Belum sempat terjawab tentang siapa Teh Nuri itu, aku mencoba untuk menghubunginya kembali. Namun seperti biasa ponselnya tidak aktif, dan terkirim setelah pukul lima sore. Dalam hati sempat bertanya,
"Apa sih aktifitas Teh Nuri itu sehingga aktif pada waktu tertentu?"
Ini hari Minggu, sehabis Dila tidur aku segera meraih ponsel dan mencoba menghubungi Bang Rizal. Sudah tiga hari ini dia tidak aktif, kenapa ya? Karena ini musim hujan aku lihat berita di televisi banyak yang kebanjiran dan khawatir Bang Rizal terkena dampaknya.
"Kamu kenapa belum tidur?" tanya Papa Mertua yang sedang meminum obat, kebetulan beliau sedang tidak sehat.
"Belum mengantuk," jawabku sambil memapah beliau yang kelihatan tidak sanggup berjalan dan langsung mengantarkannya ke kamar.
***
Matahari mulai menampakan sinarnya, cuaca hari ini cerah sekali sudah hampir seminggu Papa Mertua sakit terbaring lemas. Dokter pun menyarankan agar segera dibawa ke rumah sakit.
"Kamu siapkan peralatan yang mau di bawa, takutnya Papa harus di opname!" titah Mama Mertua.
"Iya Ma, saya siapkan dulu peralatan yang mau di bawa," sahutku. Kemudian … aku pun segera memasukan pakaian dan keperluan Papa Mertua ke dalam sebuah tas berwarna hitam. Tak lupa peralatan Dila juga dibawa.
"Ini, pegang dulu sama kamu!" kata Mama sambil menyodorkan sebuah amplop berwarna cokelat dan berisi lembaran uang pecahan Ratusan ribu yang aku pun tak tahu berapa isinya.
"Uang apa ini Ma?" aku bertanya karena belum mengerti apa maksudnya memberikan uang itu.
"Itu uang untuk admnistrasi pengobatan Papa, kamu pegang dulu soalnya Mama sudah pikun takut nanti lupa nyimpen," tandasnya.
"Iya, baiklah nanti saya simpan," jawabku sambil memasukan amplop itu ke dalam tas.
Merasa heran kenapa Mama menitipkan uangnya kepadaku bukan Kak Marni saja, kan aku hanya sekedar menantu jadi merasa tak enak hati. Karena sikap Kak Marni selalu judes sama aku, semenjak kehadiran Dila lah yang membuatnya agak sedikit berubah. Tapi aku tidak berani menolak permintaannya.
Akhirnya dengan mengendarai sebuah mobil Ambulans, kami tiba di sebuah rumah sakit umum yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal kami. Sepanjang jalan Dila merengek karena mungkin belum terbiasa pergi jauh menumpangi sebuah mobil.
Dua jam kemudian tibalah ke rumah sakit. Kami segera turun dari mobil. Dan Papa segera di papah oleh Kak Imron dan Kak Iwan. Kak Imron adalah suami Kak Marni dan Kak Iwan suaminya Kak Mae yang juga saudara sepupu Bang Rizal.
"Keluarga Bapak Subagja!"
Terdengar suara dokter yang baru keluar dari ruangan ICU.
"Saya istrinya," sahut Mama mertuaku.
"Begini, suami Ibu menderita batu ginjal dan harus menjalani proses cuci darah, bila ada pendonor bisa segera dilakukan operasi. Sehubungan rumah sakit kami kekurangan perlengkapan maka saya sarankan untuk di rujuk ke rumah sakit yang lebih besar." Dokter pun menyodorkan sebuah kertas rujukan ke rumah sakit itu.
Mama Mertua segera menyetujui saran dokter meskipun nampak kehawatiran di wajah wanita setengah baya itu. Dan kami langsung segera berangkat menuju rumah sakit. Setelah sampai di sana ayah langsung dibawa ke ruang perawatan. Melihat Dila yang rewel Kak Imron dan Kak Iwan menyarankan agar para wanita pulang saja biar mereka yang menjaga Papa selama di rumah sakit.
Akhirnya kami pulang diantar mobil ambulans yang tadi membawa kami ke rumah sakit. Tak lupa aku memberikan amplop berisi uang kepada Kak Imron yang tadi Mama titipkan.
***
Sudah hampir sebulan Papa di rumah sakit dan mengalami cuci darah. Bang Rizal pun mengambil cuti untuk bisa bergantian menjaga ayah. Dokter menyarankan untuk segera dilakukan operasi karena kondisi Papa semakin lemah dan hanya bertahan selama proses cuci darah.
Persediaan uang semakin menipis, karena biaya untuk cuci darah lumayan menguras dompet. Papa Mertua hanya seorang guru yang kini sudah pensiun. Kemudian Bang Rizal dan yang lainnya berdiskusi sehingga memutuskan untuk melakukan operasi. Setelah melakukan tes, ternyata ginjal Bang Rizal yang cocok sama Papa, dan ia pun menyanggupinya.
"Bukannya tak mau menerima niat baikmu, tetapi Papa kasihan kamu masih muda perjalanan hidup yang di lalui terlalu singkat jika harus mendonorkan ginjal sama Papa. Anak istrimu butuh kepala keluarga yang tangguh, kalau engkau tak punya ginjal nanti tak bisa bekerja keras."
Begitulah ungkapan Papa kepada Bang Rizal, akhirnya dengn penuh pertimbangan operasi pun tidak dilaksanakan.
Setelah genap satu bulan akhirnya Papa meminta untuk pulang saja karena bosan suasana rumah sakit dan meminta untuk rawat jalan saja. Setelah di rumah banyak sanak saudara dan juga tetangga yang menjenguk.
***
"Kakek ada belek nya," Kata Dila yang sambil mengelap mata lelaki yang berbaring di depannya itu. Lalu ia menyuapinya dengan bubur yang tadi pagi aku buat. Tak lama kemudian aku tinggal sebentar untuk memasak. Papa pun tertidur lelap.
"Kakek bangun! kakek bangun!"
Terdengar suara Dila memanggil sambil menepuk pipi Papa yang dari tadi tertidur dan mendengkur keras. Aku pun segera menghampiri, kenapa tidur nya ngorok begitu? ku bangunkan juga tak bangun-bangun.
Tak berfikir panjang segera ku panggil Mama dan Kak Marni. Mereka bilang Papa sedang Lalampahan (dalam bahasa indonesia sedang Sakaratul maut). Tak lama kemudian,
Prepeet ....
Suara dari a*** Papa dan mengeluarkan kotoran berwarna hitam yang dalam bahasa Sunda biasa disebut t*i pari disertai darah, sebuah kotoran manusia berwarna hitam yang dipercayai bila sudah keluar, azal akan segera tiba.
Kak Marni segera memanggil Abah Haji Iding yang kebetulan sesepuh dan ketua pesantren di kampung Bang Rizal. Sebelum magrib Papa menghembuskan nafas terakhirnya. "Innaalillaahi wa inna ilaihi roozi'un ...." Ucap kami serentak. Suara adzan pun terdengar pertanda magrib telah tiba.
"Abang dimana kenapa ponselnya baru aktif?" ucapku agak kesal.
"Iya Abang pulang dijemput sama Adnan mungkin agak maleman, motornya masuk ke bengkel," jawab Bang Rizal.
Tak lama kemudian ia tiba, jenazah Papah dimandikan dan di shalatkan, dan banyak yang mengaji semalaman secara bergiliran. Proses pemakaman dilakukan pagi hari.
***
Seperti biasa selama tujuh hari setelah hari kematian, dikampung kami mengadakan acara tahlilan.
"Kemana mamah si Dila?" ucap bi Een tetanggaku yang masih kerabat sama Kak Marni.
"Ada tuh di kamar lagi tiduran, katanya sih masuk angin," ketus Kak Marni smbil memicingkan mata.
Kemudian Mama yang baru saja masuk ke dapur menyela pembicaraan mereka,
"Habis dikerok sama Mama, memang semalaman dia tidak tidur karena sibuk banyak yang dia kerjakan, jadi Mama suruh istirahat saja."
Kak Marni langsung memalingkan muka nya terlihat kecemburuan teradapku karena memang selama ini hubungannya dengan adik semata wayangnya itu kurang baik.
Seminggu sudah kepergian Papa mertua. Bang Rizal dan keluarga yang lain kembali berangkat bekerja. Karena terlalu sibuk sampai aku lupa urusan Teh Nuri. Nantilah kalau sudah ada waktu aku coba hubungi lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments