Malam hari..
Sebuah Avanza hitam berhenti di depan rumah keluarga Raya. Beliau adalah Nyonya Mahendra. Teman Mamah Raya yang datang bersama putra lelakinya yang bernama Divio.
"Bentar yah sayang.. Mamah cuma mau nganterin baju ini sama temen Mamah." saat Sang Mamah hendak keluar, Divio tiba-tiba menahannya.
"Mah tunggu!"
"Kenapa?"
"Vio kebelet.. Numpang ke kamar mandi dibolehin gak yah?"
Nyonya Mahendra tertawa geli dan akhirnya menyuruh Divio mengikutinya. Merekapun berjalan bersama menyusuri halaman rumah keluarga Raya yang luas.
Diantara member trio somvlak, keluarga Raya adalah yang paling sultan. Ayahnya seorang Dokter spesialis penyakit dalam di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Sementara Ibunya seorang psikolog. Maka tak heran kalau rumah keluarga Raya begitu megah bak istana.
Setelah bertemu Mamah Raya, Nyonya Mahendra langsung memperkenalkan putranya. "Kenalin Jeng, Ini anak aku yang baru datang dari London.
Namanya Divio."
Divio segera menyalami Mamah Raya. Kemudian Mamah Divio meminta izin putranya untuk ikut numpang ke toilet. Mamah Raya pun mengizinkan.
Setelah Divio pergi, kedua Nyonya itu berbincang.
"Tapi, kenapa putra Jeng kembali ke Indonesia? Bukannya di London dia sedang study?"
"Dia kasihan sama aku. Karena semenjak Papahnya pergi, aku cuma tinggal berdua sama pembantu."
Divio rupanya sudah tidak memiliki Ayah. 2 bulan yang lalu tepatnya. Sang Ayah meninggal akibat serangan jantung.
Setelah menyelesaikan urusannya, Divio keluar dari toilet yang terletak di lantai 2. Dan saat dirinya melintasi sebuah kamar , langkahnya terhenti ketika sayup-sayup terdengar suara merdu milik seorang Gadis yang tak lain adalah Raya.
"Kuingin saat ini engkau ada disini
Tertawa bersamaku seperti dulu lagi
Walau hanya sebentar
Tuhan tolong kabulkanlah
Bukannya diri ini tak terima kenyataan
Hati ini hanya rindu.."
Divio termangu. Hatinya seolah ikut merasakan kesedihan yang disampaikan gadis itu melalui lagu tersebut. Lagu yang Divio yakini berasal dari hati.
Pemuda itu jadi penasaran akan sosok si empunya suara yang telah berhasil menggetarkan hatinya. Pada Tuhan, ia berharap dipertemukan dengan gadis itu bila diizinkan.
Sayangnya harapan tinggal harapan, handphone Divio tiba-tiba berdering dan memaksa dirinya untuk pergi darisana.
Raya sendiri terkejut ketika mendengar suara dering handphone yang berasal dari luar kamarnya. Cepat-cepat ia menghapus airmatanya dan melangkah menuju pintu.
Wakwaw! Tidak ada siapa-siapa disana.
**
Keyla berdiri di depan rumahnya sambil menunggu kedatangan Raya dan Meisya. Namun sampai pukul 06.40, batang hidung mereka tak juga tampak.
Keyla menggerutu. "Kalau gini ceritanya gue bisa telat."
Disaat yang sama, Aby yang juga hendak berangkat sekolah, muncul dengan ninja merahnya. Ia pun menghentikan kuda besinya di samping gadis itu.
"Kok loe belum berangkat?"
"Tahu nih, temen gue belum datang juga. Mana hari ini ada ulangan matematika lagi." Keyla cemas bahkan nyaris menangis. Masa ia harus absen sekolah hanya karena Raya tidak menjemputnya.
"Yaudah gue anterin. " Kata Aby tanpa diduga.
Keyla tak serta merta percaya. Karena bukankah Aby terkadang suka mengibul? Tapi Aby memang Serius dengan ucapannya.
"Serius gue."
"Tapi kan sekolah kita berlawanan arah."
" Ya gak papa.. Lagian gue lagi pengen dihukum hari ini."
"Stress!"
"Gak papa, yang penting ganteng. Udah buruan naik!"
Karena sahabatnya itu terus memaksa, Keyla akhirnya naik ke motor Aby. Keyla akui, Cowok itu memang baik meskipun kadang nyebelin.
"Udah?" Tanya Aby, sesaat setelah Keyla duduk di belakangnya.
"Udah." Keyla berpegangan ke pundak Aby.
Aby menepuk motornya ala-ala Mang Entis Tukang Ojek Pengkolan. "Berangkat.."
Berbeda dengan Keyla, Meisya yang punya firasat jika Raya tidak akan berangkat sekolah, memilih berangkat dengan grabcar.
Saat dirinya sedang berjalan menuju kelas, tiba-tiba sebuah suara memanggilnya.
Meisya pun berbalik. Rupanya Regy yang kemudian berjalan menghampirinya.
"Ada titipan dari teman saya buat Kakak." Regy mengulurkan sepucuk surat yang dibungkus amplop berwarna putih.
Meisya menatap Regy. Ganti menatap surat yang dipegangnya, lalu mengambil benda tersebut. Masih jaman kah mengirim surat di era modern seperti sekarang? Gadis itu tidak habis thinking.
"Temen kamu siapa?"
"Namanya Rangga. Dia anak kelas 10 IPA 5." Regy pamit setelah sebelumnya meminta Meisya untuk segera membaca surat tersebut.
Teruntuk: Kak Meisya Adriana
Saya tahu, sudah tidak jaman mengirim surat cinta seperti ini. Tapi saya tidak peduli.
Karena setahu saya, mengagumi seseorang tidak bergantung pada jaman.
Setidaknya, itulah yang saya rasakan saat ini terhadap Kakak.
Entah mengapa, mata ini tidak pernah bosan saat memandangi keindahan diri Kakak.
Begitupun dengan insan ini, yang berharap dapat mengenal sosok Kakak lebih jauh.
Semoga Kakak tidak keberatan dengan perasaan saya.
Dari : Rangga Aditya.
Meisya nyengir. Puitis sekali kata-kata yang terkandung dalam surat itu. Ia jadi baper sendiri.
Meisya pun penasaran akan sosok Rangga. Seperti apa orangnya? Dan mungkinkah orang yang menaruh coklat di mejanya adalah orang yang sama?
Mendadak senyum yang semula menghias wajah Meisya sirna, ketika dirinya melihat Rizvan yang sedang berjalan ke arahnya bersama seorang gadis. Mereka tertawa dan tampak sangat bahagia.
Berbeda dengan hatinya yang remuk redam.
Rizvan sendiri juga berhenti ketika melihat sosok Meisya di hadapannya. Sosok yang dulu begitu dekat, namun kini justru seperti orang asing baginya.
Merekapun saling bertatap dalam diam untuk beberapa lama. Sebelum akhirnya, gadis yang bersama Rizvan berkata, membuyarkan lamunan pemuda itu.
"Van? Kamu kenapa?"
"Hah? Ng.. nggak.. gimana tadi?"
Merekapun meneruskan langkah. Saat melintasi Meisya yang mematung di tempatnya, Rizvan seolah tak melihat keberadaan Meisya dan berlalu begitu saja.
Membuat Meisya sukses menitikkan airmatanya.
'Tega banget kamu Van.' Jeritnya dalam hati.
Sedangkan tangannya refleks meremas surat pemberian Rangga. Kemudian membuangnya begitu saja.
Ia menangis dan berlari entah hendak kemana.
Tak lama, seseorang mengambil gulungan surat yang sudah kusut tersebut.
.
Meisya pergi ke belakang kelas dan menangis sejadi-jadinya disana. Ia sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran Rizvan.
Perlahan, ia mengingat kejadian satu tahun yang lalu. Saat semuanya masih baik-baik saja, hingga akhirnya keretakan hubungannya dengan Rizvan berawal.
Kala itu, Meisya dan Rizvan tengah duduk di sebuah bangku, di halaman sekolah.
"Van.. Aku boleh jujur nggak sama kamu?" Tanya Meisya yang sempat diliputi keraguan.
"Boleh.. Jujur soal apa?" Rizvan yang saat itu belum sedingin salju, balik bertanya.
"Soal perasaan aku..
Jujur, aku suka sama kamu." Terang Meisya, tanpa basa-basi. Persetan dengan harga dirinya.
Yang jelas ia sudah tidak bisa menahan perasaannya lebih lama lagi.
Rizvan dibuat shock. "Kamu serius?"
Meisya mengangguk mantap. Dalam hati ia berdoa Rizvan merasakan hal yang sama.
"Sejak kapan?"
"Aku nggak tahu.. Yang jelas, 2 tahun kita deket, bikin aku nyaman dan nggak bisa jauh dari kamu."
Rizvan menghela nafas. Semua ini diluar dugaannya. "Terus aku harus gimana?"
"Kamu cuma tinggal jawab. Mau jadi pacar aku atau nggak."
Tanpa diduga, Rizvan berkata, "Maaf Mei, aku nggak bisa jawab sekarang. Ini semua terlalu mendadak."
Meski kecewa, Meisya berhasil menyembunyikannya dibalik senyuman. "Yaudah gak papa.. Aku akan setia menunggu jawaban dari kamu."
Keesokan harinya, mereka berpapasan di lorong sekolah. Meisya menyapa Rizvan dengan wajah yang sumringah dan berharap Rizvan sudah mempunyai jawaban atas perasaannya.
Namun kenyataannya, Rizvan hanya membalas sapaan Meisya dengan senyuman paksa.
Meisya pun berjalan disamping Rizvan. Ia sampai mengurungkan niatnya pergi ke perpustakaan hanya untuk mengikuti Rizvan.
"Kamu udah sarapan?" Meisya perhatian.
"Udah" Jawab Rizvan cuek.
"Oh.. Kirain belum. Oiyah Van, nanti malam nonton film yuk? Udah lama kan kita nggak nonton."
Rizvan mendadak berhenti melangkah. Tanpa menatap Meisya, ia menjawab dengan dingin.
"Gak bisa, aku sibuk." Lalu pergi meninggalkan Gadis itu.
Semenjak saat itu, Rizvan seolah menghindari Meisya. Telfonnya tidak pernah diangkat, pesannya tidak pernah dibalas, bahkan yang lebih menyakitkan, Kontak Meisya sampai dihapus dari handphonenya. Begitupun dengan social medianya yang mendadak di unfollow semua.
Mengingat semua itu, airmata Meisya semakin mengalir dengan deras. Kalaupun Rizvan menolaknya, harusnya pria itu bicara baik-baik. Bukan malah menghindarinya sampai detik ini.
Membuat dirinya tampak seperti pengecut.
"Kakak nggak papa?" Tanya seseorang seraya mengulurkan sebungkus tissue.
Buru-buru Meisya menyeka airmatanya, lalu menatap orang itu. Rupanya adik kelas yang tadi memberinya surat cinta dari temannya alias si Regy.
"Kakak nggak papa." Meisya menerima tissue pemberian Regy.
Regy duduk disamping Meisya. "Surat dari temen saya udah dibaca?"
Meisya hanya mengangguk. Ia baru ingat pada surat yang dibuangnya tanpa sadar.
"Gimana?" Regy penasaran.
"Kata-katanya bagus. Bikin Kakak penasaran sama temen kamu itu. Yang mana sih orangnya?"
Regy tersenyum semanis madu. "Nanti saya tunjukan kalau ada orangnya."
"Oke.. By the way, kita berdua belum kenalan.
Nama kamu siapa?" Tanya Meisya pada pemuda tampan yang sekilas mirip aktor Arbani Yasiz.
Regy tersenyum tipis. "Perlu yah?"
"Ya perlu lah.. Kalau Kakak nggak tahu nama kamu, gimana Kakak manggil kamu?"
Akhirnya Regy memperkenalkan diri. Ia mengulurkan tangan. "Nama aku Regy.. Regy Alvino."
Meisya menjabatnya disertai senyuman. "Nggak usah disebutin juga kamu udah tahu kan nama Kakak?"
Regy menggeleng dusta. "Belum."
"Bohong!"
"Haha."
**
Saat tiba di kelas, Meisya melihat Keyla yang rupanya sudah datang dan tengah duduk manis ditempatnya.
"Loe abis darimana?" Tanya Keyla, heran.
"Dari mana saja boleh."
"Dih!"
Meisya meletakkan tas yang digendongnya di samping kursi Keyla. "Si kampret gak masuk yah?"
"Antara gak masuk atau belum datang." Keyla menatap jam tangan berwarna lilac yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah pukul 06.55 WIB.
5 menit kemudian, Guru matematika yang bernama Bu Hanum akhirnya masuk. Beliau langsung menyuruh para murid untuk menyiapkan dua lembar kertas. Karena ulangan harian akan segera dilaksanakan.
"Oiyah sebelumnya, ada yang tidak masuk?"
"Raya Bu!" Cetus Keyla.
"Raya kemana?"
"Saya hadir Bu." Raya muncul tanpa tanda-tanda.
Meisya dan Keyla melongo melihat si kamvret. Mereka pikir Raya tidak akan masuk.
Sementara Bu Hanum terlihat kesal.
"Saya benci murid yang tidak disiplin.
Jadi silahkan keluar, dan tidak usah ikut pelajaran saya."
Raya menghela nafas panjang. Setelah menaruh tasnya, ia keluar kelas dan berjalan tanpa arah dan tujuan.
Tak lama setelah Raya keluar, Bu Susan (Wali kelas mereka) masuk bersama seorang siswa pindahan.
Keyla ternganga melihat pemuda itu. "Bo lihat.. Itu kan..."
**
-SMA 70-
Aby baru datang pada pukul 07.03 setelah sebelumnya mengendarai motor bak seorang pembalap. Yakin, Valentino Rossi pun pasti kalah jika adu kecepatan dengannya
Sayangnya saat ia datang, Pak Anton sudah siap dengan hukumannya.
"Pagi Abiii.." Sapa Pak Anton sambil memukul-mukul tongkat ke telapak tangannya. Sapaan yang manis tapi dibaliknya terdapat hukuman sadis.
"Eh Bapak.. Pagi juga Pak..
Duh bapak Makin hari makin ganteng aja." Rayu Aby, berharap Pak Anton luluh dan meloloskannya dari hukuman.
"Masaaaa?? Ngomong-ngomong mau apa kamu kesini?"
"Ih si Bapak lucu deh.. Saya mau sekolah atuh Pak, masa mau gali kuburan."
"Kok jam segini baru datang?"
"Iya pak, tadi tuh jalanan macet. Jadi saya telat."
"Macet gigimu! Sudah, sekarang juga kamu pergi ke lapangan dan hormat pada tiang bendera selama satu jam pelajaran. Cepat!"
Aby mendengus kesal. Sudah botak, nyebelin lagi. Siapa itu? Ya Pak Anton Kusumanegara.
Rupanya di lapangan, sudah ada seseorang yang juga sedang menjalani hukuman. Membuat Aby semakin malas karena mau tak mau, ia harus bergabung dengan manusia satu itu.
Begitu Aby datang dan ikut-ikutan di sampingnya, Fathan menoleh. "Loe?"
Rupanya mantan dan sahabat Keyla itu berada di sekolah yang sama.
Aby tak menghiraukan Fathan dan fokus menjalani hukumannya. Satu jam berdiri di bawah sinar matahari. Ia harus kuat.
Si Fathan mengoceh. "Kemaren gue lihat loe boncengin si Keyla.. Congrats yah."
"Congrats buat apa?"
"Buat hubungan kalian."
"Emang gue ada hubungan apa sama si Keyla?"
"Bukannya kalian udah jadian? Loe suka kan sama dia?"
Aby tersenyum sinis. "Sok tahu banget jadi orang."
"Kalau kalian gak jadian, kenapa kemaren kalian boncengan mesra banget? Oh Iyah! Gue lupa..
Dia kan cewek gatel.. Jadi gak heran kalau dia suka nemplok sana-sini. Gak nyesel gue mutusin dia."
Aby kembali tersenyum sinis. Lawak sekali manusia minus akhlak satu ini. Ia pun menurunkan tangannya yang semula hormat, lalu menatap Fathan.
"Gak salah denger gue?"
Fathan ikut-ikutan. "Maksud loe?"
"Yang gatel itu anda, setan. Udah tahu punya cewek, tapi loe masih aja deketin cewek lain.
Sampe akhirnya loe lebih milih mutusin Keyla cuma demi cabe-cabean kaya Sonia."
Fathan tidak terima dan langsung mendorong Aby. "Jaga yah mulut loe! Cewek gue bukan cabe-cabean! Dan dia seratus kali lebih baik dari Keyla yang cerewet dan overprotektif!"
"Dih tolol! Cewek cerewet itu tandanya dia setia dan sayang. Dan cewek setia seribu kali lebih baik dari cewek yang suka ngerusak hubungan orang!"
Emosi Fathan semakin naik. Ia sudah hampir memukul Aby jika saja Pak Anton tidak datang dan melerai perkelahian yang nyaris terjadi diantara mereka.
**
Setelah melewati satu jam pelajaran sembari melamun di atap sekolah, Raya berniat kembali ke kelas. Namun sebelumnya, ia pergi ke toilet terlebih dahulu.
Saat keluar dari toilet dan hendak berbelok, tanpa sengaja Raya bertabrakan dengan seseorang.
"Aww!" Pekik Raya sambil memegangi keningnya yang terbentur dagu seseorang itu.
"Sorry gue gak lihat."
"Gak pa.." Raya terkejut ketika menyadari orang itu. Dia adalah orang yang menabrak mobilnya tempo hari!
"Loe?" Divio tak kalah kaget melihat Raya.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments