Kenyamanan Erwin

Tok! Tok! Tok!

"Sarapan sudah siap, Tuan."

"Kamu berani mengabaikan ketika saya memanggil?" Erwin memandang sinis.

"Maaf, Tuan, tadi saya sedang memasak. Jadi, saya tidak mendengar," ucap Tia berpura-pura. 

"Bawa saya ke meja makan. Awas saja kalau sampai terjadi seperti kemarin malam!" 

"Saya janji, tidak akan, Tuan."

Tia mendorong kursi roda sambil tersenyum. Ia berbohong supaya Erwin tidak memarahinya. Sebenarnya dia tidak terlalu menjengkelkan, pikir Tia. Ia akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak membuatnya marah.

Erwin terlihat sangat menyukai roti goreng buatan Tia. Dia pandai memasak juga ternyata, batin Erwin. 

"Setelah sarapan, apa rencana Anda, Tuan?"

"Antar saya berjalan-jalan sambil berjemur," jawab Erwin datar. 

"Baik, Tuan," sahut Tia. 

"Satu lagi …. Jangan panggil aku, Tuan!"

"Lalu … saya harus panggil apa? Mas, Aden, Juragan?"

"Mas saja kalau mau. Juragan … terdengar seperti tuan tanah di kampung," seloroh Erwin. 

Dia bisa bercanda juga, pikir Tia. Setelah Erwin selesai sarapan, Tia mendorong kursi roda dan mengajak Erwin berkeliling. Rumah itu berada dekat dengan pantai. Mereka berkeliling di sana. Melihat ombak yang berarak ke tepian dan kembali ke tengah lautan. Pasir putih membuat air di tepi pantai terlihat sangat jernih. Seandainya saja Tia datang sendiri, ia pasti sudah berlari dan bermain air. 

Mendorong kursi roda di pasir pantai lumayan membuat Tia kelelahan. Semakin lama langkahnya semakin lambat. Erwin tersenyum.

"Kita berhenti di sini."

"Iya, Mas." Tia menghela napas. Ia bisa beristirahat sejenak. Tia berhenti di bawah sebuah pohon rindang. Daun pohon itu sebesar daun jati, batangnya kokoh berdiri di atas pasir.

"Pantainya indah," gumam Tia.

"Lumayan," timpal Erwin.

Tia menarik kedua sudut bibirnya, menciptakan senyum tipis yang sangat manis. Mereka menatap ke tengah lautan. Melihat kapal tongkang yang mengambang di tengah laut. Melihat burung-burung camar laut yang terkadang menukik ke bawah dan menangkap ikan dengan paruhnya.

Tia merasa lelah berdiri. Tanpa takut merasa kotor, ia duduk di atas pasir dengan kedua kaki diluruskan. Erwin menggeleng pelan. Gadis ini lucu juga, batin Erwin. 

Mereka betah berlama-lama di sana tanpa bicara. Hanya desiran angin pantai yang menemani kebisuan mereka. Tidak ada suara lain selain gemuruh ombak yang bergulung. Erwin tertidur di atas kursi roda.

Tia berdiri dan memandang wajah Erwin. Alis yang tegas dan hitam, bulu matanya panjang. Keningnya berkerut saat tidur.

"Apa yang membuat keningmu berkerut? Apa kau bermimpi buruk?" Tia bergumam lirih. Dengan perlahan, Tia mendorong kursi roda dan kembali ke rumah. Sebelum sampai di pintu gerbang, Erwin terbangun.

"Sudah bangun, Mas? Maaf, karena Mas tertidur, jadi saya membawa Mas pulang," ucap Tia.

"Hem." Erwin menjawab dengan gumaman singkat. Tidak biasanya Erwin tertidur di atas kursi roda. Ia sendiri merasa heran. Tia baru dua hari bekerja, tapi Erwin merasa sangat nyaman berada di dekatnya. Sampai-sampai Erwin tertidur di pantai. Gadis ini lucu, polos, meski kadang menjengkelkan, tapi berada di dekatnya membuatku nyaman, batin Erwin. 

"Mau ke kamar atau ke mana, Mas?"

"Antar saya ke ruang baca," jawab Erwin. 

"Baik, Mas. Oh, iya, Mas, mau makan apa nanti siang?"

"Bisa masak soto?"

"Bisa. Mau soto kuah bening atau kuah santan?"

"Yang bening saja. Kamu beneran bisa, kan? Jangan-jangan gosong lagi seperti kemarin," ejek Erwin. 

"Saya belajar memasak sejak kelas satu SMP. Kalau, Mas, takut masakanku gosong, jangan suruh saya masak kalau begitu."

"Saya kasih kamu kesempatan, buatkan saya soto. Kalau gagal, kamu … saya kurung lagi di gudang!" ancam Erwin.

"Sepertinya, lebih enak dikurung di gudang daripada masak soto," goda Tia sambil tersenyum. 

"Berani menantangku?" tanya Erwin dengan suara yang ditekan.

Tia terdiam seketika. Mengerikan sekali kalau sudah serius begitu, pikir Tia. Ia menjawab dengan menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Saya pergi dulu," pamit Tia. 

Erwin tertawa lepas setelah Tia berlari ke dapur. "Menggemaskan sekali gadis itu. Menyenangkan sekali menggodanya dengan ancaman. Selalu berpura-pura berani padahal penakut. Mending dikurung di gudang katanya? Yang benar saja. Kemarin malam menangis karena ketakutan, sekarang malah ingin dikurung di gudang. Dasar bodoh," gumam Erwin. 

Tapi, kenapa ia peduli? Erwin tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia mengunci pintu ruang baca lalu bangun dari kursi rodanya. Berdiri dengan gagah. Kakinya sama sekali tidak terlihat bermasalah. Ia juga melangkah dengan lancar.

"Ah, pegal sekali. Sejak kemarin belum bangun dan hanya berbaring. Waktunya kerja," gumam Erwin. Duduk di depan laptop dan membuka situs website perusahaan Budi Harto.

Ia menyembunyikan keadaannya dari semua orang, termasuk ayahnya. Kedua pengawal pribadinya pun tidak tahu kalau sang majikan baik-baik saja. Ada satu orang yang tahu kondisi Erwin. Billy, dokter pribadinya. Entah untuk tujuan apa Erwin berpura-pura lumpuh dan menghabiskan waktunya di depan orang lain sebagai pria cacat.

Bersambung___________

Kenapa, ya, Erwin pura2?

Jangan lupa dukung author dengan like novel ini. Tunggu kisah selanjutnya. Love u reader♥️

Terpopuler

Comments

Pricila Bianca Aidelin

Pricila Bianca Aidelin

ada apa rupanya,,sampe rela duduk dikursi roda...

2021-12-08

1

Sriginting Ginting

Sriginting Ginting

eeehh ternyata ini hny akal akalan Erwin kirain tuan Budi yng akal2an

2021-07-12

1

Sita Aryanti

Sita Aryanti

ow..pura2

2021-07-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!