“Selamat sore.”
“Sore.”
“Ada yang bisa saya bantu?”
Kantor psikologi yang dimaksus Rilian ternyata tidak jauh dari kantor perusahaan di mana Devina bekerja. Hanya perlu berjalan kaki sekitar lima menit, Devina dan Rilian sudah tiba di kantor dokter psikologi yang bernama Aang. Dan begitu tiba di kantor konseling tasi itu, Devina akhirnya memahami ucapan Rilian pagi tadi yang mengatakan jika dokter itu sangat tampan seperti oppa Korea. Devina dapat dengan jelas melihat gambaran itu dari poster yang dipajang di bagian depan pintu masuk kantor psikolog yang terdiri dari dua lantai.
Walah!! Rame sekali!! Dua kata itu adalah dua kata pertama yang keluar dari mulut Devina ketika tiba di kantor psikolog yang Rilian rekomendasikan. Melihat banyaknya orang yang datang terutama pada wanita, Devina sempat bertanya-tanya apakah wanita-wanita yang datang dan mengaku sebagai pasien itu benar-benar pasien atau hanya akal-akalan mereka saja??
“Tsk!!” Rilian mencubit telapak tangan Devina.
“Apa??” tanya Devina yang masih melongo melihat banyaknya pengunjung yang datang.
“Besok-besok kalo kamu datang lagi buat konseling , aku akan buat alasan yang sama kayak wanita-wanita ini.”
“Kamu mau ngejar dokter ini??” Devina tidak percaya dengan niat Rilian yang benar-benar niat.
“Iyalah. Kudu niat! Gimana nggak niat, wong Pak Dokternya ganteng banget kayak gini. Noh liat, mirip kayak Oppa-oppa Korea kan?? Kulit putih, gigi rata dan putih, bibir merah dan rambutnya yang model koma. Wajah aja udah sempurna, lebih sempurna lagi kalo berdiri di samping aku sebagai pak suami.”
Eh?? Udah ngayal duluan!! Devina hanya bisa terkekeh mendengar kebiasaan Rilian yang kumat ketika melihat pria tampan: bicara medok dari kota kelahirannya akan keluar kalo udah ketemu cowok ganteng.
“Yakin mau ngejar?? Lawannya segini banyak loh! Ini masih hari ini, belum yang datang kemarin, besok, lusa, minggu depan dan bulan depan.” Devina berusaha meyakinkan.
“Semakin susah digapai, semakin harus dicoba!!” Rilian sama sekali tidak ingin mundur dari niatannya untuk mengejar dokter yang bahkan belum ditemui oleh Devina.
Terserah kamu aja sudah! Devina hanya bisa mengatakan kalimat itu di dalam benaknya karena tahu bagaimana Rilian yang sebenarnya. Tidak seperti Devina yang bahkan belum pernah punya pacar sekalipun dalam hidupnya, Rilian adalah tipe wanita yang punya banyak mantan pacar. Rilian itu dikenal cantik, supel, mudah bergaul dan jaringan kenalannya benar-benar luas. Caranya bergaul benar-benar berbeda dengan Devina. Jika Devina harus mengatakan Rilian itu mirip dengan Tiwi-adiknya. Bahkan dulu saat pertama kali menjadi rekan kerja Rilian, Devina pernah berpikir jika Rilian lebih cocok jadi kakak Tiwi dibandingkan dengan dirinya.
“Silakan isi formular ini, Mbak. Nanti setelah selesai tolong berikan kepada saya beserta nomor urut yang Mbak ambil di dekat pintu tadi.”
Setelah … mengisi formulir yang diberikan wanita bernama Novi-di bagian resepsionis, Devina bersama dengan Rilian menunggu sekitar setengah jam lebih. Dari perkiraan Devina karena melihat banyak sekali pengunjung yang datang, dirinya mungkin akan menunggu setidaknya satu jam lamanya. Tapi Devina hanya menunggu setengah jam lamanya. Kurasa pengunjung yang banyak itu datang, hanya untuk mengenal Dokter Aang yang tampan sama seperti temanku yang duduk di sampingku ini. Devina melirik ke arah Rilian yang sejak tadinya matanya tidak bisa lepas dari poster Dokter Aang.
“Nona Devina!”
“Saya, Mbak.”
“Silakan naik ke lantai dua, Mbak.”
Nama Devina dipanggil dan Devina langsung bangkit dari duduknya menuju ke lantai dua di mana ruang konseling tasi Dokter Aang berada.
Tok, tok!!
Tidak seperti ruang tunggu di lantai pertama yang berwarna hangat, ruang konseling Dokter Aang terdiri dari banyak dinding kaca dengan bagian yang tidak dapat dilihat dari luar. Dindingnya berwarna putih yang hangat, perbaotyan berwarna macam-macam dari merah, biru, orange, rasanya hampir semua warna ada. Dan yang lebih membuat Devina merasa sedikit tenang padahal sejak tadi merasa gugup setengah mati adalah pemandangan yang dapat dilihat dari jendela di lantai dua: pemandangan kota yang cukup indah. Ini kenapa ruang konseling nya berada di lantai dua.
“Silakan masuk.” Melihat dan mendengar Devina mengetuk pintu, Dokter Aang mempersilakan Devina masuk ke dalam ruangannya dan langsung mempersilakan Devina duduk. “Silakan duduk, Nona?”
“Devina, Dok.” Devina langsung menjelaskan namanya ketika Dokter Aang berusaha untuk membaca nama Devina dari formulir yang diisi oleh Devina tadi.
“Oke, Nona Devina. Keluhan yang tertulis di sini adalah gangguan tidur karena mimpi buruk. Apa itu benar?”
“Ya, Dok.” Devina menganggukkan kepalanya dan kemudian menjelaskan mimpi-mimpi buruknya selama ini tapi tentu saja merahasiakan mimpi terakhirnya di mana dirinya bertemu dengan pria asing dan mengalami mimpi yang sedikit bergairah.
“Apa Nona pernah punya kenangan buruk dengan ular yang jadi penyebab mimpi buruk Nona itu?”
Kali ini Devina menggelengkan kepalanya. “Saya rasa tidak, saya tidak bisa mengingatnya. Hanya saja … sebelum ibu saya berpisah dengan ayah saya, sepertinya dulu saya pernah bermain-main dengan ular peliharaan milik ayah saya. Tapi dalam ingatan yang bisa saya ingat, tak ada kejadian buruk yang berhubungan dengan ular itu.”
“Kapan tepatnya kejadian itu?” Dokter Aang bertanya dengan wajah penasaran.
“Harusnya lebih dari tujuh belas tahun yang lalu, Dok. Orang tua saya berpisah ketika umur saya 10 tahun.”
Sembari menjelaskan dan menjawab pertanyaan dari Dokter Aang, diam-diam Devina memperhatikan Dokter Aang. Ini adalah perintah dari Rilian ketika dirinya hendak masuk untuk konseling tadi.
“Aku mau minta tolong!”
“Apa??”
“Tolong nilai dokter keonselingmu nanti!”
“Maksudnya??”
“Apa dia benar-benar mirip dengan yang ada di poster atau tidak?”
“Ohh!”
Dari atas kepala hingga ke kakinya, Devina memperhatikan Dokter Aang seperti permintaan Rilian dan kesimpulan yang bisa satu-satunya Devina tarik adalah Dokter Aang memang tampan seperti yang terlihat di poster.
“Untuk sementara … saya hanya akan memberikan beberapa saran kecil seperti melakukan meditasi sebelum tidur atau yoga yang akan membantu tidur lebih nyenyak, Nona. Tapi jika minggu depan saat konseling berikutnya, cara itu tidak berhasil maka saya akan memberikan cara yang lain kepada Nona. Bagaimana?”
Devina menganggukkan kepalanya setuju. “Baik, Dok. Terima kasih, Dok!” Devina hendak bangkit dari duduknya dan berjalan keluar. Tapi niatnya itu terhenti karena ucapan Dokter Aang.
“Nona sepertinya tidak mengingat saya??”
Eh?? Ingat? Devina memiringkan kepalanya setelah berniat berdiri langsung kembali duduk. “Mak-sudnya, Dok??”
Dokter Aang tertawa kecil melihat reaksi Devina. “Ternyata benar-benar tidak ingat yah!!”
“Ingat apa ya, Dok?” Dwvina masih tidak mengerti.
“Tadi pagi … kita nggak sengaja ketemu, Nona Devina.”
“Ketemu? Di mana?” Devina berusaha mengingat paginya tadi tapi sama sekali tidak bisa mengingat wajah Aang di dalam benaknya.
Aang tersenyum lagi, tapi kali ini senyuman itu membuat Devina merasa sedikit tidak nyaman. “Lampu merah, kakek tua di penyeberangan jalan. Nona nggak ingat??”
Mendengar dua clue dari Dokter Aang itu, Devina teringat akan paginya yang tadi sempat membuatnya kesal. Sesuatu terbersit dalam benak Devina ketika mengingat kakek tua di penyeberangan jalan pagi tadi. Mungkinkah dokter ini adalah …
“Apa Dokter adalah pria muda yang membantu kakek tua pagi tadi?” Devina mencoba menebak.
“Ya, itu saya.” Dokter Aang mengiyakan sembari tertawa kecil. “Apa di mata Nona saya ini terlihat sebagai pria muda??”
Devina mengerutkan keningnya. “Apa saya salah bicara, Dok??”
“Bukan begitu. Kalo belum menikah masih bisa disebut dengan pria muda, mungkin saya masih bisa dikatakan sebagai pria muda. Tapi umur saya sudah lebih dari tiga puluh tahun, Nona.”
Eh?? Devina terkekeh karena tidak percaya bahwa dokter konselingnya ternyata adalah pria yang cukup terbuka.
“Umur cuma angka, Dok. Wajah Dokter terlihat lebih muda dari umur Dokter. Bahkan pengujung Dokter di bawah sana, tidak peduli dengan umur Dokter karena sudah terpikat dengan wajah Dokter.” Devina memberikan jawaban apa adanya.
“Itu sudah sering terjadi pada saya, Nona. Kita bertemu lagi minggu depan, Nona. Senang sekali bisa bertemu dengan Nona, mengingat seperti ucapan Nona, pelanggan saya sejak tadi adalah wanita-wanita yang sebenarnya tidak bermasalah dan hanya berniat untuk berkenalan dengan saya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments