Happy Reading!
Terdengar bunyi pintu yang dibuka dari dalam. Membuat atensi orang-orang yang sedang menunggu di sana terarah pada pintu ruangan kakek Damar.
"Dokter!" sapa Langit kepada dokter yang baru saja memeriksa kakek Damar.
"Bagaimana kakek saya? Apakah beliau baik-baik saja?" tanya Langit kemudian. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan sang kakek. Ingin tau ia segera bagaimana kabar kakek Damar.
"Beliau masih belum sadar. Tetapi mulutnya selalu memanggil-manggil nama anda, tuan muda," jawab sang dokter. Ia adalah dokter keluarga kakek Damar. Sehingga ia sudah mengenal semua yang ada di dalam rumah itu, juga Senja dan keluarganya.
"Boleh saya masuk dokter?"
"Silakan, tuan muda. Mungkin anda yang beliau tunggu-tunggu," sahut sang dokter. Ia bergeser beberapa langkah untuk memberi ruang kepada Langit agar bisa masuk ke dalam kamar kakek Damar.
Bersamaan dengan itu, papa Darren dan mama Leoni, baru sana tiba di dalam ruangan itu. Mereka segera bergabung dengan rombongan mama Anggie yang sedang menunggui kakek Damar.
Dengan langkah cepat, Langit langsung membuka kamar kakek Damar. Seorang perawat juga beriringan keluar dari kamar kakek Damar. Lalu tersenyum mempersilakan Langit untuk berjumpa dengan kakek Damar.
"Kakek!"
Langit menghampiri ranjang king size milik sang kakek. Dilihatnya kakek yang sedang menutup mata ditutupi oleh selimut sampai ke dada. Kerutan di wajah sang kakek sudah semakin kentara. Usia senja yang nyaris saja menginjak kepala delapan, tapi tak melunturkan ketampanan dari pria mantan pembela negara tersebut.
Rambutnya yang sudah putih kini tak terlihat lagi. Sudah digilas dengan warna hitam yang mengkilap. Tak mau ia jika sampai rambut putihnya muncul. Alasannya selalu tak mau dipanggil kakek tua.
"Kakek, Langit di sini. Apakah kakek tidak merindukan Langit?"
Langit segera memeluk tubuh renta yang sedang terbaring itu Kemudian, ia menggenggam erat tangan sang kakek.
"Langit akan menemani kakek melewati semua ini, tapi Langit mohon, kakek bangun ya."
Sementara kakek Damar seperti bermimpi. Bermimpi bertemu dengan Langit, cucu satu-satunya, cucu kesayangannya.
"Langit... Kau kah ini?"
Dalam mimpinya sang kakek berusaha meraih wajah Langit, tapi tak mampu. Lengan kokohnya sudah berubah jadi lemah. Bahkan tangannya tak mampu meraih jemari tangan cucunya itu. Terasa berat dan tak kuasa ia meraihnya.
Sementara Langit, ia merasa sesuatu yang bergerak di jari tangannya. Ya, jemari kakek Damar bergerak.
"Kakek!" Langit berseru. Memanggil sang kakek. Berharap kakek Damar segera terbangun. Dan melihatnya di sini sedang bersamanya.
"La-La-Langit" Terbata-bata sang kakek menyebut nama cucunya itu. Cucu yang tiga tahun lebih kurang ia rindukan karena tak pernah pulang. Selalu menolak pulang dengan alasan sibuk kuliah.
"Langit, kamu kah ini nak? Kakek tidak bermimpi kan?" Kakek Damar memastikan apakah ia bermimpi atau tidak. Matanya yang terpejam kini sudah terbuka sempurna. Langit bisa melihatnya itu dengan jelas. Ya, kakek Damar sudah sadarkan diri.
"Kakek! Syukurlah kakek sudah sadar."
Langit kembali memeluk sang kakek. Mengungkapkan betapa ia merasa bahagia.
"Langit, Senja mana?"
"Senja di luar, kek."
Lagi lagi, bukan hanya mama Anggie. Bahkan kakek Damar pun menaruh perhatian lebih kepada gadis yang satu itu. Siapa lagi kalau bukan Senja, Senja Menata nama lengkapnya.
"Kakek mau bicara dengan kalian berdua. Segera panggil ia kemari," pinta kakek Damar.
Tanpa banyak tanya, tanpa protes, Langit segera keluar. Menurut permintaan sang kakek. Sudah bukan saatnya ia bercanda dan banyak tanya sekarang.
Dan tak berselang lama, Langit kembali bersama dengan Senja yang berjalan di belakangnya. Senja mengukir senyumnya kepada kakek Damar yang sudah terlihat jauh lebih baik.
"Kakek, apa yang kakek rasakan sekarang?" tanya Senja lembut. Senyum di wajahnya telah hilang. Yang ada sekarang dia merasa khawatir dengan sahabat kakeknya itu.
"Kakek baik-baik saja, nak. Uhuk uhuk." Si kakek Damar batuk-batuk.
"Duduklah!" pintanya, ekor matanya menunjuk kursi yang ada di sebelah ranjangnya. Hanya ada satu.
Langit mengisyaratkan Senja untuk duduk melalui pandangan matanya, sambil mengangguk ia. Lalu dirinya memilih berdiri di samping Senja. Tak ada niat untuk mengambil kursi yang agak jauh dari mereka.
"Satu hal yang ingin kakek sampaikan pada kalian." Kakek Damar mulai ceritanya. Ia sangat serius. Begitupun Senja dan Langit seksama mereka mendengar cerita sang kakek. Menyiapkan telinga, hati dan pikiran akan apa yang akan disampaikan kakek Damar kelak.
"Dulu sekali, saat kakek kamu dan kakek sedang berada di Medan peperangan. Waktu itu saya hampir saja terbunuh. Tetapi dengan tanpa rasa takut, kakek kamu menolong saya. Membantu saya agar tak tertembak oleh senjata musuh. Dengan tanpa pamrih ia korbankan dirinya untuk saya. Waktu itu....."
Kakek Damar mulai bercerita. Cerita yang begitu sendu dan menyayat hati.
Demi keselamatannya, sang sahabat rela mengorbankan dirinya untuknya. Bahkan, kakek Rilla kala itu hampir saja tiada. Hingga akhirnya ia menghembuskan napas terakhir saat kakek Rilla divonis dokter mengidap penyakit kanker otak.
Bukan karena kalah dalam pertempuran atau karena memang salah dalam menggunakan jurus atau senjata. Tapi karena tidak mau mengkhianati negaranya demi mendapatkan keuntungan sendiri.
Ya, saat peperangan itu terjadi, musuh memanfaatkan persahabatan mereka. Dimana kakek Damar dijadikan sebagai tumbal asal kakek Senja, yang bernama Rilla itu mau bekerja sama dengan musuh.
Kakek Rilla lebih memilih negaranya, persahabatannya sehingga rela mengorbankan nyawanya.
"Sebelum ia menghembuskan napas terakhir, beliau meminta satu hal kepada saya," tutur kakek Damar dengan nada sendu. Setitik bulir bening jatuh membasahi ujung matanya.
"Beliau meminta agar kelak kami akan menjodohkan anak kami saat mereka dewasa dan pada waktu itu istri kami sedang mengandung. Yaitu mama Langit dan mama Senja."
Kakek Damar menarik napasnya panjang. Kejadian itu tak bisa ia lupakan. Sangat menyayat di dalam hatinya.
"Karena istri kakek dan istri kakek kamu melahirkan anak laki-laki, maka kakek akan meneruskan perjodohan ini kepada kalian berdua. Kamu dan Senja kakek minta untuk meneruskan perjodohan ini."
Kedua manusia itu terperanjat dengan kalimat panjang yang baru saja disampaikan kakek Damar.
"Apa? Perjodohan?"
Begitu keduanya, serempak berujar. Bahkan langsung tersenyum nyengir saling berlawanan. Mereka tidak terima dengan apa yang baru saja mereka dengar.
"Jadi, maksud kakek aku akan menikah dengan gadis kecil ini?" tanya Langit, mencoba memastikan.
"Iya. Hanya ini satu-satunya cara agar kakek bisa mewujudkan impian kami dulu. Karena anak kami terlahir laki-laki maka kakek menurunkannya kepada kalian. Kakek harap kalian mau mengabulkan permintaan kakek disisa umur kakek yang tinggal beberapa kalender lagi."
"Nggak. Senja nggak mau menikah dengan laki-laki playboy seperti dia, kek. Kakek tau kan dia itu banyak ceweknya. Dia suka sekali mempermainkan perempuan." Senja menolak langsung.
Mengingat keduanya tumbuh bersama sedari kecil, adu mulut adalah hal biasa bagi mereka. Bahkan sering Langit menjitak kepala Senja.
"Laki-laki mesum," cibir Senja.
To be continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments