Bab 2 Raymond

"Raymond ayo main sini sama anak-anak yang lain!" Guru itu melambaikan tangannya pada Raymond yang sedang membaca buku.

"Tidak, bu. Aku tidak suka bermain. Aku lebih suka membaca buku ensiklopedia." Guru yang bernama Heni itu mendekati Raymond dan melihat buku yang di baca bocah kecil itu.

Melihat tulisan yang kecil dan cukup berat itu membuat kepala Heni sedikit sakit. Dia tidak menyangka kalau Raymond bisa membaca.

"Jadi Raymond sudah bisa membaca ya? Hebat sekali. Tapi bukannya untuk pertama kali sebaiknya baca tentang cerita bergambar saja?"

"Bu guru, ini bukan pertama kali. Aku sudah pernah membaca buku bergambar tapi tidak menyenangkan karena isinya terlalu kekanakan."

Heni tersentak kaget dengan ucapan Raymond. "Nak memangnya kamu ini umur berapa? Kamu kan baru 5 tahun? Jika anak 5 tahun membaca buku bergambar itu kekanakan, apa bocah 5 tahun yang membaca ensiklopedia itu normal?" Batin Heni.

Kedua bola mata Raymond begitu menggemaskan saat menatap Bu Heni. Dia hanya bisa menghela napas dan membiarkan Raymond membaca buku. Beberapa usaha dia lakukan agar Raymond bermain dengan anak yang lain tapi bocah kecil itu tetap diam dna membaca buku ditempat duduknya.

Setelah pekerjaan Lusiana selesai dia pun segera melajukan mobilnya untuk menjemput Raymond. Tk Cahaya Gemilang adalah sekolah tempat Raymond mulai belajar tentang kehidupan sosial.

Lusiana membuka pintu kelas dan melihat Raymond yang awalnya duduk di meja berlarian ke arahnya. "Eh pelan-pelan larinya nanti jatuh." Raymond langsung menghamburkan dirinya ke pelukan Lusiana.

"Mama." Tatapannya yang hangat dan merindukan ibunya terlihat jelas di mata Lusiana. Lusiana pun tersenyum lembut dan mengelus pipi Raymond yang terasa kenyal.

Lusiana berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Raymond. "Apa yang sedang Raymond lakukan?" Tanya Lusiana penasaran.

"Mama, aku dan yang lainnya sedang membuat origami. Lihat! Aku membuat bunga mawar untuk mama." Tangan kecil Raymond yang sedari tadi ada di belakang ternyata menyembunyikan bunga mawar yang dia buat menggunakan kertas origami.

Hati Lusiana menghangat dan dia tersenyum dengan bahagia saat menerima pemberian Raymond. "Bunganya sangat indah. Terima kasih, Raymond." Raymond pun tersenyum cerah, senyum yang jarang dia perlihatkan pada orang-orang. Senyum itu hanya khusus untuk mamanya.

Bu Heni menghampiri Lusiana dan Raymond kembali ke tempat duduknya untuk meneruskan membuat origami. Beberapa teman Raymond berdecak kagum karena origami dibuat berbagai bentuk seperti burung, pesawat, bintang, bunga dan lainnya. Dan hanya Raymond yang bisa melakukan semua itu.

Bu Heni dan Lusiana pun duduk berdampingan dan memulai obrolan. Setelah menanyakan keadaan Raymond, Bu Heni memulai pembicaraan yang lebih serius. "Bu Lusiana, sepertinya Raymond adalah anak yang jenius. Dia sudah bisa mengungguli semua mata pelajaran daripada temannya yang lain."

"Saya juga kagum karena dia sudah lancar membaca dan berhitung. Sepertinya Raymond bisa melanjutkan untuk masuk sekolah dasar tahun depan. " Lusiana sudah curiga sebelumnya bahwa Raymond memang bukan seperti anak pada umumnya. Dia terlalu cerdas.

Tapi sebenarnya, Lusiana tidak peduli mau anaknya jenius atau tidak yang penting Raymond tumbuh menjadi anak yang bahagia.

"Hanya saja Raymond kurang bisa bergaul dengan temannya. Dibandingkan bermain dengan teman, Raymond lebih suka membaca buku ensiklopedia. Dia juga bilang kalau buku bergambar terlalu kekanak-kanakan untuknya."

Lusiana langsung memanggil Raymond dan menasihatinya untuk bermain dengan teman-teman sekelasnya. "Mama, Raymond bukannya tidak mau bermain tapi permainan mereka membosankan."

Raymond menjelaskan pada Lusiana dan Bu Heni bahwa dia tidak suka bermain boneka, robot-robotan atau mainan yang biasa dimainkan anak seumuran mereka. Raymond lebih suka bermain rubik, catur, atau melipat origami seperti sekarang.

"Tunggu sebentar, dari mana kamu bisa main catur?" Raymond terlihat malu malu dan menjawab dia belajar melalui internet. Ada beberapa komputer di rumah sakit. Saat Raymond dirawat disana dan Lusiana tidak ada ditempat dia akan mengakses komputer dan memainkan banyak permainan.

"Mama kamu tidak akan marah, kan?" Mata berair Raymond membuat Lusiana hanya menghela napas dan berkata, "lain kali tidak boleh lama lama main komputer. Mama tidak larang Raymond kalau kamu bicara terus terang. Tapi memainkan komputer dalam waktu yang lama akan merusak mata. Kamu mengerti?"

Raymond mengangguk lemah. Lusiana lalu meminta ijin pada Bu Heni untuk Raymond pulang lebih awal karena dia ingin membawanya ke dokter untuk pemeriksaan.

Bu Heni mengantar hingga di depan kelas saja karena harus mengawasi murid yang lain. Dia melihat Raymond yang begitu ceria dan manja saat ada Lusiana. Berbeda saat mamanya tidak ada. Di kelas dia tidak banyak bicara kecuali teman-teman lain yang menyapanya. Raymond juga sulit bergaul dengan anak-anak lain karena memiliki pikiran yang berbeda.

Lusiana dan Raymond pun tiba di rumah sakit Kasayana. Mereka segera menemui dokter spesialis jantung yang merupakan teman dari Lusiana. Nama pria tampan dan memiliki senyum yang manis itu adalah Aryasatya.

"Raymond, kamu jangan capek-capek ya. Jangan olahraga terlalu berat." Raymond mengangguk dengan antusias terutama saat dia menerima coklat batangan dari Dokter Arya.

"Lusiana ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan tapi...." dokter Arya melihat Raymond dan menatapnya sedikit kasihan.

Lusiana paham dan membawa Raymond keruang tunggu di depan. "Raymond, ingat ya, jangan kemana-mana. Mama hanya akan bicara dengan dokter Arya beberapa menit. Tunggu di sini ya?"

Raymond mengangguk dengan patuh dan berkata, "Iya mama." Lusiana kembali masuk ke ruangan dokter dan mendengar penjelasan dari Arya.

"Lusiana, kamu harus memberi persetujuan untuk operasi Raymond. 3 bulan lagi Dokter Cahyadi akan kembali ke Indonesia dengan membawa beberapa dokter ahli jantung. Mereka pasti bisa mengoperasi Raymond."

Lusiana pun bertanya, "Kali ini berapa persen keberhasilan untuk operasi? Apakah itu akan sama seperti yang pernah kamu katakan waktu itu?" Wajah Lusiana cemas dan mulai terlihat pucat.

Lusiana meletakkan tangannya diatas meja dan tergenggam erat karena cemas. Untuk menenangkan Lusiana di depannya Arya memegang tangan Lusiana. Itu membuat Lusiana sedikit kaget dan menarik tangannya. Dia agak merasa kurang nyaman dengan perlakuan Arya. Terlihat wajah Arya juga agak canggung.

"Kamu tenang saja, menurut Dokter Cahyadi keberhasilan operasi kali ini bisa mencapai 75%." Lusiana merasa lebih rileks setelah mendengar penuturan Arya. Sebelumnya persentase keberhasilan operasi itu hanya 30%. Tentu saja Lusiana tidak akan mengambil risiko serendah itu. Dia bisa saja kehilangan anak satu-satunya yang dia miliki.

Dia pun memutuskan untuk menandatangi surat persetujuan operasi yang akan dilakukan 3 bulan lagi. "Masih ada 3 bulan. Semoga saja Raymond tidak mengalami serangan jantung lagi. Bagaimana pun aku tidak tega melihat Raymond menderita," ucapnya lirih.

Ibu mana yang tega melihat anaknya jatuh sakit dengan berbagai selang yang masuk ke mulut dan urat nadinya. Jika mengingat saat itu Lusiana merasa seperti jatuh kedalam jurang yang dalam. Untuk pertama kalinya, Raymond terkena serangan jantung.

Bagaimana anak sekecil itu bisa menahan penderitaan?

Setiap hari harus minum obat dengan teratur. Tidak bisa bermain bola dengan teman-temannya. Tidak bisa berlarian kesana kemari seperti anak pada umumnya. Lusiana berharap operasi ini segera dilakukan agar Raymond bisa hidup normal seperti anak-anak lainnya.

Lusiana keluar dari ruangan bersama Dokter Arya dan melihat di ruang tunggu tidak ada Raymond. Wajah Lusiana panik, mereka pun berkeliling rumah sakit mencari Raymond.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!