Ting
Notifikasi masuk kedalam ponsel Adifa, mata gadis itu melebar dengan senyum manis yang perlahan terbit di bibir merah kecoklatanya melihat angka yang besar menurutnya. Hem, besar versi Difa, bukan besar versi orang lain, karena gajinya masih standar UMR. Setelah tadi seharian menunggu harap-harap cemas takut Dirga memotong gajinya gara-gara ia menolak menjadi istri simpananya. Sedikit mengherankan juga sih kenapa Dirga tidak melakukan itu, apalagi kejadian tadi pagi Dirga seolah melindunginya. Tapi apakah Adifa harus berterima kasih? No, Adifa tidak perlu melakukan itu.
Ting
Sebuah notifikasi pesan masuk lagi, senyum bahagia yang tadi sempat menghiasi bibir Adifa kini lenyap setelah membaca pesan dari seseorang yang sangat ia hindari. Siapa lagi yang mengiriminya pesan kalau bukan Dirga si brengsek untuk mengajaknya ketemuan. Hah, pede sekali dia mengajak Adifa ketemuan setelah kejadian tadi. Adifa tidak ingin mencari penyakit dengan membuat masalah dengan orang kaya.
Menghiraukan pesan dari Dirga, Adifa membereskan pekerjaanya, memberi laporan dan izin pulang setelah dirasa tidak ada yang kurang lagi. Melajukan motor judulnya yang masih terlihat gagah meninggalkan kawasan yang penuh truk kontainer menuju rumahnya.
"Assalamualaikum." Adifa mengucapkan salam dengan begitu semangat yang dijawab serempak oleh keluarganya yang sedang berkumpul di ruang tamu sekaligus ruang keluarga.
Diruang yang tidak terlalu besar itu terdapat satu bupet jadul yang sebagian kayunya telah diukir estetik oleh rayap. Dibupet itu tidak ada hiasan barang berharga mahal apapun, hanya terdapat sebuah tivi tabung, dan beberapa koleksi cangkir, mangkuk, serta beberapa pajangan foto keluarga bahagia mereka. Disana juga terdapat satu sofa panjang dan single jadul, beserta meja panjang yang di selimuti taplak kotak-kotak berwarna merah.
"Gimana keadaan Mama?" tanyanya mencium punggung tangan sang mama.
"Alhamdulillah udah mendingan, " jawab Kinan, sang mama. "Kamu pasti kecapean ya?" tanya Kinan melihat wajah lelah Adifa.
"Nggak kok, capek tuh kalo nganggur kayak yang ono-noh," ujarnya menyindir sang adik yang asik bermain game.
"Apasih Kak, Angga kan masih sekolah," sahut Angga tanpa mengalihkan pandanganya dari gadgetnya.
"Kakak tuh nggak ngelarang kamu buat main game, asal menghasilkan. Bisa tidak?"
"Bisa, monopoli." Adifa menghela nafas mendengar jawaban asal adiknya. "Angga mau nongkrong, ah. Kakak nggak kemana-mana kan?" Angga menatap Adifa.
"Dia hari ini jagain Mama benar nggak, Ma?" Adifa memastikan dulu adiknya sebelum memberi izin. Kinan tersenyum mengangguk.
"Apasih, nggak percayaan banget sama adeknya."
"Sampai jam sepuluh, lewat dari itu nggak ada uang jajan ataupun bensin." Ancamnya yang membuat Angga misu-misu. Tapi beruntung selama ini adiknya manut saja padanya.
"Selalu ada embel-embelnya," protes Angga bangkit dari duduk angtengnya. Memakai hodie dan berlalu keluar menuju warung dimana ia dan teman-temanya biasa nongkrong.
"Mama udah makan?" tanya Adifa. Kinan hanya menganggukkan kepala. "Papa kemana, Ma? Kok nggak kelihatan?" tanya Adifa menelisik setiap ruangan dan tidak mendapati keberadaan papanya.
"Lagi keluar, ketemu temanya katanya," jawab Kinan bohong. Karena Gunawan ngojek online meminjam akun dan motor tetangganya. Gunawan tidak betah hanya mengandalkan anak gadisnya banting tulang mencari nafkah untuk mereka. Sedangkan dia sendiri masih sehat dan bugar.
Adifa mengangguk, lalu berpamitan untuk ke kamar. Sesampainya di kamar, nyatanya Adifa tidak langsung mandi. Dia menghitung dulu sisa gajinya setelah membayar hutang.
Gaji : 5,5 jt.
Bayar Bank : 2jt
Bayar Diana : 1jt
Listrik : 300.000
Make up : 500.000
Uang Mama : 1jt
Uang jajan + bensin Angga : 500.000
Sisa : 1,2 jt.
Huft, Adifa menghela nafas panjang. Ini belum termasuk uang sekolah Angga, setiap kali gajian hanya numpang lewat. Kemana lagi dia harus mencari uang tambahan? Sisa uangnya tidak akan cukup untuk menyambung hidup sebulan kedepan.
Lelah, sehabis gajian bukanya semangat, tapi malah nambah pikiran. Jika sedang seperti ini, apa lebih baik dia menikah? Dan menerima tawaran Dirga menjadi istri simpananya agar dia bisa memiliki banyak uang tidak memikirkan kebutuhan sehari-harinya yang pas-pasan.
Ya Allah, begitu besar godaan mu.
Tidak! Tidak Adifa. Difa menggelengkan kepalanya menolak apa yang terlintas di pikiranya.
Disaat sedang kusut, ponsel Adifa berdering, dan betapa terkejutnya Difa ketika melihat nama pemanggil itu, 'Dirga peyot'. Astaga, apa ini jawaban atas kerisauanya? Apa iya dia harus menjadi istri simpanan Dirga?
Malas mengangkat panggilan itu, Difa membiarkan sampai dering itu berhenti sendiri. Namun tak lama sebuah pesan masuk.
"Temui aku didepan, atau aku nekat datang ke rumah mu."
Oh Tuhan, kenapa Dirga sekarang jadi senekat ini? Tak ingin membuat masalah karena orang tua Difa tidak pernah tahu tentang Dirga, mau tak mau Difa menyeret kakinya keluar kamar untuk menemui laki-laki menyebalkan itu.
"Difa mau kedepan sebentar, Ma."
"Loh, kamu belum mandi?" bukannya memberikan izin, Kinan mengomentari putrinya yang masih mengenakan pakaian kerjanya.
"Belum, shampo Difa habis. Ini mau kedepan dulu," jawab Difa berbohong.
"Telepon Angga saja suruh beliin."
"Nggak papa Ma, tuh bocah malah salah beli nanti." Tak ingin mamanya banyak tanya , cepat-cepat Adifa menstarter motornya meninggalkan mamanya seorang diri dirumah.
"Ngga, Kakak mau ke alfaapril, Mama sendiri dirumah. Kamu temanin ya," teriak Adifa ketika melewati warung tempat Angga nongkrong.
Angga yang sedang asik nobar bareng teman tongkronganya mengangkat kepalanya. Baru mau protes, tapi Adifa sudah ngacir bersama motornya. "Aish, sih Kakak. Nggak bisa lihat orang enak," dumelnya namun tetap menurunkan kaki dan pulang.
Adifa melihat mobil Dirga terparkir di depan almaapril menghampiri mobil Dirga. Dirga yang didalam monil melihat motor Adifa langsung keluar dari mobilnya.
"Bapak mau ngapain sih ngajak saya ketemu malem-malem begini? Bapak tahu kalau apa yang Bapak lakuin bisa ketahuan sama istri Bapak?" Adifa langsung meyemprot Dirga dengan kemarahanya.
"Aku mau lihat kamu, Adifa. Aku merindukan kamu, sebulan kamu menjadi korlap membuat aku jarang melihat mu," jawabnya enteng yang membuat perut Adifa bergejolak mual. "Bisa kita cari tempat yang nyaman buat kita ngobrol lebih enak? Restoran atau apa gitu?"
"Maaf Pak, tidak bisa kalau bukan urusan pekerjaan." Tolak Adifa masih sopan. Bagaimanapun Dirga adalah atasanya.
"Ck, kamu kenapa sih nolak aku terus? Perempuan lain diluaran sana banyak yang menawarkan dirinya untuk menjadi istri simpanan ku, seharusnya kamu beruntung karena aku berbaik hati ingin meringankan beban yang kamu pikul sendiri."
Ya tuhan, rayuan apa lagi ini? Benar, beban Adifa sedang begitu berat.
"Maaf, Pak. Tolong jangan rayu-rayu saya untuk menjadi istri simpanan Bapak. Saya tidak akan mau sampai kapanpun, meski saya sedang butuh uang yang banyak."
Disaat yang bersamaan Mahawira lewat dan secara tidak sengaja mendengar ucapan Difa. Mahawira melirik kearah keduanya untuk melihat wajah dua orang yang sedang berdebat itu. Mahawira cukup kaget melihat wanita itu adalah Adifa, wanita yang tadi pagi di tolongnya.
Karena merasa mereka tidak saling mengenal, Mahawira menghiraukan keduanya dan berlalu masuk ke minimarket untuk membeli minuman.
Tak lama Mahawira sedang memilih minuman, tiba-tiba Adifa sudah berada di samping Mahawira sedang mengatur nafas menahan kesal.
"Hai, kamu lagi?" tanya Mahawira menyapa Adifa lebih dulu. Adifa pun menoleh kesamping untuk melihat siapa yang menyapanya.
Bule itu lagi? Dia masih mengenaliku?
"Apa kaki mu sudah sembuh?" tanya Mahawira membuyarkan lamunan Adifa.
"Yes, i'm have revovery." Adifa masih menjawab menggunakan bahasa inggris meski mendengar Mahawira menggunakan bahasa Indonesia. Entahlah, gugup membuat Adifa tak bisa fokus, jantungnya selalu berdebar setiap melihat wajah Mahawira. Dan Adifa merasa speechless karena bule ini masih menanyakan keadaan kakinya. Sedangkan dia sendiri tidak ingat lagi karena kehidupannya lebih menyakitkan di banding luka yang tidak seberapa.
"Syukurlah, kalau begitu saya duluan." Mahawira berlalu menuju kasir setelah ia rasa minuman yang ia butuhkan telah lengkap untuk berkumpul bersama teman-temanya.
Adifa sendiri, dia masih mematung ditempatnya, matanya tak lekat menatap Mahawira yang sedang membayar belanjaanya. Hingga Mahawira selesai, Adifa masih menatap Mahawira dari kejauhan, ketika Mahawira melihat kearahnya dan melemparkan senyum maut yang mematikan bagi Adifa. Buru-buru Adifa membuang muka karena malu telah kegep memperhatikan Mahawira sejak tadi.
"Malu-maluin banget sih, Dif. Kenapa nggak diajak kenalan aja sekalian?" Adifa memukul kepalanya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
❣️yu_chan❣️
Ayo Makk,semangat up novelmu bikin aq gregett gak sabar nunggu kelanjutannya.
yokkk bisa yokkk sehari 2 bab Makk semangatt" bisa..😁🙏🙏
2023-10-13
2
Muhammad Dimas Prasetyo
habis gajian bukannya senang tapi malah pusing ya dif...samaan dong kita
2023-10-12
2
Maaaaaak"utun"..nie🍉
hemmmm..senasiiib gaji cumn numpang lwt doang🤣🤣
2023-10-12
2