluarga kini berkumpul diatas meja makan yang menghidangkan berbagai makanan lezat. Sebakul nasi terpampang mengeluarkan kabut tipis dari dalamnya.

Diatas petaknya meja makan kayu, Kami mengobrol banyak hal, seperti pertandingan sepak bolaku dengan kampung sebelah, Ibu yang mengomeliku dan ayah dengan cerita pupuk dan persawahannya yang tak terlalu kumengerti. Ditengah-tengah itu, kualihkan pembicaraan ini dengan keinginan yang sudah kupendam seminggu lalu, yaitu melihat pulau bintang yang tampak pada tengah malam. Kutatap wajah ibuku,

"Bu, besok kan hari Minggu. Juga abang sudah menunggu seminggu ini dengan sabar. Boleh ya, kalau malam ini abang begadang sampai tengah malam untuk melihat pulau langit?"

Ibu terdiam sebentar, mengalihkan pandangannya.

" Tidak boleh"

"Hah? kenapa?",

"Anak seumur abang tidak boleh begadang karena masih dalam masa pertumbuhan"

Alasan yang sama lagi, ini adalah minggu kedua aku mendengarnya.

"Tapi bu, abang sudah sabar menunggu seminggu ini tuk melihat pulau langit. Minggu kemarin ibu juga tidak memperbolehkanku" tangkisku sengit. Mukaku merah dan mata terasa panas.

"Abang lihat diri abang tuh kalau hari minggu, macam orang mati seharian karena begadang sampai tengah malam",

" Tapi kan abang hanya dapat kesempatan sekali seminggu. Itupun besoknya adalah hari libur, jadi seharusnya tidak masalah. Lagian juga kenapa tiba-tiba melarang abang seperti itu? Abang bukan anak kecil lagi, sudah 14 tahun"

Ibu hanya diam tak membalas, ia lanjut menyuapkan sesendok nasi. Hal itu membuat mukaku tambah merah padam, aku merasa kalau ibu hanya menganggap ini adalah permintaan remeh-temeh.

"Bu..."

"Buu... Buu... "

"BUUUU!!!", kekesalanku mencapai ujung tanduk, aku tanpa sengaja membentak ibuku diatas meja makan.

Braakkk, ibu menghempaskan tangannya di meja kayu. Piring sedikit terloncat dari kediamannya dan berdenting nyaring.

"KALAU IBU BILANG TIDAK BOLEH YA TIDAK BOLEH. BISA DIBILANGIN GAK?!!!!"

Aku sedikit tersentak kebelakang mendapati reaksi itu. Meski begitu, rasa tidak mau kalah ini menguasai tubuh. Aku bersikukuh hendak dituruti kemauannya. Kualihkan pandanganku ke ayah yang tampak hanya memerhatikan, tangannya meraih pundak ibu, sedikit dieluskannya untuk menenangkan.

"Ayah, bantu abang. Sudah dua minggu ini ibu tidak memperbolehkan tuk melihat pulau langit", pintaku dengan wajah memelas.

Ayah menjawab singkat,

"sudahlah, ikuti saja kata ibu, itu yang terbaik."

Aku tanpa pembela. Dengan muka menekur, kutinggalkan meja makan serta makanannya yang tinggal separuh. Sebelum mereka menyahut, aku pergi keluar rumah dan membanting pintu kuat-kuat....

Bamm... Bagai badai yang mengguncang pohon dengan keras, ku banting pintu itu dengan muka merah padam. Bersusul dengan aku melarikan diri dengan kilat, tidak terima keputusan dari ibu. Derap langkah kaki berdecak di tanah dan rerumputan, melewati batang demi batang bambu berjejer.

Aku jadi merasa bersalah berbuat seperti itu. apa sebaiknya aku kembali saja dan meminta maaf pada mereka?

Tidak, tidak. Ibu sudah menentang ini dua minggu, dan ayah sudah tidak pernah bercerita tentangnya semenjak ibu melarang. Kesempatan ini hanya sekali seminggu, dan lagi aku memilih waktu yang keesokannya libur agar tidak mengganggu sekolahku. Harusnya tidak masalah bukan?"

Tidak jadi, kulanjutkan pelarianku. Hamparan bambu berjejer bak pilar melingkupi kedua sisi kanan dan kiri. Pertarungan pilihan ini dimenangkan oleh sang ego, dan logika mengakui kekalahannya.

Akhirnya, tertegak aku di sebuah rumah.

Ini adalah rumah nek Aci. Kuangkat kedua tangan, melingkari mulut seperti corong bulat lalu berteriak.

"NEK AAACIIII". Tidak ada balasan, angin serasa berlewat cepat. Kupanggil sekali lagi,

"NEK AACIIIIII"

Braakkk... Pintu terbuka kuat sampai pada batasnya. Nek Aci keluar dari dalam rumah sembari memperbaiki kupluknya. Ia kemudian berteriak balik padaku dengan logatnya.

"Sur, Sur. mbok manggil orang tuh yang sopan to yo. Jangan teriak-teriak. Nek Aci barusan tertidur lho"

Langsung ku peluk erat nek Aci. beliau tampak sedikit terkejut dengan pelukanku lalu membalasnya.

"Ada apa sur? berantamkah kau sama bapakmu?", tanya nek Aci menepuk-nepuk punggungku.

Nek Aci mengajakku untuk duduk diterasnya, dan dengan senang hati kuterima. Setelah duduk lalu kuceritakan kejadian padanya dengan panjang lebar.

***

beberapa waktu berlalu, Nek Aci nampaknya terdiam selepas mendengar ceritaku. Ia kemudian memberikan komentarnya,

"Oalah, begitu. Seharusnya Surya diperbolehkan melihat pulau langitnya. Lagian kan Surya sudah besar, berapa umur kau?",

"14 tahun"

"14 tahun. sudah bisa mengawini anak orang tuh," Nek Aci kemudian tergelak dengan guyonannya sendiri, yang bagiku tak lucu sama sekali.

"Yah nenek paham kau ingin melihat pulau langit, apalagi cuman sekali seminggu sekali dan itupun di malam minggu. Harusnya orang tuamu mengerti perasaan anak bujangnya."

Yakan nek Aci, Nenek juga berpikir seperti itu. Seharusnya ibu mengerti kalau aku sudah sesak ingin melihat pulau langit itu. Nek Aci memang selalu menjadi pembelaku.

"Tapi...", Nek Aci tiba-tiba meraih ujung bahuku. Ia melanjutkan, " Mamak kau mungkin punya alasan tersendiri. Terkadang insting orang tua itu tidak boleh dianggap remeh, Sur. Jadi baliklah kau, jumpai mamak bapakmu. Minta maaf kepada mereka"

Aku mengalihkan pandanganku kesamping, menolak melihat nek Aci kemudian mengangguk pura-pura setuju. Disaat itu lewat seorang anak sepantaranku tak jauh dari rumah nek Aci.

"BUDIII!!!", teriakku memecah keheningan. Anak itu sontak menoleh. Wajahnya berubah menjadi gembira. " Surya", katanya berlari kearahku.

Tap tap tap. Sampailah dia ke hadapanku dan nek Aci. Disalaminya dulu nek Aci sebelum berbicara denganku,

"Makin panjang aja rambut kau Budi", kata nek Aci mengibaskan rambutnya

" Hehe, iya nek. Biar cewek-cewek kepelet samaku", Kata Budi nyengir. Ia kemudian menoleh kearahku

"Baru aku mau ke rumah kau Sur. Rupanya main ke rumah nek Aci," katanya

"Haha, iya, bosan di rumah". Saat Budi hendak membalas ucapanku, nek Aci beranjak dari dudukannya dengan gemetar dan susah payah memegang punggungnya.

" Aduduh. Ah, mainlah klen berdua ya. Tapi jangan ribut, nenek mau lanjut tidur dulu" katanya.

"Iya nek", Balasku dan Budi serentak.

Nek Aci perlahan memasuki rumah dan menutup pintu kayunya. Budi kemudian mencolekku

"biasanya kau kalau ke rumah nek Aci berarti ada yang kau kadukan. Emangnya ada masalah apa?", tanya Budi dengan muka menyelidiki. Aku terdiam sebentar, sedikit berfikir apakah bocah jamet ini perlu kuceritakan. Akhirnya aku malah menceritakan semuanya.

Budi memegangi dagunya seolah memberikan kesan berfikir yang mendalam.

"Begitu ya. Hmm.... melihat pulau langit. Aku sih tidak terlalu tertarik, tapi sepertinya akan seru kalau bisa bangun sampai tengah malam. Bagaimana kalau kita melihatnya bareng-bareng?"

"Boleh boleh aja", jawabku. Budi menjentikkan jarinya, " Ah.. biar lebih seru kuajak juga yang lainnya. Si Ardi sama Irfan pasti mau mereka"

"Oke".

Dan begitulah rencana kami untuk melihat pulau langit bersama-sama malam ini yang menjadi awal kehancuran.....

Terpopuler

Comments

ZAINIMATORS

ZAINIMATORS

Ceritanya agak mengarah ke tema luar angkasa...salah satu konsep kesukaan saya ini mah wkwk😂😂😂

2023-12-25

1

Khalifa Maulana

Khalifa Maulana

🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥

2023-11-21

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!