Hingga Diujung Senja
Happy Reading!
Suasana kamar hotel bernuansa megah itu diliputi dengan kesepian yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Bak kapal pecah yang sudah beberapa minggu tak terjamah. Sepertinya penghuni kamar itu masih sibuk dengan mimpinya di pulau kapuk. Dari mulai baju dalaman sampai baju luaran, berserakan. Ada yang di lantai, di tempat tidur, di kursi bahkan ada di depan pintu kamar mandi.
Suara dering ponsel mengagetkan seroang pria yang masih malas untuk membuka mata. Sedari tadi ponsel itu tak kunjung juga berhenti. Begitu pun si empunya gawai, tak ada niat untuk peduli dengan bunyi ponsel itu.
"Hahhh." Lelaki itu menghela napas. Mengeluh karena tidurnya diganggu.
"Siapa sih nelpon jam segini?" sungutnya di balik selimut. Seluruh tubuhnya ia tutupi dengan selimut. Juga telinganya ia tutupi demi menghindari bunyi dering ponsel itu. Tapi sayang, ia lupa untuk mengganti ke mode silent. Akhirnya ia yang diganggu.
Mau bergerak saja untuk membungkam gawai itu ia malas. Apalagi untuk berjalan, mengangkat gawai yang sudah berdering sedari tadi ia malas.
Mahasiswa tingkat akhir itu lebih memilih untuk melanjutkan lagi tidurnya. Membiarkan ponsel itu berdering selagi masih ada daya.
Namun siapa yang bisa tahan mendengar suara yang berdering dari tadi? Begitu pun Saga, pemuda tampan yang mengenakan celana boxer itu pun sama. Walau ia sudah menutup telinga dengan rapat, tapi suara ponsel itu tetap bisa menembus benteng yang sudah ia tutup kuat, menurutnya.
Dengan malas, ia singkapkan selimut itu. Keluarlah tangannya sebelah untuk meraih ponsel yang sudah lelah berdering itu.
"Halo!" ucapnya dengan malas.
"Langit, lama banget angkat telponnya? Kemana aja sih? Hah? Dari tadi mama udah nelponin kamu. Jangan-jangan kamu lagi sama perempuan ya? Kapan kamu berubah Langit? Mama lelah dengan semua ulah kamu. Sampai kapan kamu main-main dengan perempuan, nak?"
Suara menggelegar bersamaan dengan pertanyaan yang beruntun sukses sudah membuat Langit menjauhkan ponselnya dari indera pendengarannya yang serasa nyaris pecah.
"LANGIT BASKARA!"
Mama Anggie bahkan menekankan suara memanggil nama anaknya itu yang sedari tadi belum memberikan sebutir kata pun.
"Mama kenapa sih pagi-pagi udah ribut. Banyak banget lagi pertanyaannya. Yang mana duluan aku jawab?" tanya Langit Ia sudah mendekatkan kembali ponsel ke telinganya setelah mama Anggie menurunkan nada bicaranya.
"Pagi kamu bilang? Ini sudah siang, Langit. Astaga! Jangan-jangan tebakan mama benar. Kamu sedang tidur sama perempuan ya?"
Deg.
Bagaimana bisa mama Anggie tau bila saat ini Langit sedang bersama dengan perempuan? Memang benarlah, ibu lebih tau anaknya daripada siapapun.
Reflek, Langit menutup tubuhnya dengan selimut lagi. Menatap wanita berkulit putih pucat yang masih terlelap di sampingnya.
Mama Anggie tak percaya lagi dengan anaknya itu. Bisa dibilang menyesal ia karena membiarkan anaknya kuliah jauh darinya. Tapi mau apa lagi, biarpun playboy, Langit memiliki ambisi yang tinggi untuk belajar. Otaknya juga cerdas. Cita-citanya juga tidak bisa dianggap remeh.
Terkejut Langit mendengar sang mama menyebut kalau ini bukan lagi pagi. Ia melihat ponselnya, memastikan jam di ponselnya lebih tepatnya. Apakah mamanya main-main atau serius.
"Mama minta kamu sekarang pulang. Kakek kamu sakit keras. Dan dia terus menyebutkan namamu," ucap mama Anggie.
"Kenapa sih cepat sekali waktu berlalu. Seharusnya ini masih pagi, tapi kok tiba-tiba siang?" gerutu Langit. Tak ia dengarkan apa yang diucapkan mama Anggie barusan.
"Apa kamu bilang? Waktu cepat berlalu? Langit, mama bilang apa, kamu bilang apa. Aduh!"
"Jadi, dari tadi mama ngomong kamu nggak dengar?"
Langit memilih diam. Lebih baik ia membiarkan sang mama mengomel sampai ia bosan. Bila ia menyahut akan panjang ceritanya. Mungkin bisa sampai besok. Dan Langit tak mau itu terjadi. Ia masih ingin melanjutkan tidurnya yang sudah diganggu.
"Mama minta sama kamu pulang sekarang. Kakek kamu sakit keras. Dia menanyakan nama kamu terus. Tidak ada bantahan. Tiket pesawat mu sudah dipesan."
Begitu mama Anggie berceloteh sepanjang rel kereta api. Tanpa koma dan tanpa tarik napas. Mungkin kalau mama Anggie ikut dalam anggota paduan suara, pasti performanya lebih bagus tuh menahan napas.
Kaget Langit mendengar kakeknya sakit keras. Bisa juga ternyata orang tua itu sakit. Di usia yang sudah memasuki 79 itu, kakek Damar bisa sakit. Baru kali ini ia diminta pulang karena kakek Damar sakit.
Tetapi Langit teringat akan kuliahnya yang sebentar lagi berakhir. Sudah tahap penulisan skripsi dan magang.
"Tapi ma, kuliah Langit?"
"Semua sudah diatur. Yang jelas, sekarang kamu pulang. Kalau nggak, papa akan marah sama mama. Dan kakek Damar tidak akan memaafkan mu."
Usai berkata seperti itu, mama Anggie langsung memutus sepihak sambungan telepon itu.
Langit, kembali menutup tubuhnya dengan selimut, berbaring di samping wanita bukan keturunan Indonesia itu. Menggerutu karena tiba-tiba diminta pulang. Walau jujur ia sangat rindu dengan kakek Damar. Kakek yang sangat ia sayangi. Yang selalu ada dulu saat ia masih SMA. Sementara kedua orang tuanya sibuk bekerja.
Kini, Langit terbayang dengan kejadian tadi malam. Saat ia sedang ada di club, ada wanita seksi yang menemani dirinya. Selain seksi, tubuhnya juga berisi. Apalagi ditambah baju yang kurang bahan. Tubuh mulus, putih, rambut hitam seperti iklan sampo. Dan wanita itulah yang bersamanya sekarang.
Terlalu lama ia berkhayal sehingga ia lupa akan petuah mama tercinta. Yaitu pulang ke rumah dan menemui kakek yang sedang sakit keras.
Tergesa-gesa ia membereskan barang-barangnya karena jadwal penerbangan sudah mepet. Ya, usai bicara tadi mama Anggie mengirimkan tiket penerbangan ke ponsel Langit.
Sementara di kediaman kakek Damar, semua orang sedang panik. Menunggu kabar dari dokter yang sedang menangani kakek Damar saat ini. Kekerasan hati kakek Damar lah yang membuat mereka tidak membawanya ke rumah sakit. Ia benci dengan rumah sakit.
Bila nanti ia siuman, ia akan marah besar jika tau bahwa ia sedang berada di ruangan bercat putih dengan aroma khasnya, aroma obat.
"Sudahlah, ma. Dari tadi mondar-mandir terus, nggak capek apa? Kayak setrikaan aja," gerutu suaminya, papa Arian.
"Tenangkan dirimu," tambahnya lagi pada mama Anggie.
Papa Arian berusaha untuk menenangkan istrinya itu.
"Bagaimana aku tidak khawatir, papa tidak tau gimana sekarang keadaan papa Damar dan Langit belum tiba sampai sekarang. Mama nggak tau lagi dengan anak itu. Sudah dewasa umurnya, tapi tingkahnya entah kapan dewasa," keluh mama Anggie.
"Mama harus sabar. Berikan kepercayaan pada Langit. Mungkin dia belum menemukan jati dirinya"
Papa Arian masih berbicara dengan tenang. Ia tau, saat ini yang utama yang harus dilakukan adalah tenang, berpikir jernih dan tidak panik. Jika panik, maka pikiran akan blank. Hilang arah dan tak tau harus berbuat apa.
"Dalam hal ini, kita harus berpikir dengan kepala dingin. Jangan terbawa emosi. Semuanya pasti akan baik-baik saja. Papa yakin, sebentar lagi Langit akan datang."
Papa Arian yakin sekali dengan perkataannya.
Mereka berdua sedang menunggu di depan kamar kakek Damar. Sementara Andra, paman kecil yang dipanggil kakak oleh Sagara, belum juga tiba. Ia sedang menuju ke rumah setelah di telpon oleh mama Anggie, kakak iparnya.
"Kakak!"
Terdengar suara bariton seseorang, yang memecah keseriusan mereka.
"Gimana papa, kak? Apa yang terjadi? Kenapa papa tiba-tiba sakit?"
Pertanyaan beruntun, sukses mengalihkan perhatian pasangan suami istri itu.
"Andra, tenangkan dirimu dulu. Sebaiknya kamu duduk, kita tunggu kabar dari dokter. Papa sedang diperiksa sekarang," tutur Arian kepada adik bungsunya itu.
"Kejadiannya gimana, kak? Kok bisa papa tiba-tiba seperti ini? Papa kan selama ini baik-baik saja?"
Buah tak jauh jatuh dari pohonnya. Begitu pun Andra, sifat keras kepalanya tertular dari papa Damar, papanya dan Arian.
"Andra, kita juga nggak tau kenapa bisa seperti ini. Tiba-tiba saja papa begini. Kami nggak tau apa yang terjadi." Anggie, kakak iparnya mencoba menjelaskan.
"Tapi kan kalian di rumah, bagaimana bisa tidak tau?"
"Andra, berhenti berdebat! Bukan saatnya kita menuduh atau menyalahkan seseorang sekarang. Tidak ada yang tau kapan penyakit itu datang dan kepada siapa," tutur Arian dengan tenang.
Dari ketiganya, hanya dialah yang paling tenang sekarang.
To be continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Nurgusnawati Nunung
Bagus ceritanya
2024-02-27
1
S_P astuti
mulai baca kk
2023-12-25
0
Felan Jeong
keren kk 👏
2023-09-14
1