Seorang anak laki-laki berusia tiga tahun dilarikan ke rumah sakit akibat demam tinggi yang melebihi 38 delapan derajat. Seorang wanita mengikuti dari belakang dan terlihat takut dan cemas dan wanita itu sudah pasti Emma. Sudah empat tahun berlalu, setelah diusir oleh kakeknya, Emma tinggal di New York dan bekerja di sana.
Emma berjuang sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. Dia pun melahirkan bayinya seorang diri dan dengan usahanya sendiri. Meski dia sering menghubungi kakeknya untuk mencari tahu keadaan kakeknya dan meski Emma selalu mendapatkan penolakan dari kakeknya yang kecewa tapi dia tidak pernah menyerah untuk mencari tahu keadaan kakeknya.
Emma melahirkan seorang anak laki-laki yang pintar dan ceria. Putranya bernama Daniel, hanya Daniel tanpa menggunakan nama belakang karena dia tidak mau memberikannya meski dia tahu dengan jelas siapa ayah dari putranya. Keadaan Daniel sudah memburuk beberapa hari belakang tapi dia menganggap jika Daniel hanya sedang demam biasa tapi pagi ini, keadaan putranya semakin memburuk.
Daniel menggigil hebat dan mengeluh sakit seluruh tubuh. Wajah Daniel pun pucat dan muncul memar-memar kecil di lengannya. Daniel pun mengeluh sakit kepala yang memperburuk keadaannya. Melihat kondisi putranya yang tidak biasanya membuat Emma panik luar biasa. Ambulance dipanggil agar putranya segera di bawa ke rumah sakit supaya Daniel segera mendapatkan perawatan. Bagaimanapun Daniel adalah harta miliknya yang sangat berharga.
"Sakit, Mommy. Sakit," ucap Daniel yang berusaha mengulurkan tangan ke arah ibunya yang mengikuti dari belakang. Melihat itu, Emma berlari mendekat lalu memegangi tangan kecil putranya.
"Sebentar lagi tidak akan sakit lagi, jangan menangis!" ucapnya menghibur.
"Daniel tidak mau disuntik, tidak mau!" ucap putranya lagi.
"Tidak akan disuntik. Daniel hanya akan diberi obat saja oleh dokter," Emma berusaha menghiubur, Bagi anak-anak jarum suntik memang menakutkan.
"Jangan biarkan dokter menyuntik Daniel, Mommy. Daniel tidak mau."
"Tidak akan, Daniel tidak perlu khawatir."
"Apa Mommy berjanji?" tanyanya putranya dengan lemah.
"Yes, Mommy berjanji!" hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menenangkan putranya agar Daniel tidak menangis tapi Daniel masih saja menangis dan mengeluh jika badannya sakit.
"Sakit, Mommy. Kenapa badan Daniel begitu sakit?" tanya putranya di sela tangisannya. Tidak saja satu kali, Daniel kembali mengeluh sakit.
Emma tak bisa melakukan apa pun. Air matanya bahkan menetes setiap kali putranya mengeluh sakit. Hatinya tidak tahan, jika bisa menggantikan Daniel, tentu dia sangat bersedia. Seharusnya dia lebih peka dengan keadaan Daniel sehingga tidak terlambat. Padahal Daniel sudah menunjukkan gejalanya tapi dia terlalu sibuk bekerja. Emma mengusap air matanya, dia berusaha untuk tegar. Selama ini dia selalu berjuang sendiri, dia tahu itu adalah risiko untuknya yang telah mengambil jalan nekat.
Daniel dibawa ke dalam sebuah ruangan, beruntungnya Emma diperbolehkan masuk karena putranya menangis tiada henti tidak mau dia tinggal. Seorang dokter menangani keadaan Daniel, anak laki-laki itu terlihat lemas dan tidak bertenaga tapi dokter tidak bisa langsung mengambil keputusan karena dokter itu harus memastikannya dengan melakukan penelitian yaitu mengambil sampel darah dan melakukan serangkaian penelitian.
"Tidak mau, Daniel tidak mau disuntik!" teriak Daniel ketika seorang perawat hendak mengambil darahnya.
"Tidak apa-apa, Sayang. Hanya sakit sedikit saja," bujuk Emma yang sudah berdiri di sisi putranya.
"Mommy bohong. Bukankah Mommy berkata Daniel tidak akan disuntik?"
"Mommy kira begitu tapi untuk menyembuhkan penyakit Daniel, suster harus melakukannya. Daniel bisa bertahan, bukan?"
"Tidak mau, Mommy. Tidak mau!" Daniel berteriak sambil memberontak. Emma memeluk putranya agar Daniel dapat disuntik. Meski hatinya pilu karena tidak tega tapi dia tidak bisa melakukan apa pun. Seorang perawat juga membantu Emma untuk memegangi Daniel. Anak laki-laki itu berteriak dengan keras lalu menggigit lengan ibunya saat jarum suntik menembus kulitnya yang tipis.
Emma sampai menangis, menjadi ibu ternyata tidak semudah yang dia bayangnya. Daniel kembali memberontak setelah selesai dan tidak ada yang memeganginya selain ibunya yang masih memeluk dirinya. Emma bener-benar tidak tega dan berusaha menenangkan tangisan putranya.
"Sakit, Mommy. Sakit," rintih Daniel. Kini dia kembali merasa sakit di sekujur tubuh setelah memberontak. Beberapa memar kembali terlihat di bagian tubuhnya.
"Sebentar lagi tidak akan sakit lagi, sebentar lagi Mommy akan mengambil rasa sakitnya," ucapnya asal karena apa yang dia ucapkan tidak mungkin terjadi.
"Daniel mau pulang, Mommy. Daniel tidak mau berada di rumah sakit. Daniel tidak suka," pinta putranya.
"Kita akan pulang setelah ini, oke? Sekarang Daniel beristirahat terlebih dahulu. Kita pulang setelah Mommy mendapatkan obat agar Daniel tidak merasa sakit lagi nantinya."
"Kali ini Mommy tidak boleh berbohong lagi!"
Emma tidak menjawab karena dia memang berbohong. Dia tidak tahu apakah Daniel boleh pulang atau tidak karena penyakitnya belum diketahui. Dalam hati hanya ada rasa takut saja yang dia rasakan. Dia benar-benar takut dengan keadaan Daniel yang tidak terlihat seperti demam biasa.
"Sekarang Daniel beristirahatlah, Mommy akan menjaga Daniel sampai Mommy tahu kenapa Daniel merasa kesakitan."
"Mommy tidak boleh pergi!" pinta putranya yang takut ditinggalkan oleh ibunya.
"Tentu saja tidak, Mommy tidak akan pergi!" Emma mencium dahi putranya lalu membantunya berbaring.
"Mommy, bukankah Mommy berjanji akan mengajak Daniel pergi mencari Daddy.. Kapan kita akan mencari Daddy, Mom?"
"Kita akan pergi setelah keadaan Daniel sudah membaik. Oleh sebab itu, Daniel harus segera beristirahat," usapan lembut diberikan di dahi putarnya. Emma tersenyum meski sulit. Wajah Daniel yang pucat dan tampak lelah semakin membuatnya khawatir. Emma menemani putranya sampai Daniel terlelap. Setiap detik dia lewati dengan perasaan cemas sampai akhirnya dia dipanggil untuk menemui dokter yang memeriksa keadaan Daniel.
Dengan berat hati Emma meninggalkan putranya sebentar. Firasatnya buruk, dia pun merasa takut. Kedua kakinya melangkah dengan berat menuju ruangan sang dokter. Semoga saja bukan hal besar dan semoga saja putranya hanya demam saja seperti yang dia perkirakan sejak awal.
Jantung Emma berdegup ketika sudah berada di dalam ruangan. Dia dipersilahkan untuk duduk oleh dokter yang terlihat begitu serius. Perasaan Emma semakin tidak menentu, dia benar-benar takut untuk mendengar apa yang terjadi dengan putranya.
"Bagaimana dengan keadaan putraku?" pertanyaan itu dilontarkan dengan susah payah oleh Emma.
"Leukimia, itu yang sedang diderita oleh putra Nyonya."
"Apa?" Emma memekik dan tampak shock. Dunianya terasa gelap mendadak. Emma tampak linglung, seperti tidak mempercayai apa yang baru saja dia dengarkan. Dia bahkan tidak begitu mendengar lagi apa yang dokter itu katakan dan pandangannya mendadak buram akibat air mata yang mengalir begitu saja.
Emma beranjak dengan perlahan dan melangkah pergi padahal dokter itu belum selesai menjelaskan. Dia sudah bagaikan mayat hidup yang melangkah dengan pikiran kosong. Emma kembali ke ruangan putranya di mana Daniel masih terlelap. Daniel mengidap penyakit Leukimia? Bagaimana bisa?
Emma jatuh di sisi ranjang, dia menangis namun tak bersuara. Kenapa? Kenapa Daniel harus mengidap penyakit itu? Apa ini adalah hukuman untuknya untuk semua kesalahan yang dia lakukan tapi kenapa harus Daniel yang tak bersalah? Kenapa bukan dirinya saja? Tangisan Emma semakin menjadi, kini dia tidak tahu harus melakukan apa karena dia tahu jika dia butuh biaya besar untuk menyembuhkan penyakit putranya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Herol
😭😭😭
2023-12-29
3
Herol
sedih juga
2023-12-29
1
Aidah Djafar
kasian Daniel 🤦
mau ngk mau kamu harus temui ayhnya Daniel Emma 🤔
2023-12-21
1