Dihukum

"Tia!" teriak Erwin.

Tia meninggalkan dapur dan berlari menghampiri Erwin di kamar. Kompor masih menyala. Ia tidak sadar kalau belum mematikan kompor karena teriakan Erwin. Tia takut jika tidak segera datang, ia akan membuat Erwin mengamuk lagi.

"Iya, Tuan. Ada yang bisa saya kerjakan, Tuan?"

"Banyak tanya. Cepat dorong aku ke meja makan. Aku lapar," ucap Erwin.

"Baik, Tuan."

Kursi di dorong menuruni tangga. Tangga itu terdiri dari dua sisi. Sisi kanan memakai susunan anak tangga, sedang sisi kiri dibiarkan seperti jalanan yang polos. Itu untuk memudahkan kursi roda saat turun naik tangga.

Baru separuh jalan saat Tia mendorong kursi roda. Tiba-tiba dia ingat kalau kompor belum dimatikan. Refleks ia melepas pegangan kursi dan berlari meninggalkan Erwin. Kursi roda itu meluncur bebas sampai menabrak dinding.

"Tia!" Erwin berteriak kencang saking jengkelnya.

Kedua pengawalnya segera menghampiri dan memeriksa keadaan tuannya. Lutut Erwin sakit karena menabrak dinding. Salah satu pengawal mendorong Erwin ke dapur.

Tia sedang kesulitan memadamkan api. Masakannya hangus sampai api menyambar ke atas panci. Ia berusaha memadamkan api dengan handuk. Bukannya padam, tapi api justru menyambar handuk dan terjadi kebakaran kecil.

"Dasar gadis bodoh! Apa yang kau lakukan?!" bentak Erwin.

Kedua pengawal mengambil alat pemadam kebakaran dan menyemprotkan ke arah kompor. Api padam, tapi Tia menjadi ketakutan. Tubuhnya merosot dan terduduk di lantai. Ia tidak mendengarkan ocehan sang majikan. Tia gemetar ketakutan. Ia memeluk kedua lututnya sambil terisak.

Erwin yang sedang marah pun menjadi terdiam. Dia ketakutan, tubuhnya gemetar. Heh, padahal hanya kebakaran kecil, pikir Erwin.

"Kamu itu bisa masak tidak, sih?"

"Semua karena kamu. Kalau saja kamu tidak berteriak-teriak, aku ... tidak akan membuat masakannya hangus. Semua kejadian ini juga karena kamu!" Tia menjawab sambil mendengus kesal.

"Apa? Kamu ...." Amarah menguasai Erwin. Wajahnya merah padam. "Pengawal! Kurung dia di gudang!" perintah Erwin.

Tia mundur satu langkah. Matanya melebar. Dia bercanda, kan? tanya Tia dalam hati. Tubuhnya masih gemetar karena kebakaran tadi. Sekarang, ia harus menerima hukuman dikurung dalam gudang.

Lengkap sudah penderitaanku. Kenapa aku dipertemukan dengan majikan yang kurang waras seperti dia? Ya Tuhan, boleh gak kalau gue berteriak?

Batin Tia memaki takdir yang telah menjadikannya seperti ini. Tapi, ini bukan salah takdir, batin Tia. Ia terdiam tidak mau berbicara lagi. Satu kata bantahan yang keluar dari mulut Tia hanya akan membuat Erwin semakin marah. Hukumannya bisa lebih berat dari sekedar dikurung di dalam gudang.

Pengawal itu membawa Tia. Di dalam gudang yang gelap itu, Tia berjalan meraba dinding. Ia mencoba mencari tombol saklar lampu. Tangannya merasakan sesuatu yang basah di dinding. Apa ini? tanya Tia dalam hati.

Cetrek.

Lampu menyala. Tia memandang takjub. "Wah ...." Ia berdecak kagum menatap sekeliling ruangan. "Ini gudang," gumam Tia.

Ruangan itu sangat bersih. Meskipun banyak barang-barang yang memenuhi ruangan itu. Namun, barang-barang itu tidak terlalu buruk.

"Wah, dasar orang kaya. Barang masih bagus sudah disimpan di gudang," decak Tia. "Eh, tunggu dulu," pikir Tia dengan heran. "Kalau dikurung di tempat kayak gini, sih, gak masalah," pungkasnya dengan percaya diri.

Gubrakk!

"Akhhh!" Tia berteriak. Sebuah lukisan terjatuh, membuat Tia berjingkat kaget. "Mama, Tia takut," isak Tia. Kepercayaan dirinya hilang seketika. Pada dasarnya, Tia adalah anak manja yang takut sendirian saat malam hari. Ia duduk di salah satu sofa panjang.

Tidak perlu takut! Tempatnya terang, Tia menghibur dirinya sendiri. Berharap rasa takutnya bisa sedikit berkurang.

***

"Kamu pikir ... aku akan membiarkan kamu tenang di gudang." Erwin menyeringai. "Pengawal, matikan saluran listrik di lantai satu!" titah Erwin.

Rumah itu terdiri tiga lantai. Tiap lantai memiliki saluran listrik masing-masing. Kamar Erwin berada di lantai dua. Lantai paling atas adalah tempat rahasia. Tidak ada yang boleh naik ke lantai tiga selain Erwin, Budi, ayahnya, dan kedua pengawal pribadinya. Para pengawal yang bertugas di luar rumah tidak diperbolehkan masuk ke ruang rahasia itu.

Lampu gudang ikut mati karena saluran listrik lantai satu diturunkan. Ia masih bisa melihat tubuh Tia karena kamera yang dipasang di dalam gudang itu menggunakan infra merah.

"Selamat menikmati malam panjang di dalam gudang. Hahaha. Itu akibatnya kalau kamu membuat aku kesal," ucap Erwin. Berada di depan layar besar yang menunjukkan keadaan di setiap sudut rumah. Ya, itu adalah ruang pemantau. Di ruangan itu juga terdapat banyak buku dan berkas-berkas kantor.

Setiap tiga hari sekali, kepala pelayan di rumah Budi Harto mengirimkan bahan-bahan keperluan untuk dapur. Tidak ada pelayan wanita di rumah Erwin. Hanya Tia-lah satu-satunya. Biasanya kedua pengawalnya yang menyiapkan makanan. Mereka pengawal yang memiliki semua kemampuan. Memasak bukanlah hal aneh untuk mereka berdua.

"Hoamm .... Aku sangat mengantuk. Antar aku ke kamar," ucap Erwin menunjuk salah satu dari mereka. "Dan kamu, jaga di sini!" perintahnya pada pengawal lainnya.

***

"Aduh ... badanku sakit semua," sungut Tia. Tubuhnya terasa kaku tidur meringkuk di atas sofa. "Heh, kekanakan sekali. Kamu pikir aku gak tau, apa? Kamu sengaja, kan, mematikan listrik." Tia menggerutu dalam kegelapan.

Tidak lama pintu terbuka. Erwin duduk di kursi roda. Di belakangnya berdiri dua pengawal pribadi.

"Bagaimana tidurnya semalam?" tanya Erwin dengan nada mengejek.

"Luar biasa, Tuan. Anda mau mencobanya? Kurasa ... Tuan belum pernah tidur meringkuk di sofa, bukan," cibir Tia. Gadis itu selalu kehilangan kesabaran setiap berbicara dengan Erwin. Tia bukan sosok pemarah, tetapi di depan Erwin, ia selalu emosi.

"Sepertinya ... kamu menikmati hukuman dariku. Bagaimana jika kau ... tidur selamanya di sini?"

Tia segera berlari dan berlutut di depan Erwin. Salah mulutnya yang terlalu jujur. Kenapa aku selalu ingin menjawab ocehannya, pikir Tia. Jika ia diam pun tidak masalah, tapi ia terbiasa jujur mengatakan apa isi di dalam hatinya. Kejujuran yang membuatnya harus menerima hukuman lagi dari Erwin.

"Eng ... Tuan ... saya tahu kalau ... saya salah. Bisakah ...," ucap Tia dengan tergagap. Ada jeda untuk melanjutkan ucapannya. Ia menarik napas dalam sebelum melanjutkan perkataannya. "Bisakah, Tuan, memaafkan saya?"

"Sudah tahu salah rupanya. Baiklah. Karena kamu sudah sadar dengan kesalahan yang kamu lakukan, aku akan memaafkanmu. Sekarang bangun dan siapkan air untuk mandi!" pintanya.

"Baik, Tuan." Tia segera berlari ke kamar Erwin di lantai dua. Ia menyiapkan air hangat lalu membawa Erwin ke kamar mandi. Kali ini, Erwin tidak menyuruh Tia membuka bajunya. Gadis itu keluar dari kamar mandi dan menyiapkan satu pasang baju dan celana. Ia menaruhnya di atas tempat tidur.

Tia pergi ke dapur untuk memasak sarapan. Dapur yang berantakan dan kotor akibat kekacauan kemarin, sudah bersih. Tia memasak roti goreng dan mengabaikan Erwin yang berteriak memanggilnya. Ia tidak mau terjadi kekacauan lagi.

Makanan sudah disajikan di meja. Tia naik ke lantai atas untuk menjemput Erwin. Tia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu.

___________________

**Wah, bakal ada yg kena omel lagi nih🤭

ayo readers kasih semangat buat Tia.

klik LIKE, KOMENTAR, RATE, dan vote seikhlasnya😘**

Terpopuler

Comments

Laurentis Darwin

Laurentis Darwin

terlalu lancang untuk anak berumur 18 tahun dan berasal dari ekonomi lemah, melawan majikan seperti itu.

2022-02-15

1

Massunamiyatha

Massunamiyatha

biarkan dia mengomel tia anggap saja desiran angin lewat atw x lan 0 aja 😄😄😄

2021-07-10

1

Nadia Oktavia

Nadia Oktavia

marah marah mulu itu si erwin entar cepat tua lho

2021-07-10

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!