Pukul 7.15, Devina berangkat bekerja dengan sepeda motornya. Setelah berpanitan dengan ibunya lengkap dengan mencium tangan ibunya yang masih bau masakan pagi kateriungnya, Devina mulai menarik gas di motornya dan melaju pergi menuju ke kantornya. Devina tahun ini umur 27 tahun. Tahun ini juga sudah tepat lima tahun lamanya, Devina bekerja di kantornya sekarang tepat setelah wisuda. Pekerjaan Devina adalah sebagai pegawai administrasi.
Pekerjaannya sekarang, menurut Devina adalah pekerjaan yang cukup menyenangkan. Lingkungan kerjanya baik dan orang-orang yang bekerja di sana secara kebetulan semuanya adalah orang yang baik bukan tipikal orang yang suka menjilat atasannya sana sini atau bermuka dua. Jadi … meski sudah lima tahun lamanya bekerja, Devina cukup puas dengan pekerjaannya.
Tidak seperti Tiwi-adiknya yang sekarang menganggur untuk ketiga kalinya. Tiwi adalah lulusan akuntansi yang harusnya mudah mendapatkan pekerjaan karena seluruh perusahaan pasti membutuhkan yang namanya akuntan. Menurut Devina, Tiwi sebenarnya cukup mudah menemukan pekerjaan mengingat biasanya Tiwi tidak akan menganggur lebih dari tiga bulan lamanya. Hanya saja tiga kantor di mana Tiwi bekerja sebelumnya adalah kantor yang bermasalah. Di kantor pertama, Tiwi berulang kakli bertengkar dengan rekan kerjanya hingga Tiwi yang sudah sangat kesal akhirnya memutuskan untuk keluar. Di kantor keduanya, Tiwi menemukan atasannya yang menggelapkan dana perusahaan. Tidak lama setelah mengungkap hal itu, Tiwi memilih untuk mengundurkan diri. Lalu kantor terakhirnya, Tiwi kembali berurusan dengan rekan kerjanya hingga berulang kali bertengkar di kantornya. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, Tiwi yang akhirnya tidak betah, akhirnya memutuskan untuk keluar dan mencari pekerjaan baru.
Sekarang baru dua bulan lamanya, Tiwi menganggur dan Devina sedikit mulai mengkhawatirkan Tiwi karena dalam dua bulan ini, Tiwi belum mendapatkan panggilan kerja sekalipun.
Ckittt!!
Devina menarik tuas remnya ketika melihat traffic light menyala merah.
“Mbak mungkin kudu periksa deh! Mbak mimpi kayak gini udah lama loh!! Gara-gara mimpi buruk itu, Mbak kan sering nggak bisa tidur nyenyak di malam hari. Masak mau kayak gini terus, Mbak??”
Ketika tengah menunggu lampu merah berubah menjadi hijau, Devina teringat akan ucapan adiknya tadi malam mengenai dokter konseling . Di mana kira-kira aku bisa menemukan dokter konseling yang sesuai?? Apa kira-kira mereka akan percaya dengan cerita mimpi-mimpiku selama ini?
Membahas soal mimpi-mimpi buruknya selama ini, Devina berusaha mengingat lagi kapan mimpi-mimpi buruk itu dulu datang dalam hidupnya.
“Apa ini, Ayah?”
“Ular.”
“Kenapa Ayah memelihara ular di rumah? Bukankah ular itu hewan yang berbahaya??”
“Nggak. Ular ini nggak berbahaya, Devina. Coba saja kamu sentuh dan pegang!! Ular ini … tidak akan menyerangmu!”
“Ayah nggak bohong??”
“Nggak, Ayah nggak bohong!”
Ingatan lama Devina tentang masa kecilnya bersama dengan ayahnya tiba-tiba muncul di dalam benaknya. Dalam ingatan yang sudah tertumpuk dengan ingatan lain dan menjadi lumutan, Devina bisa mengingat dengan jelas bahwa di masa kecilnya Devina sering bermain dengan ular peliharaan milik ayahnya.
Apa ular itu pernah menyerangku? Pertanyaan itu muncul di kepala Devina ketika berusaha menghubungkan mimpinya dengan apa yang terekam dalam ingatan kecilnya. Mungkinkah aku lupa jika ular itu pernah menyerangku dan ingatanku membuatku terus bermimpi buruk karena apa yang aku lupakan??
Tinnnnn!!
Suara klakson beberapa kendaraan belakang Devina berbunyi di waktu yang nyaris bersamaan dan membuat Devina tersentak kaget. Devina melirik lampu traffic light yang kini sudah berwarna hijau. Ahh, sudah hijau rupanya! Devina yang terlalu asyik dengan pikirannya tidak menyadari jika 45 detik waktu menunggunya telah habis.
Br-
Devina tadinya ingin menarik gas di setirnya. Tapi melihat ada seorang kakek tua yang masih menyeberang, Devina mengurungkan niatnya dan tetap di posisinya menunggu kakek itu menyeberang melewati Devina.
Tinnnnnnn!!!
Suara klakson banyak kendaraan di belakang Devina berbunyi lagi dan kali ini lebih memekakkan telinag Devina. Sialan!! Apa kalian nggak lihat masih ada yang nyebrang??? Devina berteriak di dalam benaknya karena merasa semua orang sudah buta karena tidak bisa melihat kakek tua yang sedang menyeberang jalan.
Tinnnn!!!!
Bunyi klakson terdengar lagi dan kali ini kesabaran Devina sudah hampir habis. Devina nyaris saja menoleh ke belakangnya untuk berteriak, tapi Devina menghentikan niatnya ketika ada seorang pria muda yang membantu kakek tua menyeberang.
Pria itu tersenyum ke arah Devina seolah ingin berterima kasih kepada Devina yang telah berusaha membantu kakek tua itu. Devina membalas senyuman pria muda itu dengan senyuman kecilnya. Masih ada orang baik rupanya.
*
“Tumben kok baru dateng, Dev??” Rilian rekan kerja satu departemen Devina yang sudah menjadi bekerja bersamanya selama empat tahun menyapa Devina dengan kerutan alisnya ketika melihat Devina datang telat dari biasanya.
“Ketahan lampu merah di perempatan tadi.” Devina membalas sembari meletakkan tas kerjanya dan duduk di kursi kerjanya. Seperti kegiatannya sehari-hari, Devina yang duduk di meja kerjanya langsung menyalakan komputernya untuk memeriksa email yang masuk.
Rilian harusnya sudah kembali ke meja kerjanya. Tapi Rilian masih berdiri di dekat meja kerja Devina dan memperhatikan Devina dengan saksama.
“Kenapa kamu liat aku gitu?” tanya Devina.
“Itu … “ Rilian menunjuk ke arah mata Devina dan lingkaran hitam di bawahnya. “Kamu kurang tidur lagi, Dev?? Apa masih mimpi buruk soal ular itu??”
Selain keluarganya, Rilian lah satu-satunya teman kerja Devina yang tahu masalah tidur Devina dan mimpi-mimpi buruknya selama ini.
“Ya.” Devina menganggukkan kepalanya. “Semalam mimpinya lebih parah dari sebelumnya. Biasanya aku cuma dikejar-kejar, tapi tadi malam aku berhasil ditangkap ular itu dan dimakan.”
Eh??” Rilian bergidik ngeri seperti sedang membayangkan apa yang baru saja Devina ceritakan padanya. “Di tempatku … arti mimpi dikejar ular itu artinya mau ketemu jodoh. Tapi sepertinya mimpi kamu itu agak lain yah, Dev!!”
Devina melirik tajam ke arah Rilian karena merasa tersindir. “Apa kamu bilang gitu karena dari dulu sampe sekarang aku nggak pernah punya pacar??”
“Ha ha ha!! Aku cuma bercanda, Dev.” Rilian langsung memasang wajah tertawanya di depan Devina.
“Yah … tapi omonganmu emang benar juga. Beberapa tetanggaku juga mengatakan hal yang sama.” Devina langsung mengubah lirikan tajamnya dengan senyuman di wajahnya.
“Mau dibiarin kayak gitu aja? Kamu kayak gini bukannya udah lama?” Rilian kini melihat Devina dengan wajah khawatir dan cemas.
“Rencananya aku mau cari dokter psikolog buat konseling . Kamu punya saran nggak? Kamu kan punya banyak kenalan soalnya mantan pacar kamu banyak.” Devina membalas sindiran Rilian tadi.
“Kamu nyindir aku??” Rilian yang kembali ke tempat duduknya langsung melirik tajam ke arah Devina.
“Balas yang tadi.” Devina mengerlingkan satu matanya sebagai tanda dirinya sedang bercanda.
“Ha ha ha!! Kita impas kalo gitu. Tapi kebetulan banget kamu cari dokter psikolg, Dev.”
“Emang ada??” Devina langsung melihat Rilian dengan wajah penuh harap.
“Kebetulan di dekat sini ada dokter psikolog yang baru buka prktik, kira-kira baru semingguan buka. Mau coba ke sana??” Rilian menawarkan seolah dirinya adalah tim marketing dari dokter psikolog yang dimaksudnya. “Kata temenku lumayan bagus loh di sana.”
“Kalo kamu anterin, aku mau ke sana. Gimana? Mau anterin aku??”
“Ya karena kamu yang minta, aku kudu ikut lah.”
Rilian bicara dengan nada senangnya, tapi Devina yang sudah sangat mengenal Rilian tahu betul arti dari nada senang dan raut wajahnya sekarang ini.
“Jangan bilang kalo dokternya ganteng makanya kamu mau ikut!!” Devina mencoba menerka.
“He he he!” Rilian tertawa kecil karena Devina menebak dengan baik niat di dalam kepalanya. “Kamu bener, Dev! Kata temenku, dokternya ganteng kayak oppa korea.”
Eh?? Ternyata …
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments