Tiba-tiba, suara keras memecah keheningan.
BUUUKKK...
Sebuah pukulan brutal mendarat di pipi Raka. Ia tak sempat bersiap, tak ada waktu untuk menangkis atau menghindar. Kepalanya terpental ke samping, dan tubuhnya terhuyung mundur sebelum akhirnya jatuh terduduk di lantai.
"Sampah, untuk apa kau masuk ke sekolah ini?" ujar Andi dengan nada meremehkan yang mendalam. Wajahnya memancarkan rasa puas sadis, menikmati setiap detik kesengsaraan Raka.
Sorakan liar bergema di ruangan dari geng Andi menghina dan melecehkan. Mereka tertawa dan bertepuk tangan, menyemangati aksi bully yang dilakukan oleh pemimpin mereka.
Raka berbaring di lantai dingin sekolah, tubuhnya gemetar karena rasa sakit dan pengejekan yang menusuk hatinya. Dia mencoba bangkit tapi pukulan tadi telah mengambil sebagian besar tenaganya.
Mata murid-murid lain berkerumun di sekeliling mereka namun tak ada satupun yang bergerak membantu. Wajah-wajah itu penuh dengan ketakutan dan pengecutan - semua orang tahu apa yang akan terjadi jika mereka melawan Andi dan gengnya.
"Ayo lihat apa yang bisa kau lakukan!" tantang Andi, wajahnya terpulas senyum jahat, matanya berkilat dengan kepuasan sadis. Suaranya bergema di ruangan, disertai tawa cemoohan dari gengnya.
Di sudut ruangan yang jauh dari kerumunan, seorang sosok berdiri. Pak Robert, guru yang dikenal dekat dengan keluarga Andi. Dalam diam, ia memperhatikan adegan itu berlangsung - melihat Raka terkapar dan tak berdaya - namun ia tidak melakukan apa-apa.
Setelah insiden itu mereda dan murid-murid mulai bubar, Pak Robert mendekati Raka yang masih duduk lemas di lantai. "Kenapa kau tidak berhenti membaca dan bergaul sedikit?" katanya dengan nada datar. "Mungkin jika kau lebih banyak berinteraksi dengan teman-temanmu, mereka akan mulai menghargaimu."
Raka menatap Pak Robert dalam diam. Di balik tatapan kosongnya ada rasa kecewa mendalam pada guru yang seharusnya melindungi murid-muridnya.
"Sial," gumam Raka pelan setelah Pak Robert pergi meninggalkannya sendirian lagi di ruangan itu. "Sepertinya percuma saja... Bahkan guru pun tak bisa berkutik di depan anak sialan ini."
Dalam kegelapan ruangan yang sepi, rahasia tersembunyi tentang pengaruh keluarga Andi mulai terungkap. Mereka bukan sekadar keluarga biasa di sekolah ini, mereka adalah salah satu penyumbang terbesar yang menjaga roda sekolah tetap berputar.
Kekuasaan dan dominasi keluarga Andi tidak hanya berasal dari kekayaan mereka, tetapi juga dari posisi mereka sebagai pemilik salah satu perusahaan farmasi terkuat di negeri ini. Dalam industri farmasi yang penuh dengan intrik dan kepentingan politik, keluarga Andi telah membangun kerajaannya sendiri.
Sumbangan besar mereka telah memastikan bahwa sekolah ini bergantung pada dukungan finansial mereka. Sebagai imbalannya, Andi dan keluarganya memiliki kendali mutlak atas segala hal di sekolah - dari kebijakan hingga perlakuan khusus.
Tidak ada yang berani melawan mereka. Para guru pun termakan oleh bayang-bayang kekuasaan tersebut. Mereka takut akan konsekuensi jika melawan atau bahkan mencoba menegur perilaku buruk dari anak-anak keluarga Marco, termasuk putra sulung mereka Andi Marco.
Raka merasakan beban besar yang menghimpit dadanya ketika menyadari betapa kuatnya pengaruh keluarga itu. Ia menjadi saksi bisu bagaimana uang dan kekuasaan bisa mengubah sebuah institusi pendidikan menjadi medan permainan bagi orang-orang berpengaruh.
Dalam keheningan yang mencekam, suara terputus-putus memecah kesunyian.
"Maafkan aku, Raka..." ucap Ucup teman sebangku Raka dengan suara gemetar. Wajahnya pucat pasi, matanya terlihat seperti kaca yang pecah berkeping-keping. Kedua tangannya gemetar tak terkendali, mencerminkan ketakutan yang melanda dirinya hingga membuatnya hampir kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.
"Aku... Aku memang pengecut..." lanjutnya dengan suara serak. Suaranya bergetar dengan rasa bersalah yang tak terbendung. "Aku tak sanggup membela mu..."
Tubuh temannya itu tampak tegang dan kaku seperti patung marmer. Matanya berkedip-kedip dalam ketidakpastian dan kepanikan yang mendalam. Dia menahan napas dengan susah payah, tampak seperti sedang berjuang melawan serangan panik.
Raka merasakan getaran emosi yang kuat menghantam dadanya saat melihat temannya dalam kondisi rapuh seperti ini. Ia merasakan rasa sakit tajam di hatinya - bukan hanya karena pengkhianatan dari seseorang yang diharapkan bisa membela, tetapi juga karena melihat betapa korup dan menindasnya lingkungan sekolah ini.
"Tidak perlu minta maaf," jawab Raka dengan suara lembut namun penuh kepiluan di hati. "Kita semua memiliki batasan kita sendiri."
Suasana kelas 11 B terasa tegang saat Bu Wati, wali kelas mereka yang memiliki aura keputusan di matanya, berdiri di depan mereka dengan tatapan serius.
"Dengar baik-baik!" serunya dengan suara yang menggetarkan hati. "Minggu depan akan menjadi momen penting bagi kita semua. Kompetisi kimia bergengsi akan digelar di sekolah ini, dan saya dengan bangga mengumumkan bahwa Raka akan menjadi perwakilan dari kelas 11 B!"
Seketika itu juga, hening memenuhi ruangan. Semua mata tertuju pada Raka yang duduk tegak dengan tatapan penuh tekad dan semangat.
Raka mengangkat kepala dan menjawab dengan suara mantap, "Siap bu! Saya tidak akan mengecewakan kalian semua. Saya akan berusaha yang terbaik."
Bu Wati tersenyum puas mendengarnya namun senyumnya segera berganti menjadi ekspresi serius saat dia melanjutkan, "Ujian nya adalah Percobaan Reaksi Redoks. Harap kamu pelajari dengan baik, Raka. Ini adalah kesempatanmu untuk menunjukkan kemampuanmu."
"baik bu," balas Raka sambil mengangguk tegas.
Di dalam hatinya yang penuh percaya diri, Raka merasa getaran semangat membara seperti api tak terpadamkan. Dia tahu Kimia adalah bidang keahliannya yang sudah dia kuasai dengan baik.
"Inilah bidang keahlianku," gumamnya dalam hati sambil tersenyum bangga pada dirinya sendiri. "Kita telah bersiap selama ini untuk momen seperti ini dan sekarang saatnya kita unjuk gigi."
Di pojok kelas 11 A, Andi duduk bersama gengnya - Dika dan Bima. Mereka berbisik-bisik, wajah mereka menunjukkan senyum licik yang tidak biasa.
"Andi, loe lagi mikirin apa sih?" tanya Dika dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Andi menoleh kepadanya, senyuman licik di wajahnya semakin lebar. "Oh, cuma mau kasih 'surprise' kecil buat temen kita Raka dari kelas 11 B," jawabnya sambil tertawa sinis.
Bima mengangkat alisnya, "Maksud loe apa? Kita bakal ngapain?"
Andi merentangkan tangannya dan tertawa seperti penjahat maniak dalam film-film. "Tentu dong! Gue gak bisa biarin dia nyuri panggung dari kita begitu aja. Gue udah punya rencananya."
Dika dan Bima saling pandang dengan ekspresi campur aduk antara rasa penasaran dan kekhawatiran. Mereka tahu Andi cukup pintar untuk merencanakan sesuatu yang besar namun mereka juga sadar bahwa rencana jahat Andi mungkin berpotensi mendatangkan masalah besar bagi mereka semua.
Namun terlepas dari semua itu, satu hal yang pasti adalah bahwa kehidupan di sekolah ini akan menjadi lebih rumit dalam beberapa hari ke depan...
Raka sedang berjalan di koridor sekolah ketika tiba-tiba dia tergelincir dan jatuh dengan keras. Di belakangnya, Andi dan gengnya tertawa terbahak-bahak. Mereka berdiri dengan sikap angkuh, menikmati penderitaan Raka.
Andi menghampiri Raka yang masih tergeletak di lantai, "Wah, kasihan banget sih loe, Raka," katanya sambil tertawa. "Coba kalau loe punya kekayaan dan kekuasaan seperti gue. Gue bisa belajar kimia dari guru pribadi yang super pintar dan punya semua sumber daya yang gue butuhkan."
Dia melanjutkan dengan nada suara tinggi penuh hiperbola, "Guru gue itu lho mantan peneliti NASA! Dia ngajarin gue segala hal tentang reaksi kimia sampai ke level atom! Bayangkan betapa hebatnya ilmu yang udah gue dapat!"
Andi kemudian menunjuk dirinya sendiri dengan bangga, "Dan lihatlah hasilnya! Gue jadi siswa paling jago kimia di sekolah ini. Loe pikir loe bisa ngalahin gue hanya dengan belajar sendirian? Ha!"
Setelah Andi selesai berbicara, Bima dan Dika, dua anggota gengnya, maju mendekati Raka yang masih tergeletak di lantai.
Bima melipat tangannya di dada dan berkata dengan nada mengejek, "Gue pikir loe itu pintar, Raka. Tapi ternyata cuma bisa jatuh doang ya?"
Dika tersenyum sinis dan menambahkan, "Bukannya belajar kimia, mending loe belajar gimana caranya jalan tanpa jatuh!"
Tertawa puas melihat ekspresi Raka yang semakin muram, Andi berbalik dan pergi bersama teman-temannya sambil meninggalkan Raka yang masih mencoba bangkit dari jatuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments