Di luar hujan mulai turun dengan deras. Isbell belum juga pulang. Padahal ini sudah dua jam lewat dari waktu biasanya dia pulang. Aku dan Jatnera menunggu di gubuk gelap dan lembab dengan perut yang kelaparan. Jatnera yang masih berusia tujuh tahun terus berkata kalau perutnya lapar.
Setiap kali dia merengek meminta makan rasanya aku ingin sekali memukulnya tetapi matanya yang selalu terlihat seperti seekor kucing yang minta di kasihani membuatku tidak tega. Aku mengambil inisiatif untuk pergi ke hotel dimana Isbell bekerja. Mungkin saja hari Ini Isbell mengambil sebungkus nasi lagi sehingga dia tidak dapat pulang secepat biasanya.
Tanpa payung aku meninggalkan gubuk tempat perlindunganku selama sepuluh tahun ini menelusuri hujan yang turun semakin deras. Jika tahu kalau aku akan kehujanan sebaiknya aku tidak perlu mandi tadi, pikirku. Mandi di tempat ini sangat sulit karena air tidak mudah di dapat. Karena memang sangat sulit untuk mendapatkannya.
Di tambah setiap tahun di Deapectrum bangunan mewah bertambah banyak. Kami yang tidak memiliki uang tidak akan mampu membelinya karena itu kami harus pergi ke sebuah air terjun yang berjarak sepuluh kilo dari sini. Untuk mandi di sungai itupun harus di lakukan secara bersembunyi karena bisa saja orang jahat melihat kalian dan pasti mereka akan melakukan hal buruk pada kalian.
Aku terus menelusuri jalan yang tanpa penerangan. Agar tidak terlihat orang jahat, itu sangat bagus tetapi berjalan di tempat segelap ini membuatku sulit berjalan dan tanah yang lengket seperti lem membuat langkahku sangat berat.
Hampir di setiap jalanan di Deapectrum masih di penuhi pepohonan yang tidak terurus. Pohon-pohon tersebut membuatku lebih beruntung karena dapat berjalan sambil bersembunyi agar tak ada orang yang melihat anak berusia sepuluh tahun berjalan di malam hari seperti sekarang ini.
Jika saja penjahat datang dan menangkapku, aku pasti akan di jual dan di jadikan seorang budak tanpa upah. Seumur hidup bekerja tanpa ada lagi hak asasi yang berlaku bagi diriku. Kadang aku juga mendengar dari beberapa orang kalau para penjahat mungkin saja menjadikan orang yang di tangkapnya sebagai makanan mereka. Itu sangat buruk tetapi begitulah hidup di tempat pembuangan ini.
Aku tidak tahu sampai kapan hidupku di tempat ini, atau mungkin saja sampai mati aku akan hidup di sini. Kalau itu terjadi aku lebih berharap hidupku tidak akan lama karena jika saja Isbell tidak ada mungkin sebaiknya aku mati.
Sebuah rombongan mobil terlihat dari kejauhan berjalan mendekati ke arahku. Dengan segera aku langsung berlindung di sela pohon pinus yang menjulang tinggi untuk bersembunyi. Enam mobil melintas tanpa seorangpun melihatku. Tetapi tiba-tiba jendela mobil ketujuh di buka oleh seorang anak laki-laki ketika melintasiku. Anak laki-laki itu memandang ke arahku tetapi aku tidak yakin kalau dia melihatku karena tak ada ekspresi dari wajahnya.
Sepertinya benar kalau dia tidak melihatku karena aku yang bertubuh kecil ini bersembunyi di balik pohon dan keadaan sangat gelap. Genap sepuluh mobil mewah melintas melewatiku. Aku membuang napas lega karena tak ada yang menyadari keberadaanku di jalan ini.
Mereka pasti rombongan orang-orang konglomerat yang memiliki salah satu bangunan mewah di Deapectrum. Dan sepertinya mereka menuju Pond Jae, hotel di mana Isbell menjadi budak. Aku merasa iri pada anak laki-laki tadi, usianya pasti tidak jauh berbeda denganku.
Mungkin hanya lebih tua dua atau tiga tahun dariku. Tetapi kehidupan kami sangat berbeda jauh. Jika saja aku adalah anak laki-laki itu pasti aku tidak akan kelaparan setiap hari dan tidak perlu hidup dalam ketakutan seperti sekarang ini.
Hujan semakin deras ketika aku melanjutkan perjalanan. Jarak dari tempat tinggalku menuju Pond Jae kira-kira dua jam jika di lalui dengan berjalan kaki. Aku sudah hampir setengah perjalanan.
Di ujung jalan dari tikungan ini ada sebuah bangunan megah yang di hiasi dengan lampu berwarna-warni. Tempat itu di penuhi orang hanya ketika malam hari. Wanita-wanita berpakaian gemilau dan wajah yang di hiasi warna-warni riasan selalu menyambut para pria dengan senyum mesra.
Isbell selalu melarangku untuk melintas di depan bangunan itu. Isbell bilang akan sangat buruk jika aku sampai tertangkap oleh pemilik bangunan itu karena aku pasti akan di jadikan seperti wanita-wanita budak di sana. Aku masih tidak mengerti apa fungsi tempat itu hingga anak kecil sepertiku tidak di beritahu mengenai kejelasan tentangnya.
Disini memang tidak ada sekolah ataupun belajar tetapi Isbell yang dulunya adalah seorang guru sebelum di buang ke tempat ini mengajariku membaca. Sebuah tulisan besar yang dibuat dengan lampu berwarna-warni bertuliskan Bordil House.
Dengan langkah yang tak terdengar aku melewati bangunan itu seperti bayangan. Isbell sering memujiku karena langkah ringanku hampir tak terdengar bahkan dia menjulukiku seperti bayangan dan aku suka dengan julukan darinya.
Aku terus berjalan tanpa memedulikan hujan yang turun sangat deras. Kaos dan celana bahan yang ku kenakan basah kuyup terkena hujan yang sejak tadi tidak berkurang intensitasnya.
Sebentar lagi aku akan sampai ke hotel Pond Jae. Setelah melewati rawa-rawa di depan sana aku akan segera tiba. Aku lebih memilih jalan rawa ini karena akan lebih cepat walaupun akan sangat sulit pastinya, tetapi Isbell pun selalu memilih jalan ini agar lebih cepat sampai. Hotel Pond Jae yg berdiri megah itu pun sudah terlihat dari tempatku berada.
Aku melewati rawa-rawa yang dipenuhi pohon walnutt. Keadaan tanpa lampu memang menyeramkan tetapi aku tidak pernah takut pada sosok gaib, yang lebih aku takutkan adalah orang-orang jahat yang dapat datang sewaktu-waktu.
Ketika sebuah kubangan besar dapat aku lewati dengan loncatan jauh ku, kakiku berhenti bergerak saat melihat sosok yang bertubuh kurus ringkih terbaring di atas tanah yang basah karena hujan. Sejenak aku terdiam memperhatikan sosok tersebut.
Aku mengenali siapa orang yang saat ini terbaring lemah di jarak sepuluh meter dari tempatku berdiri, dia adalah Isbell. Tanpa pikir panjang aku berlari mendekatinya dengan perasaan khawatir.
Aku tidak peduli betapa sakitnya kakiku karena menginjak bebatuan yang tajam dan tanah yang licin ketika berlari. Rasanya uluh hatiku terasa sakit melihat orang yang sangat berharga dalam hidupku dalam keadaan mengenaskan saat ini.
"Nenek kau dengar aku?" Tanyaku sambil mengguncang-guncangkan tubuh lemahnya.
Aku berharap Isbell menjawabku namun dia tidak bergerak sedikitpun. Bibirnya sudah membiru dan tubuhnya menggigil kedinginan. Pasti sudah cukup lama dia terbaring di sini. Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari tempat yang bisa di gunakan untuk berteduh. Sebuah pohon walnutt besar dengan daun lebat terlihat cukup baik untuk berteduh. Di sela-sela batang pohon Isbell bisa terhindar dari guyuran hujan.
"Nek, aku akan menggendongmu ke tempat yang teduh." Ujarku tetapi tetap tak ada respon.
Dengan sekuat tenaga aku menaikan tubuh Isbell ke punggunggku dan berjalan dengan tertatih membawa Isbell ke dekat pohon walnutt.
Beberapa kali aku hampir terpeleset karena kondisi tanah yang licin untung saja aku dapat menyeimbangkan tubuhku dan berpegangan pada pohon-pohon di sekitarku.
Tubuh Isbell yang kurus tidak lebih berat dari air yang sering aku ambil untuk minum kami bertiga. Mungkin karena aku sudah terbiasa membawa beban berat sehingga aku dapat menggendong Isbell di punggungku. Dengan hati-hati aku menurunkan Isbell ketika sampai di bawah pohon walnutt.
Setelah itu aku mengambil lima daun pohon pisang. Aku mengusap air hujan di daun-daun itu dengan kaosku lalu menyelimuti Isbell hingga tubuhnya yang ringkuk terbungkus daun-daun pisang. Sejenak aku berpikir apa yang harus aku lakukan lagi.
"Bee," panggil Isbell yang akhirnya tersadar. Aku mendekatinya. "Bungkusan hitam, ambil bungkusan hitam itu... Itu makan kalian berdua." Dengan terbata-bata Isbell berbicara.
Aku melihat ke arah tempat Isbell tersungkur tadi. Sekantong plastik hitam tergeletak di sana. Aku langsung bergegas mengambil bungkusan hitam tersebut dan melihat isinya. Dua bungkus nasi sama seperti biasa yang di bawa Isbell pulang. Aku kembali bergegas pada Isbell.
"Kau pulang dulu, Jatnera pasti sudah kelaparan. Aku akan disini sampai hujan reda." Ujar Isbell menatapku.
"Tapi kondisi nenek tidak baik. Aku akan tetap disini." Jawabku.
"Jangan memikirkan aku, Jatnera pasti sudah menangis sekarang. Pulanglah aku akan baik-baik saja." Dengan susah payah Isbell berusaha mengeluarkan suaranya. "Kau tahu pohon ara yang dekat dengan rumah?"
"Iya. Ada apa?" Tanyaku tidak mengerti maksud perkataan Isbell.
"Arah selatan di bawah pohon itu ada kotak milikku yang aku kubur. Bisa kan kau menggalinya sekarang dan kembali untuk memberikan kotak itu padaku?" Tatapan Isbell terlihat begitu memohon.
"Nenek tidur saja dulu disini, aku pasti akan cepat kembali." Jawabku.
Isbell tersenyum seolah kondisinya baik-baik saja.
Setelah membenarkan daun-daun pisang yang menutupi tubuh Isbell aku langsung bergegas cepat dengan membawa kantong hitam yang isinya adalah makan malam kami.
Entah kenapa perjalanan kembali ke rumah lebih mudah dari pada perjalanan pergi tadi. Tanpa sadar aku yang terus berlari telah sampai di depan gubuk yang sudah lama kami tempati bertiga. Hanya ada satu ruangan tanpa jendela di gubuk itu. Aku terdiam menatapi rumahku sesaat dengan pikiran bercampur aduk.
Bagaimana caraku membawa Isbell pulang dan apakah Isbell baik-baik saja saat aku tinggal tadi?
...@cacing_al.aska...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
💫R𝓮𝓪lme🦋💞
kenapa ceritanya sedih sih😫sabar bee
2023-11-20
0
🌸𝓐𐝥𐔎𐒻𐀁🍒⃞⃟🦅OFF
pasti baik aja koq positif thinking aja klay panggil bantuan.. jangan gendong sendiri kau tidak akan kuat gendong si nenek😆😅
2023-11-04
1
𝓐𝔂⃝❥Ŝŵȅȩtŷ⍲᱅Đĕℝëe
Berharap semoga Isbell baik-baik saja. Dan penasaran apa isi kotak yang di kubur di bawah pohon ara
2023-10-02
1