our sunshine - bab 04

Sekelompok burung sudah mulai berkicau ria di dahan pohon. Matahari yang masih tampak malu untuk muncul di ufuk timur membuat langit belum sepenuhnya terang. Bunyi alarm yang ada di atas nakas samping tempat tidur membuat gadis itu memaksa kelopak matanya terbuka dengan malas.

Di bawah bedcover yang hangat dan nyaman membuatnya enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Kelopak matanya yang masih terasa berat juga seakan-akan mendukung bisikan yang menggodanya untuk kembali tertidur.

Namun, bisikan penuh godaan itu lenyap seketika begitu terdengar suara ketukan pintu. Suara Shena—mama Rysan—mengalun setelahnya, memanggil nama Rysan untuk membangunkan gadis itu.

"Iyaa, Ma!" Dengan suara yang masih serak, Rysan memberi sahutan. Setelahnya tidak lagi terdengar suara ketukan pintu maupun panggilan namanya, pertanda sang mama sudah pergi dari depan pintu.

Karena rasa kantuk sudah hilang sepenuhnya, Rysan bergerak malas menuju kamar mandi untuk bersiap-siap.

Selang beberapa menit kemudian gadis 16 tahun itu sudah siap dengan seragam olahraga yang membalut tubuhnya. Rambutnya hari ini dicepol rapi agar tidak mengganggu saat mengikuti pelajaran olahraga nanti.

Meraih tas dari atas kursi di depan meja belajarnya, kemudian ia langsung melangkah keluar kamar.

Sampai di ruang makan, Rysan sedikit dikejutkan oleh kehadiran kakak sepupunya di meja makan. Keningnya sedikit mengkerut, ia memikirkan berbagai alasan keberadaan seorang Fareyzi Nevano.

"Kak Rey kenapa pagi-pagi udah ke sini?" Rysan melontarkan tanya seraya mendudukkan dirinya di samping Nela.

"Mau ngajak kamu berangkat bareng, emangnya salah?" Rey membalas.

"Oh, oke. Gak ada yang salah sama itu."

Tangannya bergerak dengan cekatan untuk mengoleskan selai cokelat ke atas lembaran roti. Setelah merasa cukup, roti itu ia bawa ke depan mulut untuk digigit.

Menyelesaikan sarapannya dengan cepat, Rysan kemudian pamit kepada seluruh keluarganya. Sedikit bonus untuk Devan, sebuah ciuman di pipi sesuai permintaan.

Kedua orang itu berangkat ke sekolah dengan motor besar milik Rey. Pas sekali Rysan memakai seragam olahraganya sehingga tidak menyusahkan untuk naik ke jok belakang.

Rey melajukan motornya dengan kecepatan rata-rata. Ketika membawa Rysan bersamanya, ia selalu ingat untuk tidak mengebut, itu bisa saja membahayakan sepupu mungilnya. Pun nanti ia pasti akan menerima kemarahan semua keluarganya, dan itu mengerikan. Ia tidak pernah ingin berurusan dengan Vino, kakaknya, ketika laki-laki itu sedang marah.

Akhirnya kedua orang itu sampai di sekolah. Beberapa pasang mata memperhatikan ketika motor milik Rey melintas dan berhenti begitu mendapat lahan parkir yang strategis.

Sebagai kakak yang baik, Rey mengulurkan tangannya untuk membantu Rysan itu. Hal itu mengundang seruan tertahan dari beberapa siswi yang memperhatikan. Dalam hati ingin berada di posisi Rysan walau hanya sebentar.

"Belajar yang rajin," ucap Rey berusaha terlihat bijak dengan memberi nasehat.

"Iya, aku tahu. Lagian Kak Rey juga yang harusnya inget buat belajar yang rajin. Aku tahu Mami sering ceramahin Kak Rey yang sering bolos pelajaran ekonomi."

Rey menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal sama sekali. Gagal sudah untuk terlihat keren di mata Rysan. Padahal dulu-saat masih kecil-rasanya mudah sekali mendapatkan tatapan penuh binar dari gadis itu.

"Udah, ah, aku mau ke kelas duluan. Bye, Kak Rey!"

"Mau diantar sekalian?" tawar laki-laki itu.

"Gak usah, mending Kak Rey langsung ke kelas biar gak kepikiran buat bolos." Setelahnya Rysan melangkah cepat dari sana, meninggalkan Rey dengan wajah cemberutnya.

Sampai di kelasnya yang berada di lantai dua gedung sekolah, sudah banyak siswa sekelasnya yang datang. Sebagian besar berkumpul bersama teman masing-masing sambil saling membicarakan sesuatu, begitu juga dengan Auri dan temannya yang lain.

"Pagi!" salam Rysan seraya mendudukkan diri di bangkunya.

"Pagi juga."

"Pagi, Rys."

"Pada ngomongin apa, nih? Masih pagi udah ngegibah, gak ngajak-ngajak lagi."

"Kita lagi ngomongin Lyra. Iya, kan, Ra?" Auri memandang Lyra dengan tatapan usil, ditambah lagi kedua alisnya yang dinaik-turunkan, membuat Lyra malah semakin enggan menjawab.

"Udah, udah, dosa lo gangguin anak kalem." Selva menyela, kemudian memandang Lyra yang duduk di samping Rysan. "Lo tenang aja, Ra, gue bakal belain lo dari manusia penggibah ini," ucapnya seraya melirik Auri.

"Waah, apaan, nih!" Auri berseru protes. "Heh, lo juga sering ngikut acara penggibahan gue, ya. Jadi jangan sok-sokan mau keliatan baik pembela anak kalem!"

Selva sudah membuka mulutnya untuk membalas Auri. Namun, itu harus ia urungkan karena seruan dari ketua kelas mereka, Radi.

"Woy, semuanya langsung ke lapangan! Kalau telat nanti jumlah lari keliling lapangannya nambah!"

Tentu tidak ada yang mau mendapat hukuman itu. Jadi, detik berikutnya semua siswa berbondong-bondong menuju lapangan, bahkan ada yang saling mendorong. Untungnya hal itu tidak menimbulkan pertengkaran.

Di lapangan, Pak Jonah langsung menyuruh mereka untuk berbaris dan melakukan pemanasan. Ketua kelas mereka yang memimpin. Setelahnya baru dimulai pembelajaran mereka mengenai bola besar.

·

Olahraga yang berlangsung selama 3 jam pelajaran akhirnya selesai, bertepatan dengan bel pertanda istirahat yang berbunyi. Rysan dan semua siswa sekelasnya kembali ke kelas untuk segera mengganti seragam yang sudah penuh keringat.

Ada beberapa yang ketika sampai di kelas lebih memilih untuk mendinginkan diri dulu di bawah kipas angin.

"Kita nunggu bentar dulu, ya. Toilet pasti masih penuh," usul Auri seraya mengipasi wajahnya dengan buku tulis.

"Iya, males juga gue penuh-penuhan di sana," sahut Elva yang mengikuti jejak Auri untuk mengipasi diri.

Di sisi lain, Rysan bergerak rusuh di tempat duduknya. Membuka tas, melihat ke laci meja, bawah bangku, bahkan mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. Namun, nihil. Ia tidak menemukan paper bag yang berisi seragam miliknya.

"Kalian liat paper bag coklat gak? Gue ingat banget kalau tadi gue simpen di laci." Rysan bertanya dengan nada gusar. Tidak pernah selama ia bersekolah mengalami hal seperti ini, paling hanya kehilangan penghapus atau alat tulis lain.

"Bentar gue tanya yang lain." Auri menoleh ke arah siswa sekelasnya. "Woy, ada yang liat paper bag coklat gak? Jangan jahil, ya, jadi orang!"

"Kita dari tadi di lapangan bareng, jadi gak ada yang liat." Seorang siswi menyahut.

"Iya, tadi gak ada juga yang balik ke kelas. Jadi gak mungkin salah satu di antara kita jahil begituan." Radi si ketua kelas ikut menimpali.

Rysan menghela napas berat. "Udahlah, gak papa."

"Mau gue temenin ke koperasi?" tawar Lyra.

"Mau kita temenin juga?"

"Nggak usah, biar gue sama Lyra aja. Gak papa, kan, Ra?" Lyra mengangguk.

Mereka berlima keluar kelas bersama. Ketika sampai di persimpangan koridor, mereka berpisah. Si kembar dan Auri duluan ke toilet, sedangkan Rysan dan Lyra ke koperasi sebelum nantinya menyusul.

"Makasih ya, Ra, udah mau temenin gue."

"Iya, sans aja. Gue juga pengen jalan-jalan, kok."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!