Arif tiba di rumah kontrakan yang sederhana diantar pak Broto. Kepalanya berdenyut kencang dan tubuhnya mulai menggigil. Efek dari luka yang cukup panjang dan sedikit dalam di kepala. Arif terpaksa membatalkan niat untuk membantu Bu Yati mengerjakan proposal sekolah.
"Pak Arif serius ini nggak apa-apa saya tinggal? Nanti kalo kenapa kenapa gimana?" Pak Broto membantu membawakan berkas dalam map dan tas milik Arif.
"Iya pak, beneran. Bapak balik aja ke sekolah. Lagian kalo bapak disini saya yang sungkan sama warga dikira jeruk makan jeruk nanti!" Arif mencoba bercanda sambil menahan nyeri kepalanya.
"Heleh pak Arif ini jauh bener pikirannya." Pak Broto tergelak mendengar jawaban Arif. "Ya udah kalo gitu biar saya panggilin tetangga atau gimana pak buat nemenin?"
"Nggak usah pak, udah deh balik lagi nanti dicari lagi sama pak Rus."
"Ya udah kalo gitu pak, saya tinggal dulu!"
"Eeh, pak Broto sebentar deh. Saya mau nanya sesuatu!"
"Ada apa ya pak?" Lelaki itu menghentikan langkahnya.
"Bapak sudah lama kerja jadi satpam di sekolah?" Selidik Arif.
"Sekitar delapan belas tahunan pak, ada apa memangnya?"
"Ehm, apa betul sekolah kita angker? Terutama lantai dua, di ruang lab?"
Pak Broto seketika berubah sikap, gugup dan serba salah. "Eh, itu … duh gimana ya saya jawabnya?"
Arif mengernyit heran, "Ya tinggal jawab aja iya apa nggak kok bingung pak!"
"Eh, iya aja deh! Udah ya pak Arif saya pamit dulu!"
Pak Broto buru-buru menyalakan mesin motornya dan berlalu pergi.
Peristiwa itu memang disembunyikan, apa sebegitu seriusnya sampai semua staf dan karyawan enggan bicara?
Arif merebahkan tubuhnya di ranjang, berusaha mengingat kembali kejadian seram dalam ruangan itu. Bulu halusnya berdiri kala wajah seram itu kembali muncul menggantung di pelupuk mata. Tatapan mata tajam menusuk, menghadirkan kembali sosok menakutkan dalam benaknya, Arif bahkan bisa mencium aroma itu … aroma kematian!
Bunyi ketukan pintu yang cukup keras mengagetkan dirinya. Suara yang sangat dikenalnya terdengar begitu lantang diluar sana seolah ingin merobohkan pintu kontrakannya yang mulai lapuk dimakan usia.
"Rif, kamu di rumah kan?"
"Iya, iya, sabar … ada apaan sih? Pintu digedor sampe mau lepas gini?!" Arif membuka pintu seraya bersungut-sungut.
Dulmatin, sahabatnya menyeringai jenaka. Tapi seringainya itu memudar kala melihat wajah pucat dan perban putih di kepala Arif.
"Lah, napa tu kepala, Rif? Habis dicangkok?"
"Kampret! Kamu kira kepalaku pohon mangga?!"
Dulmatin memaksa masuk meski Arif masih berdiri diambang pintu. Ia langsung menerobos ke dapur kecil Arif dan dengan cekatan membuat segelas kopi untuk dirinya sendiri.
"Kalau begini tiap hari bisa bangkrut aku biayain kamu ngopi!" keluh Arif kesal melihat tingkah sahabatnya yang nyaris setiap hari mampir untuk sekedar ngopi bersama.
Dulmatin tak menghiraukan gerutuan Arif dengan santai dan cengengesan ia menuangkan air panas ke dalam gelasnya.
"Mau juga? Sekalian bikin nih?!"
Arif mengacungkan jempolnya, ia kembali merebahkan diri di sofa butut yang disediakan pemilik kontrakan.
"Tuh kenapa? Abis ciuman ma apaan, golok, bangku, balok, meja atau pengen nyobain ciuman sama aspal?"
"Mulut kamu itu lho Dul, bikin nggak enak nelen!" Arif hanya melirik kesal.
"Lah terus kenapa? Kecelakaan? Kan kamu nggak bawa motor Rif?" Dulmatin meniup-niup kopinya yang masih mengepulkan asap.
Arif tak segera menjawab, ia menegakkan punggung dan menatap sahabat kentalnya itu. "Dul, kamu percaya hantu?"
"Percayalah! Sebagai umat muslim kita wajib percaya sama yang gaib termasuk hantu. Kenapa emang, tumben nanya? Biasanya kamu kan paling takut sama jenis begituan Rif?"
"Iya juga sih. Dul, emang hantu bisa nongol siang-siang? Kok bisa ya?!" Kali ini Arif bertanya sambil mendekatkan tubuhnya pada Dulmatin.
"Jauhan dikit! Pake deketan, bukan mahram kesetrum bahaya!"
"Kampret lu! Masih waras kali Dul!"
Dulmatin menyesap kopinya selagi hangat, menikmati aroma kafein yang menenangkan. Ia kemudian menatap sahabatnya yang termenung dengan ekspresi berat.
"Hantu bisa muncul kapan aja, nggak kenal waktu. Dia bisa hadir semaunya asal dia kuat dan punya kemampuan. Asal tau aja ya, buat ngeliatin dirinya di dunia manusia, hantu itu butuh energi yang cukup besar. Kalau nggak sakti dan umurnya ratusan tahun susah, bro!"
Dulmatin menerangkan pada Arif demi memuaskan rasa ingin tahu sahabatnya itu. "Lagian tumben bener nanyain hantu-hantuan biasanya juga kamu anti begituan?" sambungnya lagi.
"Aku bingung Dul, tadi pagi ada murid yang datangin aku. Namanya Mayang!"
"Bagus dong, cakep? Bisa jadiin istri tuh kalo dah lulus besok! Mayan kan Rif daripada kagak laku-laku!" Dulmatin tertawa terbahak-bahak.
"Dia setan Dul, hantu, demit, bangsa lelembut!" seru Arif kesal karena sahabatnya terus menerus menggodanya.
"Uhuuuk!" Dulmatin tersedak mendengar jawaban Arif.
"Hantu di sekolah? Siang begini?"
"Nah kan, malah situ yang kaget sendiri! Makanya nggak usah godain mulu! Ya disekolah masa disini! Liat ni kepala sampai diobras!"
Dulmatin terkekeh geli, "Sori bro! Habisnya tumben bener nanyain gitu eh taunya kamu to baru kena apes! Trus gimana bro, tu hantu kamu mintain nomer nggak? Lumayan kan kalo keluar jadi duit!"
"Semprul kowe, Dul! Temen lagi susah malah diketawain pake nanya nomer segala! Ya nggak lah wong aku …,"
"Pingsan?!" kedua nya berkata bersamaan.
Arif dan Dulmatin pun terkekeh geli sejenak, Arif kemudian menceritakan pengalaman gaibnya pada Dulmatin. Dua kejadian seram di waktu yang berbeda hingga bagaimana akhirnya ia terkapar di lantai dengan kepala bocor.
"Aku nggak yakin kalau aku jatuh karena gendong itu demit Dul! Masa iya kena sudut meja sampai obrasan begini!" Arif menghabiskan kopi di gelasnya.
"Ya kalo kamu keberatan gendong tu anak nggak kuat jatuh kan bisa juga!" sahut Dulmatin serius.
Arif menggeleng, ia ingat betul jarak antara dirinya dan meja lab cukup jauh. Jika memang dia terjatuh tidak akan membentur meja. Jarak benda tumpul yang terdekat dengannya hanya wastafel. Logika Arif berjalan, tak mungkin jika wastafel bisa melukainya separah itu kecuali … seseorang dengan sengaja membenturkan kepalanya dengan keras.
Ponsel Arif berbunyi, pesan masuk dari Bu Suyati yang memohon pada Arif untuk tetap membantunya mengerjakan proposal bantuan. Bu Suyati terpaksa izin tidak masuk mengajar karena salah satu saudara dekatnya meninggal di luar kota.
"Waduuh, gawat Bro! Gawat, pie Iki!" Arif mengeluh setelah membalas pesan rekan gurunya itu.
"Aku kudu lembur, temenin aku ya Dul!"
"Lha kok aku Iki lho?! Aku bukan guru Rif mosok melu-melu ke sekolahan!" Dulmatin langsung menolak permintaan sahabatnya.
"Halah udah ikut aja! Temenin aku, kamu tinggal duduk diam main game! Deal ya!" Arif terus memaksa Dulmatin agar menemaninya.
"Nope, nggak ada bayaran no way!"
Arif akhirnya mengalah, dengan terpaksa ia mengeluarkan dompetnya dan mengibarkan uang seratus ribuan di depan Dulmatin. Kedua alisnya naik turun tak peduli dengan nyeri di kepalanya.
"Naah, ini baunya seger tuh! Oke deh, deal!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Ali B.U
next
2024-02-20
1
Ali B.U
kok jadi mengarah ke togel
2024-02-20
1
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
Dulmatin sahabat gak ada akhlak temen lagi kesusahan malahan di ketawain ampun dah 😅😅😅
2023-10-09
2