Raka sakit
Setelah Insiden semalam, Raka tidak terlihat pagi ini. Dia lebih dulu ke sekolah dan hanya meninggalkanku uang dua puluh ribuan di depan pintu kamar. Dasar Raka memang bodoh, nyebelin.
Aku keluar dari angkot, lalu berjalan beberapa meter menuju gerbang sekolah.
Ini sudah jam setengah delapan, sudah terlambat dua puluh menit, kulihat Bu Sinting sedang menunggu siswa yang telat, seperti aku. Dari jarak sepuluh langkah Bu Sinting terus menatapku tajam, tak kalah tajam seperti matanya si galak Raka.
"ALUNA!" suara Bu Sinting merambat di gendang telingaku, lalu aku terkekeh melihatnya.
"Sudah berapa kali Ibu bilang kalau datang itu tidak boleh terlambat!" suara Bu Sinting melengking nyaring, lalu membukakan gerbang sekolah sambil menjewer telingaku sekaligus menyeretku masuk ke sekolah.
"Wuaaaah!" aku berteriak keras, aku rasa telingaku ini sudah sangat merah. Nggak bu sinting nggak si galak, sama-sama hobi jewer kuping orang, menyebalkan.
"Ikut saya kelapangan." umpat Bu Sintung.
Bu Sinting ini adalah guru BK guru kesayangan anak osis yang suka menghukum anak-anak anti Mainstream.
"Berdiri di sini dan beri hormat pada bendera." tutur Bu Sinting.
Aku mendengus kesal, lalu menatapnya sedikit tidak suka. "Tatapan macam apa itu." umpat Bu Sinting.
Aku segera berdiri menghadap tiang bendera, lalu hormat sambil mendongak ke atas, hukaman seperti ini si, sudah sering aku terima, ini bukan masalah besar.
"Teruskan seperti itu sampai jam istirahat!" kata Bu Sinting tajam. "Awas kalau berulah lagi." ancamnya. Dia pergi di ujung lapangan lalu seperti tengah memanggil seseorang dan bicara padanya.
Dari jauh aku melihat Raka menghampiriku, dia menatapku dingin, lalu ikut berdiri di sampingku.
"Apa lo liat-liat." kataku sinis, dia hanya diam, masih memandangiku dengan tatapan dingin.
"Bisa nggak sih, nggak usah telat masuk sekolah." gumamnya.
Aku mendengus kesal "Harusnya lo bangunin gue, bukan malah ninggalin gue." dengusku.
"Gue kangen Mama." seruku menatapnya.
Dia menatapku, kali ini tanpa tatapan dinginnya. "Mungkin akhir pekan baru bisa kesana." jawabnya.
"Kenapa, kenapa harus akhir pekan." omelku.
"Karena gue sibuk, Luna."
"Gue nggak minta lo ikut juga ke rumah, gue minta uang atau gue minjem motor lo buat pulang." ocehku.
"Motornya di pake Luna, buat gue ngajar les, dan gue belum punya uang buat ongkos sekaligus bawaan buat Mama." tuturnya.
"Lo ngajar les?"
"Menurut lo, selama ini uang lo itu darimana kalau bukan dari gue ngajar les." ocehnya, dia menatapku sinis.
"Lo bohong. Mama bilang uang bulananku Mama kasih sama lo." dengusku.
"Nggak gue terima, gue pengen belajar hidup mandiri." gumamnya. Dia menatapku, lalu tersenyum simpul,
Aku menatapnya sinis, mencari kebohongan dari wajahnya. Namun naas wajah berbohong itu tidak juga aku temukan.
"Luna, gue cape." gumamnya, dia menatapku, lalu beranjak mendekatiku.
Dia bersandar di pundakku. Dan semuanya terasa berat. Raka ambruk seketika di hadapanku, jika saja aku tidak reflek menopang nya.
Aku meringis ketika punggung tanganku tergores semen lapangan, sudah di pastikan bahwa punggung tanganku terluka.
"TOLONG..." aku memekik se-kencang mungkin, berharap banyak orang datang menghampiri.
"TOLONGIN GUE!" suara toa ku nggak sia-sia. Terbukti beberapa orang langsung lari menghampiriku.
"Raka kenapa?" tanya seorang perempuan, aku nggak tahu siapa namanya.
"Mana gue tahu, dia pingsan tiba-tiba." kataku.
Para lelaki menggantikanku menopang badannya yang berat, dua orang membopongnya menuju UKS, aku hanya diam, bingung mau melakukan apa. Aku memang sedikit cemas, tapi entahlah...
...***...
Jam istirahat sudah berbunyi beberapa menit lalu, hukumanku sudah berakhir, aku buru-buru berjalan menuju UKS.
Dari luar, aku melihat Sela duduk di pinggir matras tempat Raka tidur.
"Udah baikan?" tanya Sela pada Raka, Raka hanya diam, lalu matanya melirik ke arah jendela, ke arahku.
"Aluna." ucapnya, Raka menatapku di susul dengan Sela.
Aku berdeham, segera masuk keruang UKS.
"Ngapain lo kesini." kata Raka sinis, aku menatapnya tak kalah sinis.
"Gue nggak butuh jengukan dari lo." gumamnya. Aku berdecik, menatapnya tajam. "Ge-er. Gue juga bukan mau jenguk lo, gue mau obatin luka gue." sanggahku.
Sela hanya diam memperhatikanku yang sedang menatap tajam ke arah mereka.
Aku segera menuju kotak P3K dan mencari obat merah, sebelumnya lukaku memang sudah di basuh dengan air, jadi tinggal ku obati dengan obat merah saja.
Betadine aku teteskan pada Kasa Steril, lalu ku timpa pada punggung tanganku yang lecet, lukanya tidak dalam, tapi tetap terasa perih.
Setelah semuanya selesai, aku meletakan kembali obat-obatan yang aku ambil. Aku berjalan gontai, melewati Matrak yang Raka duduki. Dia menatapku dingin, sedang Sela hanya menatapku datar.
"Raka, aku keluar sebentar yah, mau ke kamar mandi dulu." ungkap Sela, si nyebelin Raka hanya mengangguk, kemudian Sela melewatiku dan berlari keluar ruangan.
Kini, tinggal aku dan Raka di ruang UKS, Raka tampak menepuk-nemuk pinggir matras menyuruhku untuk mendekatinya.
Aku menurut, ikut duduk di samping Raka.
"Harusnya lo disini saat suami lo sakit." tutur Raka. Aku hanya menatapnya sinis.
"Gue nggak anggep lo suami gue si." kataku sarkas. Dia terkekeh, lalu tiba-tiba memeluku begitu saja.
Aku sempet memberontak sebelum akhirnya dia membisikan sesuatu di telingaku. "Biarkan saja seperti ini, gue cape Luna..." bisiknya pelan.
Ya, Raka itu, meski nyebelin, galak, sangar dan apalah-apalah. Dia itu ternyata nggak bisa tidur tanpa meluk boneka beruangnya, ya, Raka selalu butuh pelukan, selalu butuh meluk, kadang kalau di rumah dia tanpa malu membawa boneka beruang besarnya itu di ruang TV, mengajaknya menonton bak kencan. Tapi itu tidak masalah, sebab semua orang punya sisi lain yang di luar dari kebiasaannya.
Sudah sekitar dua menit, Raka tidak juga melepas pelukannya. "Udah kali." ucapku sedikit sewot.
"Bentar lagi..." gumamnya.
"Raka yang galak, bodoh, nyebelin itu kemana." ocehku.
Dia hanya diam, lalu lebih mengeratkan pelukannya.
"Luna..." Gumamnya, dia melepaskan pelukannya, aku menatapnya dan kulihat darah mengalir dari hidungnya.
"Lo mimisan." kataku panik.
"Nggak apa-apa, udah biasa. Gue pengen tidur." gumamnya.
Aku hanya mendengarkan ucapannya, aku mengambil tisu dari sakuku, karena di sini nggak ada tisu, mungkin habis. Tapi sayang, Darahnya tidak juga berhenti.
Aku membuka rompi seragamku, lalu segera ku cecap darah dari hidungnya sampai tidak ada lagi darah yang mengalir.
Baju seragamku banyak darah, apalagi rompiku, dan tisuku dua bungkus lenyap seketika. Sedangkan dia hanya menatapku datar.
"Luna..." gumamnya.
Dia berbaring di matras, lalu menarikku dalam dekapannya. "Gini aja yah." gumamnya.
"Lo manja kalau lagi sakit." kataku protes.
*CUPLIKAN EPISODE SELANJUTNYA*
Aku membolos dari sekolah, ya kali aku nggak bolos sedangkan seragamku sudah banyak darah bekas mimisan Raka. Oh iya, Raka di Pulang-kan kerumah Mama, orang tua Raka. Karena teman-temannya tahu Raka tinggal disana. Aku juga ikut pulang kerumah mama Raka, menemui nya.
Reaksi Mama saat aku kesana sangat heboh karena banyak bercak darah di seragamku, aku menjelaskan kalau Raka mimisan dan pakaianku kena korbannya.
"Ivan itu sejak kecil memang gampang sakit, apalagi kalau kecapean." tutur Mama.
"Terus, Ivan juga kalau lagi sakit manja banget, mama harap kamu sabar yah ngadepin Ivan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Maaf thor masukan,Cuplikan itu bagus Tapi jangan kepanjangan ya..🙏🙏😁
2024-10-20
0
Qaisaa Nazarudin
Apa Raka sakit kangker? kok mimisan?
2024-10-20
0
Qaisaa Nazarudin
lha si plin plan rupanya Raka..Tadi aja sinis gitu,katanya gak butuh dijenguk Luna,kok sekarang jadi laen..🤦🤦🙄🙄
2024-10-20
0