Si Pencuri Perhatian

Air mengalir membasahi sapu tangan putih pemberian pria bernama Rain itu setelah. Sunny memastikan tidak ada noda maskara yang tertinggal di sapu tangan itu begitu juga dengan wajahnya yang sekarang sudah jauh lebih baik meskipun riasannya sudah luntur sepenuhnya.

"Untung aja gak ninggalin jejak," gumam Sunny lega setelah memeras sapu tangan itu cukup kuat hingga sedikit mengering.

"Sunny..." Oh, suara cempreng itu, suara siapa lagi jika bukan suara Rosa, sahabatnya.

"Gue kira loe gak dateng, kenapa loe bolos kelas tadi?" tanya Rosa yang mengoceh setelah bertatapan muka dengan Sunny tepat saat gadis itu keluar dari dalam toilet kampus.

"Loe liat nih gara-gara hujan, sepatu, rambut, terus maskara gue berantakan! Sebagai seorang calon fashion stylist... Gue gak bisa ngebiarin orang lain ngeliat penampilan gue yang kacau balau begini." jawab Sunny, tidak lupa ia menunjukan bagaimana kondisi sepatunya yang kotor dan rambutku yang kusut, tapi tidak dengan bulu matanya karena ia baru saja selesai membersihkannya.

Rosa menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, tapi ia tahu persis apa yang akan gadis itu cerewet itu katakan setelah ini, karena sudah pasti dia akan kembali mengoceh.

"Gimana bisa sih penampilan loe jadi begini? Mendadak miskin loe? Mobil loe kemana, beb?" tanya Rosa yang mengikuti langkahnya menyusuri lorong kampus yang ramai.

"Mobil gue disita bokap."

"Kok bisa?"

"Ya bisa lah! Gara-gara gue ngotot mau ikut karya wisata naik kapal pesiar ke Bali," jawab Sunny sedikit cemberut.

"Ya ampun beb, loe kayak baru pertama kali aja ke Bali. Itu tuh cuma Bali bukan Maldives, deket banget, beb. Gak perlu lah sampe segitunya, kan naik pesawat juga sama aja."

"Bodo amat! Pokoknya gue harus pergi bareng kalian naik kapal pesiar. Lagian ini jaman berapa sih? Masa ortu gue masih aja percaya sama takhayul yang bilang kalo gue punya dua pusar kepala terus gak boleh naik kapal soal kapal bakalan mengarungi lautan sedangkan lautan punya satu pusaran jadi nanti lautnya marah terus gue ditenggelamkan sama laut!" Gerutu Sunny yang sontak menjadi bahan tertawaan sahabatnya itu.

"Gak masuk akal banget, kan? Mama gue bilang jangan menantang laut, lagian siapa juga yang mau ngajakin laut berantem? Makanya itu gue pengen buktiin sama kedua orang tua gue kalau semua ucapan mereka itu omong kosong!" Sunny menjelaskan panjang lebar, mungkin terlalu panjang dan terlalu lebar ia berbicara hingga saat menyelesaikan ujung kalimat yang ia ucapkan, mereka berdua sudah tiba di kantin.

Setelah memesan makanan dan menerima pesanan mereka. Sunny dan Rosa memilih duduk di meja di dekat jendela yang tidak banyak ditempati oleh mahasiswa lain dan mereka kembali melanjutkan percakapan yang semula tertunda. Memilih makanan adalah salah satu perkara yang berat bagi seorang wanita.

"Terkadang ucapan orang tua itu bisa menjadi nyata loh, beb. Lagian kan naik pesawat sama kapal pesiar sama aja, toh tujuannya sama-sama Bali," ucap Rosa menasehati, seolah ia adalah gadis bijak padahal Sunny sendiri tahu bagaimana kelakuan sahabatnya satu ini yang sering membohongi orang tuanya. Mengatakan jika ia menginap di tempatnya padahal dia pergi ke puncak dengan pacarnya.

"Dan ngebiarin gue kesepian di pesawat tanpa bisa menikmati pemandangan laut yang indah? Gak mau! Loe juga naik kapal kan ke sananya bareng yang lain kecuali loe mau nemenin gue di pesawat." Sunny mematahkan nasihat itu dengan mudah.

"Gak mau gue!" tolak Rosa cepat tanpa perlu banyak berpikir.

"Ya udah pokoknya Lo harus bantuin gue ngomong sama orang tua gue biar gue dapet ijin. Soalnya bau-baunya orang tua gue ini rencain mau ngunciin gue di kamar pas hari-H."

"Astaga... Sampai segitunya?"

"Iya, beb..."

Rosa hanya dapat tersenyum kikuk, ia tidak lagi berani sok menasehati Sunny. Alih-alih sependapat dengan kedua orang tua Sunny padahal Sunny tahu jika Rosa hanya tidak ingin diganggu saat bergulat mesra di atas ranjang mewah kapal pesiar bersama dengan kekasihnya, Alvin.

"Alvin juga ikut?" tanya Sunny mengalihkan pembicaraan.

"Iya dong! Kapan lagi gue sama dia bisa 'bersenang-senang' tanpa perlu menyamar saat menyewa kamar," jawab Rosa tanpa rasa malu sedikitpun berbicara seperti itu kepada perawan ting-ting seperti Sunny. Bisa dibilang ia adalah jomblo abadi karena tidak pernah berpacaran seumur hidupnya.

"Dasar Lo*te!" Umpat Sunny bergurau.

Rosa sama sekali tidak keberatan dengan umpatan yang Sunny sematkan padanya. Gadis itu malah tertawa sambil menimpali dengan gurauan lainnya, "Makanya... Sampai kapan loe mau jaga keperawanan loe itu? Sampai pangeran berkuda putih dateng ngelamar loe? Gue rasa dengan mulut cerewet loe yang suka mengumpat itu, para pangeran diluar sana akan putar balik dan 'milik loe' itu bisa berdebu." gurau Rosa. Sunny hanya bisa menggeleng sambil tertawa karena mungkin Rosa benar. Di jaman sekarang ini, mungkin hanya ia yang masih menjaga kesuciannya hanya untuk suaminya kelak.

Apa salahnya, kan?

"Sialan... Loe sih beruntung karena Alvin tergila-gila sama loe sejak SMA, lah gue? Gue kan jomblo dari orok ... Gue gak bisa ngebiarin pria sembarangan nyentuh tubuh gue yang berharga ini buat cowo gak jelas di luar sana yang cuma penasaran mau icip-icip," jawab Sunny membuat Rosa mengangguk setuju kini walaupun senyumnya menunjukan arti yang lain.

"Dulu gue begitu, tapi sekarang lebih baik loe kuatkan iman loe, beb... Soalnya gue mencium bau-bau pria tampan bergerak mendekat ke arah kita," bisik Rosa, tepat disaat ia selesai mengucapkan kalimatnya, dan pria yang dimaksud Rosa sudah berada dihadapan meja merekA.

"Udah selesai?" tanya Rain dengan nada dingin.

"Ya?"

Sial! Sunny mengumpat lagi dalam hatinya. selalu seperti ini setiap kali laki-laki itu bertanya, memasang wajah cengkok yang membuatnya terlihat bodoh.

Tapi untung saja kali ini Sunny segera tersadar hingga ia cepat-cepat mengeluarkan sapu tangan milik pria itu dari dalam tasnya.

"Masih sedikit basah... Tapi udah gue cuci bersih kok. Makasih ya," ucap Sunny tersenyum gugup sambil menyerahkan sapu tangan miliknya.

Rain menghela nafas malas, ia tidak merespon dan hanya memasukan sapu tangan itu kedalam sakunya.

"Bukan sapu tangannya, tapi loe udah selesai makannya, kan?" tanya Rain tidak sabaran. Sunny mengangguk pelan. Sialan... Perasaan apa ini?

Sunny merasa sangat canggung hingga lidahnya mendadak keluh menghadapi laki-laki yang terus menatap lurus kedua matanya.

Rain lantas mendongakkan wajahnya, menatap ke arah lain lalu kembali menatap Sunny. Dia terlihat jengah.

"Kenapa? leher loe sakit?" tanya Sunny dengan polosnya tidak mengerti arti dari gerakannya.

Rain terlihat menghela nafas malas sekali lagi dan wajahnya semakin terlihat tidak senang.

"Bukan, tapi minggir kalau udah selesai. Gue mau makan soalnya di meja lain udah penuh," jawabnya dingin, mungkin sedingin air hujan yang kini kembali mengalir deras diluar.

Sunny yang awalnya gugup kini mulai merasa jengkel, Rain sangat seenaknya. Pria dengan attitude buruk yang langsung aku coret dari daftar calon suami idamannya kini.

Rasa gugup Sunny sirna sudah, ia beranjak bangun dengan kasar dan menatap mata laki-laki itu dengan sinis.

"Minggir!" ucap Sunny dengan nada suara cukup tinggi hingga membuat para mahasiswa yang kini berada di kantin ini menatap kearah mereka. Rain terlihat tidak senang namun Sunny tidak peduli.

"Rosa, jagain tempat gue. Gue masih mau beli makanan lain dan jangan biarin siapapun duduk disini!" Sunny memberikan perintah pada Rosa yang hanya dapat pasrah kini karena ia tidak main-main dengan ucapannya.

Gadis itu lantas pergi membeli sebuah hamburger dan kembali duduk di kursi ku dan tidak lupa ia melirik Rain dengan sinis.

Rain yang masih berdiri di sana menyeringai, sebelum meletakan makanannya diatas meja Sunny seolah tidak peduli.

"Lo punya hutang budi karena gue udah pinjemin sapu tangan gue dan gue minta imbalannya sekarang," ucap Rain yang langsung menarik tubuh Sunny cukup kuat hingga gadis itu akhirnya beranjak bangun dan dia dengan cepat menduduki kursinya.

Rosa terperangah melihat perlakuan pria itu pada sahabatnya namun ia tidak berani berkomentar sedangkan mulut Sunny sudah gatal untuk tidak mengumpat pada laki-laki yang kini makan tanpa merasa berdosa sedikitpun karena telah mengambil tempatnya.

"Hey... Itu kursi gue! Bangun gak, atau gue--" belum selesai Sunny berbicara, pria sinting ini telah menariknya dan membuatnya duduk diatas pangkuannya.

"Diam dan makan yang tenang. Apa perlu gue suapin?"

...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!