Happy Reading!
Suasana kamar hotel bernuansa megah itu diliputi dengan kesepian yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Bak kapal pecah yang sudah beberapa minggu tak terjamah. Sepertinya penghuni kamar itu masih sibuk dengan mimpinya di pulau kapuk. Dari mulai baju dalaman sampai baju luaran, berserakan. Ada yang di lantai, di tempat tidur, di kursi bahkan ada di depan pintu kamar mandi.
Suara dering ponsel mengagetkan seroang pria yang masih malas untuk membuka mata. Sedari tadi ponsel itu tak kunjung juga berhenti. Begitu pun si empunya gawai, tak ada niat untuk peduli dengan bunyi ponsel itu.
"Hahhh." Lelaki itu menghela napas. Mengeluh karena tidurnya diganggu.
"Siapa sih nelpon jam segini?" sungutnya di balik selimut. Seluruh tubuhnya ia tutupi dengan selimut. Juga telinganya ia tutupi demi menghindari bunyi dering ponsel itu. Tapi sayang, ia lupa untuk mengganti ke mode silent. Akhirnya ia yang diganggu.
Mau bergerak saja untuk membungkam gawai itu ia malas. Apalagi untuk berjalan, mengangkat gawai yang sudah berdering sedari tadi ia malas.
Mahasiswa tingkat akhir itu lebih memilih untuk melanjutkan lagi tidurnya. Membiarkan ponsel itu berdering selagi masih ada daya.
Namun siapa yang bisa tahan mendengar suara yang berdering dari tadi? Begitu pun Saga, pemuda tampan yang mengenakan celana boxer itu pun sama. Walau ia sudah menutup telinga dengan rapat, tapi suara ponsel itu tetap bisa menembus benteng yang sudah ia tutup kuat, menurutnya.
Dengan malas, ia singkapkan selimut itu. Keluarlah tangannya sebelah untuk meraih ponsel yang sudah lelah berdering itu.
"Halo!" ucapnya dengan malas.
"Langit, lama banget angkat telponnya? Kemana aja sih? Hah? Dari tadi mama udah nelponin kamu. Jangan-jangan kamu lagi sama perempuan ya? Kapan kamu berubah Langit? Mama lelah dengan semua ulah kamu. Sampai kapan kamu main-main dengan perempuan, nak?"
Suara menggelegar bersamaan dengan pertanyaan yang beruntun sukses sudah membuat Langit menjauhkan ponselnya dari indera pendengarannya yang serasa nyaris pecah.
"LANGIT BASKARA!"
Mama Anggie bahkan menekankan suara memanggil nama anaknya itu yang sedari tadi belum memberikan sebutir kata pun.
"Mama kenapa sih pagi-pagi udah ribut. Banyak banget lagi pertanyaannya. Yang mana duluan aku jawab?" tanya Langit Ia sudah mendekatkan kembali ponsel ke telinganya setelah mama Anggie menurunkan nada bicaranya.
"Pagi kamu bilang? Ini sudah siang, Langit. Astaga! Jangan-jangan tebakan mama benar. Kamu sedang tidur sama perempuan ya?"
Deg.
Bagaimana bisa mama Anggie tau bila saat ini Langit sedang bersama dengan perempuan? Memang benarlah, ibu lebih tau anaknya daripada siapapun.
Reflek, Langit menutup tubuhnya dengan selimut lagi. Menatap wanita berkulit putih pucat yang masih terlelap di sampingnya.
Mama Anggie tak percaya lagi dengan anaknya itu. Bisa dibilang menyesal ia karena membiarkan anaknya kuliah jauh darinya. Tapi mau apa lagi, biarpun playboy, Langit memiliki ambisi yang tinggi untuk belajar. Otaknya juga cerdas. Cita-citanya juga tidak bisa dianggap remeh.
Terkejut Langit mendengar sang mama menyebut kalau ini bukan lagi pagi. Ia melihat ponselnya, memastikan jam di ponselnya lebih tepatnya. Apakah mamanya main-main atau serius.
"Mama minta kamu sekarang pulang. Kakek kamu sakit keras. Dan dia terus menyebutkan namamu," ucap mama Anggie.
"Kenapa sih cepat sekali waktu berlalu. Seharusnya ini masih pagi, tapi kok tiba-tiba siang?" gerutu Langit. Tak ia dengarkan apa yang diucapkan mama Anggie barusan.
"Apa kamu bilang? Waktu cepat berlalu? Langit, mama bilang apa, kamu bilang apa. Aduh!"
"Jadi, dari tadi mama ngomong kamu nggak dengar?"
Langit memilih diam. Lebih baik ia membiarkan sang mama mengomel sampai ia bosan. Bila ia menyahut akan panjang ceritanya. Mungkin bisa sampai besok. Dan Langit tak mau itu terjadi. Ia masih ingin melanjutkan tidurnya yang sudah diganggu.
"Mama minta sama kamu pulang sekarang. Kakek kamu sakit keras. Dia menanyakan nama kamu terus. Tidak ada bantahan. Tiket pesawat mu sudah dipesan."
Begitu mama Anggie berceloteh sepanjang rel kereta api. Tanpa koma dan tanpa tarik napas. Mungkin kalau mama Anggie ikut dalam anggota paduan suara, pasti performanya lebih bagus tuh menahan napas.
Kaget Langit mendengar kakeknya sakit keras. Bisa juga ternyata orang tua itu sakit. Di usia yang sudah memasuki 79 itu, kakek Damar bisa sakit. Baru kali ini ia diminta pulang karena kakek Damar sakit.
Tetapi Langit teringat akan kuliahnya yang sebentar lagi berakhir. Sudah tahap penulisan skripsi dan magang.
"Tapi ma, kuliah Langit?"
"Semua sudah diatur. Yang jelas, sekarang kamu pulang. Kalau nggak, papa akan marah sama mama. Dan kakek Damar tidak akan memaafkan mu."
Usai berkata seperti itu, mama Anggie langsung memutus sepihak sambungan telepon itu.
Langit, kembali menutup tubuhnya dengan selimut, berbaring di samping wanita bukan keturunan Indonesia itu. Menggerutu karena tiba-tiba diminta pulang. Walau jujur ia sangat rindu dengan kakek Damar. Kakek yang sangat ia sayangi. Yang selalu ada dulu saat ia masih SMA. Sementara kedua orang tuanya sibuk bekerja.
Kini, Langit terbayang dengan kejadian tadi malam. Saat ia sedang ada di club, ada wanita seksi yang menemani dirinya. Selain seksi, tubuhnya juga berisi. Apalagi ditambah baju yang kurang bahan. Tubuh mulus, putih, rambut hitam seperti iklan sampo. Dan wanita itulah yang bersamanya sekarang.
Terlalu lama ia berkhayal sehingga ia lupa akan petuah mama tercinta. Yaitu pulang ke rumah dan menemui kakek yang sedang sakit keras.
Tergesa-gesa ia membereskan barang-barangnya karena jadwal penerbangan sudah mepet. Ya, usai bicara tadi mama Anggie mengirimkan tiket penerbangan ke ponsel Langit.
Sementara di kediaman kakek Damar, semua orang sedang panik. Menunggu kabar dari dokter yang sedang menangani kakek Damar saat ini. Kekerasan hati kakek Damar lah yang membuat mereka tidak membawanya ke rumah sakit. Ia benci dengan rumah sakit.
Bila nanti ia siuman, ia akan marah besar jika tau bahwa ia sedang berada di ruangan bercat putih dengan aroma khasnya, aroma obat.
"Sudahlah, ma. Dari tadi mondar-mandir terus, nggak capek apa? Kayak setrikaan aja," gerutu suaminya, papa Arian.
"Tenangkan dirimu," tambahnya lagi pada mama Anggie.
Papa Arian berusaha untuk menenangkan istrinya itu.
"Bagaimana aku tidak khawatir, papa tidak tau gimana sekarang keadaan papa Damar dan Langit belum tiba sampai sekarang. Mama nggak tau lagi dengan anak itu. Sudah dewasa umurnya, tapi tingkahnya entah kapan dewasa," keluh mama Anggie.
"Mama harus sabar. Berikan kepercayaan pada Langit. Mungkin dia belum menemukan jati dirinya"
Papa Arian masih berbicara dengan tenang. Ia tau, saat ini yang utama yang harus dilakukan adalah tenang, berpikir jernih dan tidak panik. Jika panik, maka pikiran akan blank. Hilang arah dan tak tau harus berbuat apa.
"Dalam hal ini, kita harus berpikir dengan kepala dingin. Jangan terbawa emosi. Semuanya pasti akan baik-baik saja. Papa yakin, sebentar lagi Langit akan datang."
Papa Arian yakin sekali dengan perkataannya.
Mereka berdua sedang menunggu di depan kamar kakek Damar. Sementara Andra, paman kecil yang dipanggil kakak oleh Sagara, belum juga tiba. Ia sedang menuju ke rumah setelah di telpon oleh mama Anggie, kakak iparnya.
"Kakak!"
Terdengar suara bariton seseorang, yang memecah keseriusan mereka.
"Gimana papa, kak? Apa yang terjadi? Kenapa papa tiba-tiba sakit?"
Pertanyaan beruntun, sukses mengalihkan perhatian pasangan suami istri itu.
"Andra, tenangkan dirimu dulu. Sebaiknya kamu duduk, kita tunggu kabar dari dokter. Papa sedang diperiksa sekarang," tutur Arian kepada adik bungsunya itu.
"Kejadiannya gimana, kak? Kok bisa papa tiba-tiba seperti ini? Papa kan selama ini baik-baik saja?"
Buah tak jauh jatuh dari pohonnya. Begitu pun Andra, sifat keras kepalanya tertular dari papa Damar, papanya dan Arian.
"Andra, kita juga nggak tau kenapa bisa seperti ini. Tiba-tiba saja papa begini. Kami nggak tau apa yang terjadi." Anggie, kakak iparnya mencoba menjelaskan.
"Tapi kan kalian di rumah, bagaimana bisa tidak tau?"
"Andra, berhenti berdebat! Bukan saatnya kita menuduh atau menyalahkan seseorang sekarang. Tidak ada yang tau kapan penyakit itu datang dan kepada siapa," tutur Arian dengan tenang.
Dari ketiganya, hanya dialah yang paling tenang sekarang.
To be continued.....
Happy Reading!
Dengan pasti, langkah kaki lelaki itu berjalan memasuki rumah besar itu. Rumah yang meninggalkan kenangan masa kecil yang tak bisa ia lupakan. Tas ransel yang ada di dalam gendongannya yang terlihat enteng, ia turunkan dan ia letakkan di sofa yang ada di ruangan itu. Terlihat sepi, tidak ada orang disana.
"Kemana semua orang?" batin Langit.
"Ma! Mama!" Langit berseru memanggil mamanya. Tapi tak ada yang menyahut.
"Kalau nggak ada itu dicariin! Jangan diam di sini aja. Bergerak itu kaki," omel seorang gadis yang masih berusia belasan tahun.
Gadis itu tumbuh bersama dengan Langit dari kecil. Mereka tetanggaan. Kakek Damar dan almarhum kakek Rilla - kakek gadis itu, gadis yang bernama Senja itu adalah sahabatan.
Dulu kala, mereka sama-sama ditugaskan di suatu pelosok. Demi mempertahankan keamanan negara, mereka rela harus berpisah dengan keluarga, mengutamakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan negara kepada mereka.
Senja, sudah seperti putri di keluarga mama Anggie dan papa Arian. Begitu pun dengan kakek Damar, sudah menganggap Nadira bak cucunya sendiri.
"Nggak berubah kamu ya. Tetap aja nggak sopan sama orang yang lebih tua," balas Langit dengan mengomel juga.
Tumbuh bersama dari kecil, membuat Senja sesuka hati bicara kepada Langit. Meski usia mereka terpaut empat tahun. Walau kadang, Senja menyebut Langit sebagai kakak.
Flashback on
"Senja, jemput gih kak Langit ke bandara!" titah mama Leoni, mama Senja dan Joan, adik laki-laki Senja.
"Kenapa harus Senja sih, ma? Nggak ada yang lain apa?" gerutu Senja. Entah kenapa ia malas sekali kemanapun hari ini. Badmood saat tau kondisi kakek Damar.
"Sayang, kamu tau kan gimana kondisi kakek Damar?"
Senja mengangguk lemah.
"Mama tau, tante Anggie pasti nggak kepikiran untuk menyuruh sopir untuk menjemput Langit ke bandara. Oleh karena itu, mama berinisiatif untuk meminta kamu menjemput Sagara. Kamu mau kan?"
Senja masih diam. Sebenarnya ia ingin ke rumah kakek Damar sekarang. Ingin tau bagaimana kondisi kakek Damar.
"Saat ini, semua pasti khawatir. Jadi mama minta tolong sama kamu, jemput kak Langit ke bandara ya. Pasti kakek Damar senang nanti saat ia tau cucu kesayangannya pulang," bujuk mama Leoni pada putri sulungnya itu.
"Ngapain di jemput sih, ma? Kan udah besar. Bisa kan naik taksi online atau apa kek," ucap Senja, belum mengabulkan permohonan sang mama.
"Kamu nggak rindu apa sama kakak kamu itu? Tiga tahun lebih lho kalian tidak bertemu, masa kamu nggak rindu sih? Nggak penasaran gitu se-ganteng apa dia sekarang," goda mama Leoni.
"Ganteng dari mana? Dari Hongkong? Palingan juga masih gendut," tutur Senja. Ada saja hal yang selalu ia perdebatkan. Apalagi kalau menyangkut Langit. Entah kenapa, sensitif sekali rasanya bila anggota keluarganya membahas lelaki yang satu itu.
"Sudahlah, nak. Jemput lah! Kasihan dia," tutur papa Darren mendukung usul mama Leoni - istrinya, papanya Senja dan Joan.
"Hitung-hitung biar semakin dekat kamu dengan Langit" imbuh papa Darren.
"Bukannya udah dekat dari dulu, pa?" tanya Senja
"Iya memang. Tapi kala itu kalian berdua masih kecil. Kalau sekarang kan kalian sudah besar," terang papa Darren.
"Ya udah deh. Dari pada mama mengoceh sepanjang jalan kenangan, iya, Senja pergi. Mana kunci mobil?" tanya Senja dengan enteng.
Tak sadar ia dengan pertanyaan itu. Padahal ia masih baru saja belajar menyetir. Terlalu semangat kali sehingga ia tanpa sadar seperti orang yang sudah profesional meminta kunci mobil yang akan ia bawa. Seolah ia sudah mahir sekali menyetir. Apakah ia sudah tak sabar untuk menyetir?
Mama Leoni menepuk jidatnya sendiri.
"Astaga, pa! Kenapa lah mama punya anak gadis se-error ini. Udah tau belum bisa bawa mobil sok sok minta kunci. Dasar," omel mama Leoni.
"Kamu minta aja pak Deno menemani kamu ke bandara. Biasa juga kan pak Deno yang nyupirin kamu kemana-mana," ucap papa Darren memberi usul.
Ya, karena persahabatan kakek Damar dan kakek Rilla, kedua keluarga itu sudah sangat dekat. Sehingga memperlakukan Nadira bak putri di keluarga itu.
Dengan terpaksa, Senja meminta bantuan kepada pak Deno untuk mengantarnya ke bandara, menjemput si tuan playboy yang kurang lebih tiga tahun tidak pulang ke rumah. Karena sibuk menyelesaikan pendidikannya.
Flashback off.
Jadilah sekarang, Langit sudah sampai di rumah berkat Senja.
Keduanya pun bergegas menuju ke kamar kakek Damar. Dan benar saja, dapat mereka lihat mama Anggie, papa Arian juga paman kecil Andra sedang duduk menunggu di depan kamar kakek Damar.
"Papa, gimana kakek?" tanya Langit langsung.
"Tuh kan, apa papa bilang. Langit pulang kan. Mama sih terlalu khawatir," ucap papa Arian. Senyum mahalnya ia kembangkan.
Mendengar ucapan dari sang suami, mama Anggie langsung tersenyum. Apalagi melihat gadis yang ada di sebelah Langit. Ia merasa hadirnya Langit di sini, tak lepas dari usaha yang dilakukan senja. Sangat yakin ia akan hal itu.
"Senja!" seru mama Anggie. Ia bukannya menyapa Langit. Malah lebih fokus pada gadis cantik dengan rambut yang ia cepol ke atas.
Bagi mama Anggie, Senja adalah gadis yang paling cantik. Ia berharap kelak Senja dan Langit akan bersatu membina mahligai rumah tangga yang harmonis.
Bergegas mama Anggie menghampiri Senja. Bahkan nyaris jatuh karena tak memperhatikan langkahnya.
"Trimakasih ya, sayang karena kamu sudah membawa putra tante pulang. Kamu memang selalu tau kalau tante ingin dia ada di sini. Saat tante minta ia datang, eh malah abai. Tapi saat kamu yang minta dia malah cepat geraknya," ucap mama Anggie melebih-lebihkan.
Langit mencibir. Ia tertawa getir. Segitu mahirnya mama Anggie memainkan perannya sebagai ratu drama. Bukannya menanyakan kabarnya atau memeluknya, mama Anggie malah lebih peduli pada Senja. Sementara Langit yang anak kandung, bak anak bawang.
Ini yang jadi anak sesungguhnya siapa sih? Kenapa rasanya Langit yang jadi anak sambung?
"Mama kenapa sih? Bukannya nanyain kabar Langit malah lebih peduli sama anak orang lain. Pilih kasih," protes Langit akhirnya.
"Kan kamu baik-baik saja. Untuk apa mamantajya kabar kamu? Dari cara kamu mengomel, mencibir dan mengeluh protes sudah terbukti kalau kamu baik-baik saja. Itu artinya tenagamu full. Karena kalau kamu tidak baik-baik saja maka kamu nggak akan sanggup omelin mama. Lagian siapa bilang Senja anak orang lain? Dia sudah mama anggap seperti putri mama," sahut mama Anggie panjang lebar.
Tak terima ia bila Senja diperlakukan dengan tidak baik oleh anak tunggalnya itu.
Papa Arian dan paman kecil Andra, diam saja menyaksikan perdebatan ibu dan anak itu.
"Tante, sebenarnya Senja nggak ...."
"Duduk sayang!" ajak mama Anggie. Ia sudah menyela Senja yang belum selesai dengan kalimatnya.
Dengan antusias, mama Anggie menarik pergelangan tangan Senja, membawanya menuju kursi yang ada di sana. Tatapan tajamnya ia tujukan pada papa Arian dan paman kecil Andra agar memberi ruang untuk Senja jalan. Padahal sama sekali tak menghalangi jalan.
Sementara Senja, tak tau harus berbuat apa. Tak bisa ia menolak ajakan dari mama Anggie. Ia akui, mama Anggie memperlakukan ia dengan sangat baik seingat ia, mulai ia lahir mungkin. Karena seingatnya, dari kecil mama Anggie memperlakukan dirinya layaknya bagian dari keluarga mereka.
Sementara di dalam kamar kakek Damar, dokter sudah selesai memeriksa kondisi kakek. Ia ditemani oleh seorang perawat yang sengaja ia minta dari rumah sakit tempat ia praktek.
"Langit," ucap kakek Damar dengan bergumam. Nyaris saja suaranya tak terdengar di telinga perawat yang sedang memperbaiki selimut kakek Damar.
"Langit," ucap kakek itu lagi. Suaranya sudah lebih jelas dibanding yang tadi.
"Suster, kakek bilang apa?" tanya sang dokter.
Mata kakek Damar memang terpejam, tapi mulutnya komat-kamit memanggil-manggil nama Langit, cucu satu-satunya.
To be continued...
Happy Reading!
Terdengar bunyi pintu yang dibuka dari dalam. Membuat atensi orang-orang yang sedang menunggu di sana terarah pada pintu ruangan kakek Damar.
"Dokter!" sapa Langit kepada dokter yang baru saja memeriksa kakek Damar.
"Bagaimana kakek saya? Apakah beliau baik-baik saja?" tanya Langit kemudian. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan sang kakek. Ingin tau ia segera bagaimana kabar kakek Damar.
"Beliau masih belum sadar. Tetapi mulutnya selalu memanggil-manggil nama anda, tuan muda," jawab sang dokter. Ia adalah dokter keluarga kakek Damar. Sehingga ia sudah mengenal semua yang ada di dalam rumah itu, juga Senja dan keluarganya.
"Boleh saya masuk dokter?"
"Silakan, tuan muda. Mungkin anda yang beliau tunggu-tunggu," sahut sang dokter. Ia bergeser beberapa langkah untuk memberi ruang kepada Langit agar bisa masuk ke dalam kamar kakek Damar.
Bersamaan dengan itu, papa Darren dan mama Leoni, baru sana tiba di dalam ruangan itu. Mereka segera bergabung dengan rombongan mama Anggie yang sedang menunggui kakek Damar.
Dengan langkah cepat, Langit langsung membuka kamar kakek Damar. Seorang perawat juga beriringan keluar dari kamar kakek Damar. Lalu tersenyum mempersilakan Langit untuk berjumpa dengan kakek Damar.
"Kakek!"
Langit menghampiri ranjang king size milik sang kakek. Dilihatnya kakek yang sedang menutup mata ditutupi oleh selimut sampai ke dada. Kerutan di wajah sang kakek sudah semakin kentara. Usia senja yang nyaris saja menginjak kepala delapan, tapi tak melunturkan ketampanan dari pria mantan pembela negara tersebut.
Rambutnya yang sudah putih kini tak terlihat lagi. Sudah digilas dengan warna hitam yang mengkilap. Tak mau ia jika sampai rambut putihnya muncul. Alasannya selalu tak mau dipanggil kakek tua.
"Kakek, Langit di sini. Apakah kakek tidak merindukan Langit?"
Langit segera memeluk tubuh renta yang sedang terbaring itu Kemudian, ia menggenggam erat tangan sang kakek.
"Langit akan menemani kakek melewati semua ini, tapi Langit mohon, kakek bangun ya."
Sementara kakek Damar seperti bermimpi. Bermimpi bertemu dengan Langit, cucu satu-satunya, cucu kesayangannya.
"Langit... Kau kah ini?"
Dalam mimpinya sang kakek berusaha meraih wajah Langit, tapi tak mampu. Lengan kokohnya sudah berubah jadi lemah. Bahkan tangannya tak mampu meraih jemari tangan cucunya itu. Terasa berat dan tak kuasa ia meraihnya.
Sementara Langit, ia merasa sesuatu yang bergerak di jari tangannya. Ya, jemari kakek Damar bergerak.
"Kakek!" Langit berseru. Memanggil sang kakek. Berharap kakek Damar segera terbangun. Dan melihatnya di sini sedang bersamanya.
"La-La-Langit" Terbata-bata sang kakek menyebut nama cucunya itu. Cucu yang tiga tahun lebih kurang ia rindukan karena tak pernah pulang. Selalu menolak pulang dengan alasan sibuk kuliah.
"Langit, kamu kah ini nak? Kakek tidak bermimpi kan?" Kakek Damar memastikan apakah ia bermimpi atau tidak. Matanya yang terpejam kini sudah terbuka sempurna. Langit bisa melihatnya itu dengan jelas. Ya, kakek Damar sudah sadarkan diri.
"Kakek! Syukurlah kakek sudah sadar."
Langit kembali memeluk sang kakek. Mengungkapkan betapa ia merasa bahagia.
"Langit, Senja mana?"
"Senja di luar, kek."
Lagi lagi, bukan hanya mama Anggie. Bahkan kakek Damar pun menaruh perhatian lebih kepada gadis yang satu itu. Siapa lagi kalau bukan Senja, Senja Menata nama lengkapnya.
"Kakek mau bicara dengan kalian berdua. Segera panggil ia kemari," pinta kakek Damar.
Tanpa banyak tanya, tanpa protes, Langit segera keluar. Menurut permintaan sang kakek. Sudah bukan saatnya ia bercanda dan banyak tanya sekarang.
Dan tak berselang lama, Langit kembali bersama dengan Senja yang berjalan di belakangnya. Senja mengukir senyumnya kepada kakek Damar yang sudah terlihat jauh lebih baik.
"Kakek, apa yang kakek rasakan sekarang?" tanya Senja lembut. Senyum di wajahnya telah hilang. Yang ada sekarang dia merasa khawatir dengan sahabat kakeknya itu.
"Kakek baik-baik saja, nak. Uhuk uhuk." Si kakek Damar batuk-batuk.
"Duduklah!" pintanya, ekor matanya menunjuk kursi yang ada di sebelah ranjangnya. Hanya ada satu.
Langit mengisyaratkan Senja untuk duduk melalui pandangan matanya, sambil mengangguk ia. Lalu dirinya memilih berdiri di samping Senja. Tak ada niat untuk mengambil kursi yang agak jauh dari mereka.
"Satu hal yang ingin kakek sampaikan pada kalian." Kakek Damar mulai ceritanya. Ia sangat serius. Begitupun Senja dan Langit seksama mereka mendengar cerita sang kakek. Menyiapkan telinga, hati dan pikiran akan apa yang akan disampaikan kakek Damar kelak.
"Dulu sekali, saat kakek kamu dan kakek sedang berada di Medan peperangan. Waktu itu saya hampir saja terbunuh. Tetapi dengan tanpa rasa takut, kakek kamu menolong saya. Membantu saya agar tak tertembak oleh senjata musuh. Dengan tanpa pamrih ia korbankan dirinya untuk saya. Waktu itu....."
Kakek Damar mulai bercerita. Cerita yang begitu sendu dan menyayat hati.
Demi keselamatannya, sang sahabat rela mengorbankan dirinya untuknya. Bahkan, kakek Rilla kala itu hampir saja tiada. Hingga akhirnya ia menghembuskan napas terakhir saat kakek Rilla divonis dokter mengidap penyakit kanker otak.
Bukan karena kalah dalam pertempuran atau karena memang salah dalam menggunakan jurus atau senjata. Tapi karena tidak mau mengkhianati negaranya demi mendapatkan keuntungan sendiri.
Ya, saat peperangan itu terjadi, musuh memanfaatkan persahabatan mereka. Dimana kakek Damar dijadikan sebagai tumbal asal kakek Senja, yang bernama Rilla itu mau bekerja sama dengan musuh.
Kakek Rilla lebih memilih negaranya, persahabatannya sehingga rela mengorbankan nyawanya.
"Sebelum ia menghembuskan napas terakhir, beliau meminta satu hal kepada saya," tutur kakek Damar dengan nada sendu. Setitik bulir bening jatuh membasahi ujung matanya.
"Beliau meminta agar kelak kami akan menjodohkan anak kami saat mereka dewasa dan pada waktu itu istri kami sedang mengandung. Yaitu mama Langit dan mama Senja."
Kakek Damar menarik napasnya panjang. Kejadian itu tak bisa ia lupakan. Sangat menyayat di dalam hatinya.
"Karena istri kakek dan istri kakek kamu melahirkan anak laki-laki, maka kakek akan meneruskan perjodohan ini kepada kalian berdua. Kamu dan Senja kakek minta untuk meneruskan perjodohan ini."
Kedua manusia itu terperanjat dengan kalimat panjang yang baru saja disampaikan kakek Damar.
"Apa? Perjodohan?"
Begitu keduanya, serempak berujar. Bahkan langsung tersenyum nyengir saling berlawanan. Mereka tidak terima dengan apa yang baru saja mereka dengar.
"Jadi, maksud kakek aku akan menikah dengan gadis kecil ini?" tanya Langit, mencoba memastikan.
"Iya. Hanya ini satu-satunya cara agar kakek bisa mewujudkan impian kami dulu. Karena anak kami terlahir laki-laki maka kakek menurunkannya kepada kalian. Kakek harap kalian mau mengabulkan permintaan kakek disisa umur kakek yang tinggal beberapa kalender lagi."
"Nggak. Senja nggak mau menikah dengan laki-laki playboy seperti dia, kek. Kakek tau kan dia itu banyak ceweknya. Dia suka sekali mempermainkan perempuan." Senja menolak langsung.
Mengingat keduanya tumbuh bersama sedari kecil, adu mulut adalah hal biasa bagi mereka. Bahkan sering Langit menjitak kepala Senja.
"Laki-laki mesum," cibir Senja.
To be continued....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!