S1 E2 KEDAI KOPI

Waktu kian cepat berlalu seperti angin yang selalu membawa awan untuk menghujani setiap daratan yang ditemuinya. Bima, Dion, Lestari dan Naga kini sudah bekerja. Bima masih setia dengan pekerjaannya sebagai barista. Dion bekerja di perusahaan teknologi terkenal, Quantum Labs. Lestari memilih menjadi wartawan TV nasional, penulis dan juga aktif sebagai aktivis lingkungan. Sedangkan Naga sudah pasti menjadi penerus bisnis keluarganya, Naga tidak punya pilihan lain selain menuruti kedua orang tuanya, meskipun sebenarnya dirinya lebih suka berpetualang menelurusi alam dan tempat-tempat yang baru.

Di sudut kecil pusat kota Jakarta, di antara deru kendaraan dan keramaian manusia, terdapat kedai kopi yang tak menonjol, namun memancarkan pesona damai. Di sini, pagi hari berkumpul dengan senyap, hanya terganggu oleh suara gemerisik biji kopi yang digiling dengan penuh cinta. Dan di balik meja kayu polos, Bima Wira Wijaya, seorang barista muda dengan semangat dan hati yang tulus, mengawal aroma kopi seperti tukang sihir.

Rambutnya yang gondrong mengalir seperti sungai yang gelap, mengingatkan pada malam yang tenang. Berkacamata minus yang tak pernah ia lepas, menghubungkan jiwanya yang penuh dengan impian dan harapan. Pakaian kemeja sederhana yang dikenakannya setiap hari, bagaikan kanvas yang menggambarkan ketenangan di tengah kesibukan kota besar.

"Hai Bim, kayak biasanya ya", ucap Lestari yang baru saja datang. "Oke Tar, udah aku siapin kok, ini Cappucinno Spesial untuk Lestari seperti biasanya", lanjut Bima sambil memberikan secangkir Cappucinno. "Thank you Bim, keren banget cappucinno artnya, sayang banget kalo diminum", kata Lestari sambil memotret foto cappucinno art dari Bima berbentuk mawar dengan smartphonenya. Lalu Lestari duduk di meja tempat biasa mereka berkumpul.

Lestari, sang penjelajah cerita, tengah mendapati kenikmatan dari secangkir cappucinno hangat. Rambutnya yang panjang dan hitam memancarkan pesona misterius, seperti malam yang terungkap dalam sinar bulan. Kacamata di wajahnya memberinya tampilan manis dan tegas. Kemeja formal yang selalu dikenakannya menggambarkan dedikasinya terhadap pekerjaannya sebagai wartawan yang gigih mencari kebenaran di balik kabut dunia.

"Bim, inget gak sama buku ini?", Lestari menunjukan buku Artefak Tak Dikenal kepada Bima. Jawab Bima, "Eh ini kan buku yang kita baca dulu kan Tar? Sampai-sampai dulu kita rela nabung buat ke museum nasional cuma buat ngelihat-lihat artefak ini".

"Tahu gak Bim baru-baru ini ada pencurian artefak peninggalan di museum nasional, nah salah satunya artefak ini Bim", Lestari menunjuk pada sebuah gambar batu kristal dengan ukiran simbol di dalamnya. Bima terdiam sejenak, "Ini kan batu kristal yang dulu, simbol itu tampak sangat amat familiar buatku," kata Bima dalam hati sambil terdiam menatap ke gambar kristal itu sangat lama.

"Lah malah bengong si gondrong ini", ucap Lestari dalam hati. "Bim? Kok bengong?", balas Lestari sambil menepuk pundak Bima. Bima yang tersadar, "Eh, sorry Tar aku akhir-akhir ini kurang tidur aja, soalnya kemarin dapet shift malem", ucap Bima mengalihkan pembicaraan.

"Kebiasaan banget Bim, dari dulu gak berubah ya. Dari jaman rambut kamu masih pendek sampai rambutmu gondrong masih aja suka bengong, mikirin apasih Bim? Cicilan?", ucap Lestari sedikit kesal.

"Udah-udah jangan berantem. By the way rambut Bima emang cocok gondrong Tar. Kalo soal cicilan gak mungkin Bima mikirin, dia udah punya banyak tabungan sekarang, ya kan Bim?", kata Dion tersenyum merangkul Bima. Bima hanya mengangguk.

Duduk berdekatan dengan Lestari, Dion, pemuda yang selalu membawa laptop dimanapun dia berada, sepertinya laptop itu sudah menjadi satu seperti organ dalam tubuhnya. Rambut pendeknya rapi dan matanya yang sipit menyiratkan keliaran dan optimisme. Laptop yang selalu ia bawa, seperti sahabat yang setia mengantarnya dalam dunia di mana kodifikasi menjadi bahasanya.

"Guys, kalian tahu gak akhir-akhir ini banyak perampok", tanya Dion. "Perampok?", lanjut Bima bingung. "Iya perampok-perampok itu menamakan diri mereka "The Silent", mereka biasa memakai cara diam-diam seperti scam, hingga penjualan data pribadi yang bocor. Tetapi tak jarang juga mereka memakai kekerasan fisik secara terang-terangan di publik, memaksa korbannya untuk memberikan data pribadi dan uang tabungan digital mereka", kata Dion.

 "Iya sampai sekarang terdapat ratusan kasus perampokan ini, dan dalangnya masih diselidiki polisi, tapi belum ada satupun pelaku yang tertangkap. Mereka melakukan perampokan ini dengan sangat rapi, kasian banget korban-korbannya bahkan sampai ada yang bunuh diri karena frustasi kehilangan tabungannya", lanjut Lestari

Di sudut yang lain, ditemani aroma kopinya, ada Naga, anak orang kaya yang pemurung, seolah tak terikat pada kewajaran dunia. Rambutnya yang pendek rapi, menciptakan kesan teratur yang seolah menyembunyikan kelam dalam hatinya. Pakaian santai yang ia kenakan, kaos polos dan celana pendek, mungkin hanya senandung perlawanan terhadap norma-norma sosial dari keluarganya yang selalu mengekangnya. Naga hanya mendengar percakapan sahabat-sahabatnya.

"Eh Naga, janganlah mojok sendiri, gabung sini!", teriak Bima yang selalu bisa memberi senyuman di wajah murung Naga. Begitu sederhana persahabatan mereka membuat Naga betah berlama-lama menghabiskan waktunya bersama sahabatnya dibandingkan untuk melakukan kegiatan lainnya.

"Santiago Industries juga kena imbasnya guys, banyak supplier bahan mentah kita yang bangkrut karena perampokan ini, mereka mengincar orang-orang kaya sepertiku", lanjut Naga.

"Naga, emang bener ya kamu sekarang ngurusin bisnis ayah kamu?", tanya Lestari. "Iya Tar, sekarang aku dikasih tanggung jawab buat ngurusin bisnis, capek banget deh, apalagi adanya kasus ini. Makanya aku sering-sering kabur kesini buat nyantai bentar", jawab Naga santai.

"Naga, kalau kamu butuh liburan kami siap kok nemenin, tenang kali ini kita bayar masing-masing", lanjut Bima tertawa. Diantara yang lainnya Bima memang yang paling mengerti perasaan Naga.

"Iya Ga, bilang aja sama kami, ntar kita siapin jadwal kosong buat rencanain liburannya", ucap Dion. "Iya, pengen banget rasanya pergi ke alam, aku sudah bosen dengan suasana perkotaan", kata Naga pesimis. "Ga, kamu gak takut jalan pergi sendirian? Kalo perampok-perampok itu dateng gimana?", Bima sedikit kawatir. "Tenang Bim, kan ada kalian yang jagain hahaha", Naga tertawa. "KAU PIKIR KAMI BERANI???!!!", jawab Bima, Dion dan Lestari bersamaan, mereka tertawa lepas.

Keempat manusia ini, seperti serangkaian bintang yang bergabung membentuk rasi bintang dalam malam gelap. Mereka berbagi kisah, tertawa, dan menghapuskan batas-batas waktu. Meskipun kehidupan membawanya pada jalan yang berbeda, persahabatan yang terjalin di antara mereka adalah benang takdir yang mengikat hati mereka. Bersama-sama, mereka mengisi hari-hari dengan kehadiran dan tawa, seolah tak ada yang bisa memisahkan mereka.

"Bim, kenapa kopimu selalu enak?" tanya Lestari dengan matanya yang berbinar ingin tahu, sambil menyeruput kopi yang menghangatkan tangannya.

Bima hanya tertawa menanggapi pujian. Di antara aroma kopi dan canda mereka, dunia terasa begitu sempurna, seolah tidak ada rintangan yang tak bisa diatasi oleh persahabatan yang kokoh.

Dan di balik deru kota yang tak pernah berhenti, di sudut kecil kedai kopi itu, takdir mereka terjalin dalam setiap hembusan udara, dalam setiap senyuman, dan dalam segelas kopi hangat yang tak pernah berakhir. Dalam kebersamaan ini, mereka menemukan kedamaian dan pengertian bahwa kehidupan yang sesungguhnya bukanlah tentang tempat yang mereka tempati, melainkan tentang teman-teman yang mereka temui di sepanjang perjalanan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!